Selasa, 01 November 2011

Kegiatan Berbasis Partisipasi Masyarakat, PNPM dan Pembangunan Demokratis

DARI sedikit program pemerintah yang berjalan konsisten dan tumbuh, ada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini, untuk menanggulangi kemiskinan. PNPM tumbuh dari kegiatan berbasis partisipasi masyarakat yang sudah ada sejak awal reformasi dan kini berkembang ke berbagai bentuk program pedesaan-perkotaan, sektoral (perikanan, pertanian, kredit usaha kecil), hingga pembangunan sosial ekonomi wilayah.

Berbeda dari program mengatasi kemiskinan lainnya, program ini sangat diwarnai demokrasi, seperti partisipasi dan kontrol tentang keputusan kegiatan pembangunan tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah tidak hanya membiayai proyek yang dipilih, tetapi juga fasilitator seluruh administrasi pengelolaan dari tingkat lokal ke tingkat nasional. Program ini, sangat terstruktur, terutama untuk mencegah kebocoran.

Program Kebanggan

PNPM mirip dengan model partisipatoris di Porto Alegre, Brasil yang kemudian menjadi model pembangunan demokratis di banyak negara. PNPM kini lebih masif dan menjadi salah satu program kebanggaan (flagship) pemerintah sekarang. Dana diturunkan ke kecamatan untuk dikompetisi di tingkat di bawahnya. Fasilitator kecamatan membantu masyarakat kampung atau RT untuk secara kolektif menentukan apa yang dibutuhkan masyarakat. Jika, sudah disetujui, masyarakat pula yang memilih siapa yang akan mengerjakan proyek. Dengan mekanisme semacam ini, PNPM diharapkan dapat memberdayakan ekonomi masyarakat lokal, sekaligus mendorong partisipasi dan inovasi.

Namun, sampai saat ini, dampak PNPM masih amat terbatas, terutama secara ekonomi. Studi-studi oleh PNPM mau pun lembaga lain menunjukkan dampak ekonomi tidak banyak dan terutama terbatas pada golongan sangat miskin yang tertolong karena ada proyek infrastruktur PNPM. Sebagian dana yang diputuskan untuk proyek infrastruktur sering kali tidak cukup matang diputuskan oleh masyarakat setempat. Persoalan yang lebih makro adalah program infrastruktur yang dipilih merupakan proyek parsial yang kurang terkait potensi lokal mau pun program-program pembangunan di tingkat yang lebih tinggi.

Kelemahan yang lebih menonjol adalah asumsi tentang rekayasa sosial melalui program pembangunan. Lepas dari tidak tersedianya fasilitator yang andal, program itu sendiri tampak tidak siap memperhitungkan karakter masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan “demokratis”. Sebagian besar masyarakat di tingkat lokal sebelum program PNPM masuk belum mempunyai lembaga pengambilan keputusan kegiatan pembangunan yang berjalan baik.

Struktur yang disediakan negara, yaitu musyawarah perencanaan pembangunan, tak efektif karena tak ada konsistensi pengusulan di tingkat desa ke penentuan anggaran daerah di tingkat-tingkat selanjutnya. PNPM belum berhasil menyatukan desain pengambilan keputusan kolektif dengan memanfaatkan lembaga yang ada. Namun, wadah dalam PNPM untuk mendorong partisipasi lokal, yaitu Badan Keswadayaan Masyarakat/Lembaga Keswadayaan Masyarakat, bagaimana pun, telah menghasilkan bibit-bibit perubahan di tingkat lokal. Studi-studi menunjukkan bahwa kelompok masyarakat lokal, dengan derajat yang berbeda, belajar sesuatu dari proses pengambilan keputusan kolektif. Wadah ini, telah memperkenalkan sesuatu yang berharga, yaitu membiasakan pengambikan keputusan berdasarkan kesadaran akan beragamnya kepentingan dan pertimbangan rasional dalam kegiatan pembangunan.

Beberapa kasus yang dianggap berhasil dikondisikan adalah hadirnya pemimpin lokal dan semacam aktivisme sosial. Namun, fasilitator menghadapi tantangan yang sukar, dominasi elit lokal, pengambilan keputusan sembarangan, perbedaan akses yang dimiliki kelompok masyarakat yang berbeda (khususnya kelompok miskin dan perempuan) yang tidak mempunyai kapasitas bersuara di publik.

Fasilitator Andal

Pelajaran dari Porto Alegre menunjukkan, butuh waktu bertahun-tahun dan mekanisme fasilitasi yang jauh lebih konsisten serta fasilitator yang berkemampuan sosial, politik dan intelektual; seperti aktivis partai politik, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan keagamaan.

Masalah lalu adalah program ini tidak didesain untuk membangun kapasitas organisasi ekonomi masyarakat setempat. Program kredit pedesaan tidak berhasil, karena kelompok pengelola bersifat dadakan dan tidak melembaga. Akibatnya, dana pinjaman banyak dipakai untuk menutup kebutuhan dan kegiatan ekonomi sesaat daripada memperkuat kapasitas ekonomi yang sudah ada. Fasilitator umumnya tidak mempunyai kemampuan membangun kelompok dan organisasi ekonomi. Wilayah kerja ini, harus ditangani orang yang benar-benar mengerti inovasi sosial kegiatan ekonomi.

Maka, untuk memperbaiki PNPM perlu beberapa perubahan. Program tidak boleh berdasarkan pertimbangan pencapaian seluas-luasnya, melainkan terfokus pada program yang dapat mencapai penguatan ekonomi. Dalam hal ini, tidak selalu tujuan penguatan partisipasi seimbang dengan penguatan ekonomi. Tak banyak daerah memilik kelompok masyarakat sipil yang siap mendukung. Dalam kondisi semacam itu, penguatan aspek teknokrasi di tingkat kecamatan dan kabupaten harus lebih kuat.

Seharusnya tidak tertutup kemungkinan untuk menentukan proyek untuk tingkat kecamatan atau kabupaten sejauh hal itu dipertimbangkan membawa dampak lebih luas. Sebagian dana harus dialihkan untuk meningkatkan kapasitas organisasi dan lembaga ekonomi rakyat. Adalah lebih baik memanfaatkan organisasi dan lembaga yang sudah ada, karena kemungkinan berhasilnya lebih besar. Indonesia, negara besar ini, sangat miskin dalam pengetahuan dan praktek penguatan organisasi dan kelembagaan.

Perbaikan lain yang juga krusial adalah pengintegrasian dengan program pembangunan daerah. Selain masalah orientasi dan kapasitas eksekutif, desain PNPM dari pusat memang tidak banyak memberi tempat pada aspek ini. Di negara lain, upaya pembangunan lokal sudah melewati tahap keterpikatannya dengan jargon-jargon demokrasi yang yang tidak matang. Saat ini, di banyak negara, yang diperkuat adalah kerangka tentang kemitraan pelbagai pihak dalam pembangunan daerah, agar mendapat model komitmen yang lebih baik.

MEUTHIA GANIE-ROCHMAN
Mendalami Sosiologi Politik dan Organisasi; Mengajar di Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar