Selasa, 01 November 2011

410 Kabupaten/Kota Belanja Pegawai di Atas 50 Persen dari APBD, Moratorium Belanja Pegawai

TEPAT tanggal 1 September 2011 kebijakan Moratorium (penundaan) Belanja Pegawai Negeri Sipil (PNS) resmi diberlakukan selama 16 bulan, dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2012. Kebijakan ini, melalui Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani Menteri Keuangan Agus Martowardjojo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Keputusan ini, karena beban belanja pegawai dan belanja barang semakin tinggi dan telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, serta telah menurunkan peran anggaran publik dalam mensejahterakan rakyat, mendorong pertumbuhan ekonomi. Juga, kenaikkan penerimaan pajak serta transfer ke daerah menjadi tidak bermakna, karena habis ditelan kenaikkan belanja untuk birokrasi.

Sebelumnya Menkeu paling ngotot mengusulkan kenaikan gaji pejabat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) mengeluh gajinya tidak penah naik. Tetapi, setelah melihat belanja pegawai pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semaikn berat, sehingga keputusan pada Rencana APBN 2012 belanja pegawai dialokasikan menjadi Rp 215,7 triliun mengalahkan subsidi yang selama ini mendominasi.

Belanja pegawai di 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan di 116 kabupaten/kota mencapai lebih dari 60 persen, bahkan ada daerah yang mengalokasikan belanja pegawai lebih 70 persen dari APBD. Kondisi ini, setiap daerah berbeda, karena jumlah pegawai lebih banyak untuk melayani luas wilayah. Contoh di Kabupaten Malang jumlah pegawai mencapai 17 ribu orang (guru 12 ribu orang), berarti hanya tinggal lima ribu orang melayani penduduk sebanyak 2,7 juta yang tersebar di 33 kecamatan, 378 desa dan 12 kelurahan. Kecamatan Singosari 18 orang PNS melayani 160 ribu orang penduduk, dan Kecamatan Tumpang 8 orang PNS melayani 70 ribu penduduk. Hal ini, berarti satu PNS melayani sekitar 8.750 orang sampai dengan 8.888 penduduk. Berarti di Kabupaten Malang masih kekurangan PNS. Hal Ini, tidak seimbang padahal secara nasional satu PNS melayani 33 orang penduduk.

Kebijakan belanja pegawai tidak terlepas dari tidak memperhatikan implikasi terhadap anggaran negara yaitu perekrutan pegawai baru, pemberian gaji ke-13, kenaikan gaji lima sampai dengan 10 persen sejak tahun 2006 lalu, serta kenaikkan berbagai tunjangan dan pemberian tambahan uang makan tidak hanya menambah beban belanja gaji pokok APBN yang harus menunggu beban pembayaran pensiun yang belum sharing pembiayaan dengan Taspen. Dinama pembayaran pensiun sejak tahun 2009 menjadi beban penuh APBN (Nota Keuangan RAPBN 2012).

Sebagai pemicu beban anggaran belanja pegawai adalah pemberian remunasi sebagai salah satu agenda reformasi birokrasi yang mulai tahun 2007 pada tiga kementeriaan/lebaga dan terakhir pada tahun 2011 kepada 14 kementerian/lembaga, sehingga di tahun 2010 dialokasi dana sebesar Rp 13,4 triliun untuk remunasi. Lebih parah lagi, dengan semakin menjamurnya Lembaga Non Struktural (LNS), pada tahun 2007 terdapat 76 LSN dengan beban kepada negara sebesar Rp 483,3 miliar, dan kemudian membengkak menjadi 101 LSN dengan belanja pegawai Rp 1,87 triliun pada tahun 2010.

Talang Dana Pensiun

Penerimaan paling dekat adalah pegawai honor, sehingga total biaya tambahan untuk belanja pegawai mencapai Rp 7 triliun, tetapi pemerintah pusat hanya mencari tambahan Rp 3 triliun, dan Rp 4 triliun merupakan dana yang bisa hemat adanya pegawai pensiun selama tiga tahun terakhir sebagai dana talangan. Aparat birokrasi di daerah menyedot APBD mencapai 50 persen, sehingga membuat peraturan pemerintah daerah tidak memberatkan APBD. Pemerintah pusat hanya bisa memberikan rekomendasi agar Pemda mengalokasikan belanja modal mencapai 20 persen APBD dan belanja pegawai tidak lebih dari 50 persen. Hal ini, harus dipertegaskan kepada Pemda yang tidak melakukan alokasi dana 20 persen APBD untuk belanja modal, sebaiknya tidak menambah pegawai.

RAPBN 2012 pemerintah pusat mengalokasikan belanja pegawai sebesar Rp 215,7 triliun (2,7 persen) dari Produk Domestik Bruto (PDR), walau pun rencana adanya Moratorium PNS, pemerintah pusat menambah anggaran belanja Rp 32,9 triliun atau naik 18 persen, ketimbang APBN Perumbahan 2011. Hal ini, karena pemerintah menjanjikan kenaikkan gaji PNS sebesar 10 persen tahun depan (2012). Belanja pegawai ini, merupakan belanja terbesar dalam postur RAPBN 2012 mencapai 32,6 persen dari belanja pemerintah pusat.

Ke depan, APBN kita harus sehat, sehingga belanja pegawai dan belanja barang dibatasi paling tinggi 30 persen dan total belanja pemerintah pusat dan paling tinggi 50 persen dari total belanja pemerintah daerah. Selama ini, dana transfer ke daerah mencapai Rp 464,4 triliun tahun 2012 diperlukan kebijakan standarisasi tunjangan dan untuk pejabat daerah. Pemerintah pusat juga membatasi belanja pegawai Pemda secara profesional melalui revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kebiasaan yang dilakukan oleh Pemda di mana saja, pada sekitar bulan Nopember dan Desember (pada akhir tahun anggaran), seluruh SKPD melakukan suatu kegiatan untuk menghabiskan pagu anggaran di instansinya. Mereka mengadakan pertemuan, seminar, pembahasan Perda bersama legislatif, atau koordinasi antar instansi di hotel-hotel berbintang. Sebenarnya mereka dapat mengirit anggaran itu, dan merupakan suatu prestasi atau kinerja dari SKPD yang bersangkutan, dan diharapkan tahun depan anggarannya biasa dinaikkan. Tetapi, berbalik prediksi jika suatu SKPD tidak dapat menghabiskan anggaran, berarti tidak dapat menunjukkan kinerja, dan tahun depan anggarannya dipangkas. Hal ini, menyebakan semua SKPD menghabiskan pagu anggaran yang belum terserab.

Selain itu, anggaran konsumsi untuk rapat-rapat di SKPD juga menghabiskan anggaran belanja pegawai, sehingga kelihatan begitu megahnya atau berhamburan anggaran di SKPD, ruang-ruang kepala dinas bagaikan di hotel berbintang, serba karpet dan dinding tembok dilapisi wallpaper yang berkelas satu, meja kursi yang diukir harganya berjuta-juta, serta ber-AC. Penampilan ini, dinilai pemborosan keuangan daerah hanya untuk ruang kepala dinas.

Hubungan dengan APBD 2012

Penundaan belaja pegawai ini, akan berpengaruh terhadap penyusunan APBD 2012. Bagi daerah-daerah yang sudah menetapkan APBD Perubahan pada bulan September 2011, tidak mampu atau tidak bisa menekan biaya belanja pegawai. Tetapi, yang belum menetapkan APBD-P, masih bisa merubah anggaran belanja pegawainya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, menjelaskan belanja pegawai merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada PNS. Oleh karena itu, Pemda dapat memberikan tambahan penghasilan kepada PNS berdasarkan pertimbangan yang objektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah, dan harus memperoleh persetujuan DPRD setempat. Tambahan penghasilan itu, diberikan dalam rangka kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja atau tempat bertugas atas kondisi kerja atau kelangkaan profesi atau prestasi kerja. Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja diberikan kepada PNS yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai melampau beban kerja normal.

Juga, tambahan penghasilan berdasarkan tempat tugas diberikan kepada PNS yang dalam melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat kesulitan tinggi dan daerah terpencil. Sedangkan tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja diberikan kepada PNS yang dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang memiliki risiko tinggi, dan tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi diberikan kepada PNS yang dalam mengembangkan tugas memiliki keterampilan khusus dan langka. Serta tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada PNS yang dalam melaksanakan tugasnya dinilai mempunyai prestasi kerja.

Struktur APBD selama ini adalah “kinerja”, sebaiknya tunjangan struktural diganti dengan tunjangan perstasi/kinerja, sehingga biaya/beban yang dikeluarkan berdasarkan prestasi kerja. Karena tunjangan struktural, walau pun pegawainya tidak berkerja secara optimal, yang penting kehadirannya. Prestasi kerja, maka akan di lihat pada rencana, realisasi, dan target bekerja dari setiap pegawai yang menduduki eselon, sehingga benar-benar menghasilkan satuan kerja yang efektif, efisenesi, dan tepat guna. Oleh karena itu, setiap akhir bulan pimpinan SKPD melakukan Evaluasi Skill Responbility (ESR) kepada bawahannya, dengan standar yang telah diatur dan disepakati secara bersama.

Bila dihubungkan dengan Permendagri No 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2012 yang ditetapkan tanggal 23 Mei 2011, juga harus direvisi, karena pos-pos belanja pegawai baik dalam pos belanja langsung mau pun belanja tidak langsung, harus dibenahi. Diharapkan forum Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketua Sekretaris Daerah (Sekda) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD segera mengagendakan/rapat untuk membicarakan RAPBD 2012, karena menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri 13 Tahun 2006 pembahasan RAPBD 2012 paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran berakhir.

Dalam pos belanja langsung, belanja pegawai untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah, tidak bisa dihapuskan. Tetapi,dalam rangka meningkatkan efisiensi anggaran daerah, penganggaran honorarium bagi PNSD dan Non PNSD memperhatikan asas kepatuhan, kewajaran dan rasionalisasi dalam mencapai sasaran program dan kegiatan. Disarankan, dalam pemberiaan honorarium bagi PNSD dan Non PNSD dibatasi dan hanya didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan PNSD dan Non PNSD dalam kegiatan benar-benar memiliki peranan dan kontribusi nyata terhadap efektifitas pelaksanaan kegiatan. Sedangkan besaran honorarium bagi PNSD dan Non PNSD dalam kegiatan, termasuk honorarium narasumber/tenaga ahli dari luar instansi pelaksana kegiatan dengan keputusan kepala daerah.

Sedangkan belanja tidak langsung pihak Pemda harus memperhatikan, besarnya penganggaran untuk gaji pokok dan tunjangan PNSD disesuaikan dengan hasil rekonsiliasi jumlah pegawai dan belanja pegawai dalam rangka perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) tahun anggaran 2012 serta memperhitungkan rencana kenaikkan gaji pokok dan tunjangan PNSD dan pemberian gaji ketiga belas.

Sumber pendapatan daerah 80 persen tergantung dari dana perimbangan sekitar 68 persen belanja transfer yang dialokasikan ke daerah sebagai besar diperuntukan belanja pegawai dan tambahan tunjangan guru. Dengan demikian tidak ada insentif bagi daerah yang merampingkan birokrasi atau meningkatkan pendapatan. Contoh APBD Kabupaten Malang Tahuan Anggaran 2011 sebesar Rp 1,7 triliun, sedangkan untuk belanja pegawai sebesar Rp 900 juta, sedangkan sisanya Rp 800 juta digunakan untuk belanja modal dan barang. Hal ini, tidak seimbang, karena jumlah pegawainya 17 ribu orang. Seharusnya anggaran belanja publik lebih besar daripada anggaran belanja pegawai, tetapi pada kenyataannya berbalik.

Pos belanja tidak langsung untuk belanja pegawai yang bisa tidak dimasukkan ke dalam APBD 2012 adalah penggangaran belanja pegawai untuk kebutuhan pengangkatan Calon PNSD sesuai formasi pegawai 2012, karena pada tahun 2011 dan 2012 tidak ada pengangkatan Calon PNSD, sehingga diharapkan pegawai honorarium yang telah masuk kedalam database pada tahun 2006 sampai dengan akhir Desember 2010, bisa diangkat menjadi PNS. Sehingga pada tahun 2013, penerimaan CPNS berdasarkan analisa kebutuhan pegawai setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Pos belanja yang bisa dipertimbangkan untuk tidak dimasukkan ke dalam APBD 2012, adalah penyediaan dana penyelenggaraan asuransi kesehatan yang dibebankan pada APBD. Hal ini, juga harus berpedoman pada PP Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan bagi PNS dan Penerima Pensiun. Maka, penyediaan anggaran untuk pengembangan cakupan tunjangan kesehatan di luar cakupan pelayanan kesehatan yang disediakan asuransi kesehatan, tidak diperkenankan dianggarkan dalam APBD 2012, kecuali ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Jadi, kebijakan moratorium ini tidak cukup sepanjang kebijakan reformasi birokrasi masih bersifat parsial dan terbatas. Hal ini, terbukti walau pun kebijakan Moratorium PNS diberlakukan, tetapi belanja pegawai pada RAPBN 2012 justeru meningkat paling tinggi sebesar Rp 32,8 triliun, sudah termasuk alokasi gaji tambahan pegawai baru. Penundaan ini, tidak akan mengurangi beban belanja pegawai. Ini, juga membuktikan pertanda kegagalan desain reformasi birokrasi, karena tidak mempertimbangkan konsekuensinya terhadap beban anggaran. Perbaikan penghasilan rumenasi, seharusnya diikuti dengan peningkatan produktivitas pegawai.

Kelihatan pemerintah pusat “grogi” dengan beban pembayaran pegawai, sehingga mengeluarkan Moratorium belanja pegawai ini hanya bersifat asal-asalan atau keburu saja, karena beban anggaran 2012 semakin meninggi, dan hutang luar negeri dari tahun ke tahun semakin besar, sedangkan untuk membayar hutan luar negeri itu harus menggali pendapatan dalam negeri.

Tetapi, korupsi semakin merajalela di kalangan birokrasi, alias “pejabat negara merapok uang rakyat” melalui APBN dana APBD. Hal ini, tidak dapat dipungkiri lagi kolusi antara eksekutif, legislatif, dan swasta/pemborong/rekanan dalam membagi kue pembangunan, karena harus berbagi fee kepada DPR/DPRD mau pun para pejabat yang berada di pemerintah pusat mau pun pemerintah daerah, sehingga para kontraktor harus menyisihkan fee untuk mendapatkan sebuah proyek. Sampai kapan praktek semacam ini berakir?. (George da Silva).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar