Selasa, 01 November 2011

410 Kabupaten/Kota Belanja Pegawai di Atas 50 Persen dari APBD, Moratorium Belanja Pegawai

TEPAT tanggal 1 September 2011 kebijakan Moratorium (penundaan) Belanja Pegawai Negeri Sipil (PNS) resmi diberlakukan selama 16 bulan, dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2012. Kebijakan ini, melalui Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani Menteri Keuangan Agus Martowardjojo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Keputusan ini, karena beban belanja pegawai dan belanja barang semakin tinggi dan telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, serta telah menurunkan peran anggaran publik dalam mensejahterakan rakyat, mendorong pertumbuhan ekonomi. Juga, kenaikkan penerimaan pajak serta transfer ke daerah menjadi tidak bermakna, karena habis ditelan kenaikkan belanja untuk birokrasi.

Sebelumnya Menkeu paling ngotot mengusulkan kenaikan gaji pejabat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) mengeluh gajinya tidak penah naik. Tetapi, setelah melihat belanja pegawai pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semaikn berat, sehingga keputusan pada Rencana APBN 2012 belanja pegawai dialokasikan menjadi Rp 215,7 triliun mengalahkan subsidi yang selama ini mendominasi.

Belanja pegawai di 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan di 116 kabupaten/kota mencapai lebih dari 60 persen, bahkan ada daerah yang mengalokasikan belanja pegawai lebih 70 persen dari APBD. Kondisi ini, setiap daerah berbeda, karena jumlah pegawai lebih banyak untuk melayani luas wilayah. Contoh di Kabupaten Malang jumlah pegawai mencapai 17 ribu orang (guru 12 ribu orang), berarti hanya tinggal lima ribu orang melayani penduduk sebanyak 2,7 juta yang tersebar di 33 kecamatan, 378 desa dan 12 kelurahan. Kecamatan Singosari 18 orang PNS melayani 160 ribu orang penduduk, dan Kecamatan Tumpang 8 orang PNS melayani 70 ribu penduduk. Hal ini, berarti satu PNS melayani sekitar 8.750 orang sampai dengan 8.888 penduduk. Berarti di Kabupaten Malang masih kekurangan PNS. Hal Ini, tidak seimbang padahal secara nasional satu PNS melayani 33 orang penduduk.

Kebijakan belanja pegawai tidak terlepas dari tidak memperhatikan implikasi terhadap anggaran negara yaitu perekrutan pegawai baru, pemberian gaji ke-13, kenaikan gaji lima sampai dengan 10 persen sejak tahun 2006 lalu, serta kenaikkan berbagai tunjangan dan pemberian tambahan uang makan tidak hanya menambah beban belanja gaji pokok APBN yang harus menunggu beban pembayaran pensiun yang belum sharing pembiayaan dengan Taspen. Dinama pembayaran pensiun sejak tahun 2009 menjadi beban penuh APBN (Nota Keuangan RAPBN 2012).

Sebagai pemicu beban anggaran belanja pegawai adalah pemberian remunasi sebagai salah satu agenda reformasi birokrasi yang mulai tahun 2007 pada tiga kementeriaan/lebaga dan terakhir pada tahun 2011 kepada 14 kementerian/lembaga, sehingga di tahun 2010 dialokasi dana sebesar Rp 13,4 triliun untuk remunasi. Lebih parah lagi, dengan semakin menjamurnya Lembaga Non Struktural (LNS), pada tahun 2007 terdapat 76 LSN dengan beban kepada negara sebesar Rp 483,3 miliar, dan kemudian membengkak menjadi 101 LSN dengan belanja pegawai Rp 1,87 triliun pada tahun 2010.

Talang Dana Pensiun

Penerimaan paling dekat adalah pegawai honor, sehingga total biaya tambahan untuk belanja pegawai mencapai Rp 7 triliun, tetapi pemerintah pusat hanya mencari tambahan Rp 3 triliun, dan Rp 4 triliun merupakan dana yang bisa hemat adanya pegawai pensiun selama tiga tahun terakhir sebagai dana talangan. Aparat birokrasi di daerah menyedot APBD mencapai 50 persen, sehingga membuat peraturan pemerintah daerah tidak memberatkan APBD. Pemerintah pusat hanya bisa memberikan rekomendasi agar Pemda mengalokasikan belanja modal mencapai 20 persen APBD dan belanja pegawai tidak lebih dari 50 persen. Hal ini, harus dipertegaskan kepada Pemda yang tidak melakukan alokasi dana 20 persen APBD untuk belanja modal, sebaiknya tidak menambah pegawai.

RAPBN 2012 pemerintah pusat mengalokasikan belanja pegawai sebesar Rp 215,7 triliun (2,7 persen) dari Produk Domestik Bruto (PDR), walau pun rencana adanya Moratorium PNS, pemerintah pusat menambah anggaran belanja Rp 32,9 triliun atau naik 18 persen, ketimbang APBN Perumbahan 2011. Hal ini, karena pemerintah menjanjikan kenaikkan gaji PNS sebesar 10 persen tahun depan (2012). Belanja pegawai ini, merupakan belanja terbesar dalam postur RAPBN 2012 mencapai 32,6 persen dari belanja pemerintah pusat.

Ke depan, APBN kita harus sehat, sehingga belanja pegawai dan belanja barang dibatasi paling tinggi 30 persen dan total belanja pemerintah pusat dan paling tinggi 50 persen dari total belanja pemerintah daerah. Selama ini, dana transfer ke daerah mencapai Rp 464,4 triliun tahun 2012 diperlukan kebijakan standarisasi tunjangan dan untuk pejabat daerah. Pemerintah pusat juga membatasi belanja pegawai Pemda secara profesional melalui revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kebiasaan yang dilakukan oleh Pemda di mana saja, pada sekitar bulan Nopember dan Desember (pada akhir tahun anggaran), seluruh SKPD melakukan suatu kegiatan untuk menghabiskan pagu anggaran di instansinya. Mereka mengadakan pertemuan, seminar, pembahasan Perda bersama legislatif, atau koordinasi antar instansi di hotel-hotel berbintang. Sebenarnya mereka dapat mengirit anggaran itu, dan merupakan suatu prestasi atau kinerja dari SKPD yang bersangkutan, dan diharapkan tahun depan anggarannya biasa dinaikkan. Tetapi, berbalik prediksi jika suatu SKPD tidak dapat menghabiskan anggaran, berarti tidak dapat menunjukkan kinerja, dan tahun depan anggarannya dipangkas. Hal ini, menyebakan semua SKPD menghabiskan pagu anggaran yang belum terserab.

Selain itu, anggaran konsumsi untuk rapat-rapat di SKPD juga menghabiskan anggaran belanja pegawai, sehingga kelihatan begitu megahnya atau berhamburan anggaran di SKPD, ruang-ruang kepala dinas bagaikan di hotel berbintang, serba karpet dan dinding tembok dilapisi wallpaper yang berkelas satu, meja kursi yang diukir harganya berjuta-juta, serta ber-AC. Penampilan ini, dinilai pemborosan keuangan daerah hanya untuk ruang kepala dinas.

Hubungan dengan APBD 2012

Penundaan belaja pegawai ini, akan berpengaruh terhadap penyusunan APBD 2012. Bagi daerah-daerah yang sudah menetapkan APBD Perubahan pada bulan September 2011, tidak mampu atau tidak bisa menekan biaya belanja pegawai. Tetapi, yang belum menetapkan APBD-P, masih bisa merubah anggaran belanja pegawainya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, menjelaskan belanja pegawai merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada PNS. Oleh karena itu, Pemda dapat memberikan tambahan penghasilan kepada PNS berdasarkan pertimbangan yang objektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah, dan harus memperoleh persetujuan DPRD setempat. Tambahan penghasilan itu, diberikan dalam rangka kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja atau tempat bertugas atas kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja. Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja diberikan kepada PNS yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai melampau beban kerja normal.

Juga, tambahan penghasilan berdasarkan tempat tugas diberikan kepada PNS yang dalam melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat kesulitan tinggi dan daerah terpencil. Sedangkan tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja diberikan kepada PNS yang dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang memiliki risiko tinggi, dan tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi diberikan kepada PNS yang dalam mengembangkan tugas memiliki keterampilan khusus dan langka. Serta tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada PNS yang dalam melaksanakan tugasnya dinilai mempunyai prestasi kerja.

Struktur APBD selama ini adalah “kinerja”, sebaiknya tunjangan struktural diganti dengan tunjangan perstasi/kinerja, sehingga biaya/beban yang dikeluarkan berdasarkan prestasi kerja. Karena tunjangan struktural, walau pun pegawainya tidak berkerja secara optimal, yang penting kehadirannya. Prestasi kerja, maka akan di lihat pada rencana, realisasi, dan target bekerja dari setiap pegawai yang menduduki eselon, sehingga benar-benar menghasilkan satuan kerja yang efektif, efisenesi, dan tepat guna. Oleh karena itu, setiap akhir bulan pimpinan SKPD melakukan Evaluasi Skill Responbility (ESR) kepada bawahannya, dengan standar yang telah diatur dan disepakati secara bersama.

Bila dihubungkan dengan Permendagri No 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2012 yang ditetapkan tanggal 23 Mei 2011, juga harus direvisi, karena pos-pos belanja pegawai baik dalam pos belanja langsung mau pun belanja tidak langsung, harus dibenahi. Diharapkan forum Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketua Sekretaris Daerah (Sekda) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD segera mengagendakan/rapat untuk membicarakan RAPBD 2012, karena menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri 13 Tahun 2006 pembahasan RAPBD 2012 paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran berakhir.

Dalam pos belanja langsung, belanja pegawai untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah, tidak bisa dihapuskan. Tetapi,dalam rangka meningkatkan efisiensi anggaran daerah, penganggaran honorarium bagi PNSD dan Non PNSD memperhatikan asas kepatuhan, kewajaran dan rasionalisasi dalam mencapai sasaran program dan kegiatan. Disarankan, dalam pemberiaan honorarium bagi PNSD dan Non PNSD dibatasi dan hanya didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan PNSD dan Non PNSD dalam kegiatan benar-benar memiliki peranan dan kontribusi nyata terhadap efektifitas pelaksanaan kegiatan. Sedangkan besaran honorarium bagi PNSD dan Non PNSD dalam kegiatan, termasuk honorarium narasumber/tenaga ahli dari luar instansi pelaksana kegiatan dengan keputusan kepala daerah.

Sedangkan belanja tidak langsung pihak Pemda harus memperhatikan, besarnya penganggaran untuk gaji pokok dan tunjangan PNSD disesuaikan dengan hasil rekonsiliasi jumlah pegawai dan belanja pegawai dalam rangka perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) tahun anggaran 2012 serta memperhitungkan rencana kenaikkan gaji pokok dan tunjangan PNSD dan pemberian gaji ketiga belas.

Sumber pendapatan daerah 80 persen tergantung dari dana perimbangan sekitar 68 persen belanja transfer yang dialokasikan ke daerah sebagai besar diperuntukan belanja pegawai dan tambahan tunjangan guru. Dengan demikian tidak ada insentif bagi daerah yang merampingkan birokrasi atau meningkatkan pendapatan. Contoh APBD Kabupaten Malang Tahuan Anggaran 2011 sebesar Rp 1,7 triliun, sedangkan untuk belanja pegawai sebesar Rp 900 juta, sedangkan sisanya Rp 800 juta digunakan untuk belanja modal dan barang. Hal ini, tidak seimbang, karena jumlah pegawainya 17 ribu orang. Seharusnya anggaran belanja publik lebih besar daripada anggaran belanja pegawai, tetapi pada kenyataannya berbalik.

Pos belanja tidak langsung untuk belanja pegawai yang bisa tidak dimasukkan ke dalam APBD 2012 adalah penggangaran belanja pegawai untuk kebutuhan pengangkatan Calon PNSD sesuai formasi pegawai 2012, karena pada tahun 2011 dan 2012 tidak ada pengangkatan Calon PNSD, sehingga diharapkan pegawai honorarium yang telah masuk kedalam database pada tahun 2006 sampai dengan akhir Desember 2010, bisa diangkat menjadi PNS. Sehingga pada tahun 2013, penerimaan CPNS berdasarkan analisa kebutuhan pegawai setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Pos belanja yang bisa dipertimbangkan untuk tidak dimasukkan ke dalam APBD 2012, adalah penyediaan dana penyelenggaraan asuransi kesehatan yang dibebankan pada APBD. Hal ini, juga harus berpedoman pada PP Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi PNS dan Penerima Pensiun. Maka, penyediaan anggaran untuk pengembangan cakupan tunjangan kesehatan di luar cakupan pelayanan kesehatan yang disediakan asuransi kesehatan, tidak diperkenankan dianggarkan dalam APBD 2012, kecuali ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Jadi, kebijakan moratorium ini tidak cukup sepanjang kebijakan reformasi birokrasi masih bersifat parsial dan terbatas. Hal ini, terbukti walau pun kebijakan Moratorium PNS diberlakukan, tetapi belanja pegawai pada RAPBN 2012 justeru meningkat paling tinggi sebesar Rp 32,8 triliun, sudah termasuk alokasi gaji tambahan pegawai baru. Penundaan ini, tidak akan mengurangi beban belanja pegawai. Ini, juga membuktikan pertanda kegagalan desain reformasi birokrasi, karena tidak mempertimbangkan konsekuensinya terhadap beban anggaran. Perbaikan penghasilan rumenasi, seharusnya diikuti dengan peningkatan produktivitas pegawai.

Kelihatan pemerintah pusat “grogi” dengan beban pembayaran pegawai, sehingga mengeluarkan Moratorium belanja pegawai ini hanya bersifat asal-asalan atau keburu saja, karena beban anggaran 2012 semakin meninggi, dan hutang luar negeri dari tahun ke tahun semakin besar, sedangkan untuk membayar hutan luar negeri itu harus menggali pendapatan dalam negeri.

Tetapi, korupsi semakin merajalela di kalangan birokrasi, alias “pejabat negara merapok uang rakyat” melalui APBN dana APBD. Hal ini, tidak dapat dipungkiri lagi kolusi antara eksekutif, legislatif, dan swasta/pemborong/rekanan dalam membagi kue pembangunan, karena harus berbagi fee kepada DPR/DPRD mau pun para pejabat yang berada di pemerintah pusat mau pun pemerintah daerah, sehingga para kontraktor harus menyisihkan fee untuk mendapatkan sebuah proyek. Sampai kapan praktek semacam ini berakir?. (George da Silva).

Diasuh Oleh : George da Silva Direktur Lembaga Research and Consultant Pemantau dan Evaluasi Otonomi Daerah Pertentangan Antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Tidak Ada Hubungan Harmonis Sebaiknya Mengundurkan Diri

Dear Mr George…..
Bupati, Drs Don Bosco Wangge dan Wakil Bupati Ende, Drs Ahmad Mochtar, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah “retak” atau hubungan tidak harmonis sejak tiga bulan setelah pelantikan. Hal yang dilakukan wakil bupati dengan mengajukan 10 Rencana Peraturan Daerah (Raperda) langsung ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ende, dan yang anehnya DPRD menyetujui untuk dibahas. Melihat hal itu, bupati ketika sidang pembukaan pembahasan Raperda di DPRD mengatakan dua Raperda “siluman”, karena masuk melalui wakil bupati, bukan yang diusulkan bupati. Dewan juga seolah-olah membakar “keretakan” itu, diduga ada dua kubuh di eksekutif mau pun di legislatif. Saya mendengar wakil bupati dalam waktu dekat akan meminta mengundurkan diri, mengikuti jejak Wakil Bupati Garut, Dicky Chandra. Pertanyaan saya apakah karena hubungan kurang harmonis itu, harus berpisah/berhenti di tengah jalan, dan jika ada penggantiannya apakah hubungan kerja wakil bupati yang baru dengan bupati bisa harmonis atau malahan semakin memburuk.

Achmmad S
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Ende-Flores, NTT.

Dear Mr Achmmad

Kasus hubungan tidak harmonis antara kepala daerah dan wakil kepala daerah di seluruh Indonesia, menurut catatan ada sekitar 80 persen, karena merasa ditinggalkan atau tidak diikutsertakan dalam kegiatan serta pengambilan kebijakan oleh gubernur/bupati/walikota. Padahal, ketika berkampanye dua sejoli terlihat sangat mesrah, solid, untuk meraih kemenangan atau mencari pendukung. Keberhasilan keduanya itu, kita tidak tahu pasti apakah yang mendulang suara terbanyak/pendukung itu untuk gubernur/bupati/walikota atau wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota. Semuanya serba gelap, karena sistim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bersifat Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Tetapi, sering gebernur/bupati/walikota merasa dirinya lebih matang berpolitik daripada wakilnya, atau ketika secara paksa dipasangkan oleh partai politik atau gabungan partai politik (pendukungnya lebih dari satu partai), bukan pilihan sendiri dari calon gubernur/bupati/walikota. Karena pilihan partai, makan merasa dengan terpaksa harus mengikuti kebijakan partai.

Sebenarnya kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum bersama-sama mengikuti Pilkada, sudah membagi tugas-tugas selain yang diatur secara normatif oleh peraturan dan perundang-undang yang berlaku menyangkut pemerintahan daerah. Hal ini, bisa dibuat perjanjian yang disepakati oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mendukung kedua kandidat itu. Bila perlu dibuat di hadapan notaris, sebagai suatu pengikat atau rambu-rambu, apabila dikemudian hari kepala daerah atau wakil kepala daerah melanggar, bisa ditegur oleh partai pendukungnya. Perjanjian ini, memang tidak diatur dalam undang-undang atau peraturan. Ternyata sudah merupakan kebiasaan perjanjian secara lisan tidak tertulis, sehingga apabila sudah terpilih/sebagai pemenang, kadangkala kepala daerah melanggar kesepakatan lisan itu. Juga, sering hanya saling kepercayaan saja.

Menurut Pasal 25, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menegaskan bahwa kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, mengajukan Raperda, menetapkan Perda, menyusun dan mengajukan Raperda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. Oleh karena itu, seorang wakil bupati tidak bisa mengajukan Raperda, kecuali bupatinya tersangkut masalah pidana dan sudah menjadi terdakwa di sidangkan di Pengadilan Negeri (PN). Hal ini, karena Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sudah menonaktifkan sang bupati. Tetapi, jika tidak terjadi hal seperti itu, seorang wakil bupati tidak mempunyai kewenangan. Sebenarnya DPRD juga sudah memahami, tugas, wewenang serta kewajiban seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bila DPRD menerima usulan Reperda dari wakil bupati, maka sangat menyayangi kualitas dan pemahaman kalangan DPRD setempat tentang peraturan dan Perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah.

Sedangkan Pasal 26, menyangkut tugas wakil kepala daerah antara lain, (1) membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintah daerah, (2) membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawas, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup, (3) memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah, (4) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan yang diberikan oleh kepala daerah, dan (5) bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Ternyata, dalam pelaksanaannya sehari-hari bila sudah ada benih-benih ketidaksukaan kepala daerah kepada wakil kepala daerah, maka tugas-tugas teknis/administrasi/protokuler diberikan kewenangan kepada Sekretaris Daerah (Sekda), atau para Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), sesuai bidang tugas masing-masing. Wakil Kepala Daerah, hanya bersifat “seromoni”, peresmian, itu pun kadang-kadang di berikan kepada Sekda atau Asisten Sekretaris Daerah (Setda). Memang UU telah memberi kewenangan yang begitu besar kepada kepala daerah, sehingga semua kebijakan daerah itu adalah tanggung jawab kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.

Pengunduran Diri

Apabila wakil kepala daerah memang sudah pada puncaknya/klimaks tidak bisa lagi diajak berkerjasama dengan kepala daerah, sebaiknya meminta mengundurkan diri kepada Pimpinan DPRD setempat, sehingga tidak mengganggu kegiatan/perjalanan roda pemerintah di daerah yang bersangkutan. Sesuai Pasal 29 UU Pemerintah Daerah yang membahas tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah mengatur yaitu, meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan.

Selanjutnya, pengunduran diri itu, alasannya harus kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, misalnya sakit atau tidak mampu mengembangkan tugas. Apabila alasannya, karena dipicu konflik pribadi, atau tidak bisa mengikuti irama kerjanya kepala daerah, maka pengunduran diri itu tidak dapat dikabulkan. Sebaiknya, DPRD meminta penjelasan dari kepala daerah, dan mengajak rujuk atau konsolidasi, dengan pembagian tugas yang lebih konkrit atau jelas, sehingga masing-masing dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya sampai akhir periode masa jabatan.

Wakil Kepala Daerah mengajukan pengunduran diri pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD setempat, agar dapat dibahas dan diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh Pimpinan DPRD. Pemberhentian ini, tidak menghapuskan tanggung jawab yang bersangkutan selama memangku jabatan. Jadi, yang menentukan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah itu, semuanya tergantung dari kesepakan anggota DPRD. Oleh karena itu, melalui Rapat Paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan keputusan yang diambil dengan persetujuaan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

Tidak Pro Rakyat

Jika, wakil kepala daerah mengatakan pengunduran diri karena usaha membangunan di kabupaten tersebut semua proyek tidak pro rakyat, itu sebenarnya wakil bupati tidak memahami sistim pemerintah daerah. Semua itu sudah dibahas dengan DPRD Rencana Pembangungan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang memuat visi-misi kepala daerah terpilih dan disahkan melalui Perda. Jadi, bukan lagi visi-misi kepala daerah terpilih, tetapi sudah menjadi visi-misi pemerintah daerah yang bersangkutan.

RPJMD ini, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategis pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program dari masing-masing SKPD, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan diserta dengan rencana kerja dalam rangka regulasi dan kerangkaan pendanaan yang bersifat indikatif. Belum lagi, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran satu tahun yang memuat rencana kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah mau pun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat (kemitraan). Semuanya ini, dengan mengacu kepada rencana kerja pemerintah pusat, dan provinsi.

Pembangunan di daerah ini, ditunjang dengan Musyawarah Rencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Semua itu, disusun oleh masyarakat rencana pembangunan di masing-masing desa dan kecamatan dan pada akhirnya dibahas pada tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan dalam bidang sarana dan prasarana, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya. Jelas, Musrembang itu harus disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah masing-masing, maka dibuat klasifikasi super prioritas dan prioritas. Hal ini, akan disatukan (match) perencanaan dari bawah-atas (bottom up) dan perencanaan dari atas-bawah (top down). Ini, dilakukan dengan pendekatan politik yang memandang Pilkada adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan ketika kampanye dalam Pilkada. Karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah.

Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan para pemangku ini, adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki pembangunan di daerahnya. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintah. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas akan diselaraskan melalui tingkat musyawarah yang dilaksanakan baik pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

Jadi, kalau ada wakil bupati yang mengatakan pengunduran dirinya salah satu atau antara lain karena pembangunan “tidak pro rakyat”, itu salah besar dan yang bersangkutan tidak mengerti pemerintahan daerah. Oleh karena itu, sebaiknya pengunduran diri dari wakil kepala daerah dikabulkan/disetujui saja oleh DPRD, dan memberi kesempatan kepada calon-calon lain yang bisa berkerjasama dengan kepala daerah. Pergantian wakil kepala daerah itu, bisa berkerjasama dengan kepala daerah, karena dalam prosesnya diajukan oleh kepala daerah setelah berembug dengan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung. Jadi, orang pilihan sendiri oleh kepala daerah.

Prosedur tentang pengunduran diri wakil kepala daerah, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik dan masa jabatannya masih sisa 18 bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan dua orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam Pilkada untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD. Sedangkan untuk calon perseorangan/independen juga kepala daerah mengajukan dua orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.

Kuncinya adalah ditangan anggota DPDR setempat, mengabulkan atau tidak. Walau pun DPRD tidak mengabulkan, tetapi wakil kepala daerah sudah mempunyai niat atau konsekuensi pengunduran diri, maka DPRD dengan terpaksa harus mengabulkan, dan segera diusulkan kepala gubernur, dan selanjunya ke Mendagri dan disetujui oleh Presiden. Tetapi, tidak pernah terjadi wakil kepala daerah mengajukan pengunduran diri, tidak dikabulkan oleh DPRD, karena ini sudah menyangkut ranah politik, setiap partai mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. ***