Selasa, 01 November 2011

Dirasakan Mahalnya Biaya Pemilu, Liliweri : Partai Kartel dalam Negara Kartel

KUPANG, NTT, NAGi. Guru Besar Ilmu Komunikasi Budaya dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Prof Dr Alo Liliweri menilai sistem multi partai di Indonesia hanya mempertontokan partai kartel dalam sebuah negara yang kartel pula. Hal ini, ditandai dengan munculnya kerjasama yang komplementer dan simetris antara negara, pemerintah dan partai politik dalam setiap momentum politik, sehingga salah satu dampak yang dirasakan adalah mahalnya biaya pemilu.
Dijelaskan Liliweri, akibat partai kartel dalam negara kartel itulah yang berdampak pada mahalnya biaya pemilu, khususnya Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Merasa prihatin dan cemas terhadap perkembangan demokrasi berbiaya tinggi, khususnya dalam Pilkada. "Memang perlu biaya besar dalam kegiatan politik seperti Pilkada, tetapi sumbernya harus legal, besarannya pun tidak boleh melampaui batas kepatutan. Pilkada di sejumlah wilayah diwarnai praktek-praktek tidak terpuji mulai dari politik uang hingga terjadinya aksi-aksi anarkis. Seluruh komponen bangsa meningkatkan kualitas demokrasi, pemerintahan, dan pelayanan publik di daerah,” kata Liliweri yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undana Kupang.
Menurut Liliweri, kartelisasi negara dan politik kini semakin menyeruak. Negara, pemerintah, dan partai politik seolah mempertontonkan kerjasama yang komplementer dan simetris untuk tidak dikatakan kolusi antara partai-partai politik dan para wakil mereka di DPR, antara partai-partai politik yang membentuk koalisi dan oposisi dengan dan terhadap pemerintah. "Perilaku ini, dalam budaya komunikasi politik disebut kartelisasi di mana kita sedang menghadapi era baru negara demokrasi dan sistem kepartaian yang ditengarai oleh peranan aparatur negara dan peranan partai-partai politik yang bekerja sama membentuk 'negara kartel,” ungkap Liliweri, dengan dukungan 'partai kartel.
Kartelisasi, kata Liliweri dapat dipahami sebagai sebuah konsorsium yang dibentuk oleh beberapa perusahaan yang secara bebas dan saling percaya bekerjasama membatasi persaingan sesama perusahaan untuk menghadapi persaingan dengan perusahaan-perusahaan lain.


Lebih jauh dijel;askan Liliweri, Negara Kartel, istilah kartel dalam 'teori negara kartel' secara sederhana dikenal sebagai aliansi antara para pesaing (alliance of rivals) untuk menghadapi pesaing-pesaing besar dalam Perang Dunia. Makna negara kartel ini, semakin dikenal lantaran menggabungkan fungsi politik dan fungsi pemerintahan dalam sebuah kartel yang didukung oleh kerjasama antara negara dengan partai-partai politik dalam suatu negara.
Partai kartel, dikatakan Liliweri umumnya dibentuk sebagai tanggapan partai politik terhadap posisi mereka yang terletak antara lingkungan masyarakat dan negara. Model ini, mendalilkan bahwa partai-partai semakin kehilangan kapasitas dan keinginan mereka untuk memenuhi fungsi-fungsi legislasi seperti fungsi artikulasi, agregasi, perumusan tujuan dan mobilisasi politik.

Dalam kaitan dengan Pilkada, misalnya, muncul kartelisasi di mana partai-partai kecil membentuk koalisi untuk bisa mencapai 15 persen, sehingga bisa mengusulkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam suatu momentum Pilkada. Koalisi ini, dibentuk karena partai-partai memiliki kepentingan yang sama tetapi implikasinya adalah seorang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal.

Menurut Liliweri, karena itu, pilihan tepat untuk menekan biaya Pemilu khususnya Pilkada adalah pelaksanaan Pemilu mulai dari presiden, gubernur, bupati/walikota, DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan secara serentak dalam satu hari. Hanya dengan cara itu, seorang calon, baik calon kepala daerah dan DPR hanya mengeluarkan satu kali biaya untuk partai politik dan tim pemenangan. (antara/ade)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar