Selasa, 31 Mei 2011

Yayasan Arema Berubah, Rendra-Iwan Pembina Yayasan

MALANG, NAGi. Yayasan Arema, setelah bertahun-tahun berjalan terseok-seok tanpa pengurus yang pasti, akhirnya H Rendra Kresna yang juga Bupati Malang dan Iwan Kuniawan Presiden Direktur PT Anugerah Citra Abadi (ACA) mengambil alih menjadi Pembina Yayasan Arema.

Hal ini, berdasarkan hasil rapat, Minggu (29/5) yang
dihadiri Bambang Winarno selaku Pengawas Yayasan, Muhammad Nur sebagai Ketua Yayasan serta Rendra Kresna yang masih sebagai Bendahara Yayasan Arema menetapkan dua orang bakal menjadi Pembina Yayasan Arema. “Saya dan Pak Iwan Kurniawan ditetapkan sebagai Pembina Yayasan Arema. Sementara kita mengisi kekosongan Pembina Yayasan Arema dulu, setelah itu nanti kita rapat lagi bisa bertambah para pembinanya,” jelas Rendra, yang penting sekarang posisi yang kosong terisi lebih dulu.

Dikatakan Rendra, perubahan pembina yayasan, jika investor baru mampu membeli mayoritas saham Arema, pihaknya dan Pak Iwan apabila masih dibutuhkan oleh investor, maka tetap berada di posisi pembinan. “Adanya rapat gabungan ini, berdasarkan insiatif dari Pengawas Yayasan Arema yang memiliki kewenanagan. Selama ini, Arema tidak memiliki pembina yayasan sejak Darjoto Setiawan mengundurkan diri September 2009 silam,” ungkap Rendra, sehingga pengawas yayasan mengadakan rapat ini.

Sementara itu, Bambang Winarno mengatakan rapat ini atas inisiatifnya, karena sudah sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Yayasan. “Pak Rendra sampai sekarang posisinya masih Bandahara Yayasan bukan sebagai Presiden Kehormatan, berarti rapat ini sah dengan keputusan memilih Rendra dan Iwan sebagai Pembina Yayasan Arema,” tegas Bambang yang juga dosen Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Menurut Bambang, pembina yayasan ini sebagai kunci. Selanjutnya langkah-langkah ke depan akan disusun oleh pembina yayasan, khususnya dalam kondisi darurat seperti saat ini, tapi dalam kondisi normal, pengurus yang akan melaksanakannya. “Tidak mudah mengadakan rapat seperti ini. Dari rapat gabungan ini, juga menghasilkan adanya perubahan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Yayasan Arema,” jelas Bambang, yang juga konsultan hukum, sudah termasuk akte notaris untuk posisi Pembina Yayasan Arema dalam waktu dua minggu sudah selesai, sedangkan untuk pengurus lainnya seperti Sekretaris dan Bendahara Yayasan Arema disusun termasuk Direksi PT Arema Indonwesia setelah ada kejelasan struktur pengurus Yayasan Arema. (bala/faby).

DPRD Meraup Uang untuk Kepentingan Pribadi dan Partai, Rakyat Hanya Menjadi Objek

KELAKUAN para anggota DPR RI di Jakarta, dengan berbagai alasan dan upaya meraup keuangan negara untuk kepentingan partai, pribadi dan para koleganya, kini sudah merambah ke daerah-daerah. Para anggota DPRD di daerah, juga perilakunya sama tidak berbeda dengan para anggota DPR. Mondus operasionalnya juga sama, sehingga membuat para eksekutif kebingungan untuk mengatur dana dalam APBD yang disusun bersama Panitia Anggaran (Panggar) dari eksekutif dan Badan Anggaran (Banggar) dari legislatif. Setiap tahun dalam penyusunan APBD, para anggota dewan seenaknya menaikan gaji dan berbagai tunjangan. Jika, tidak disetujui eksekutif, maka para anggota dewan pun tidak menyetujui anggaran yang diajukan oleh setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bersangkutan. Ujung-ujungnya, terjadi kesepakatan, sehingga APBD di mark up. Tindakan para anggota dewan yang terhormat ini, rakyat hanya menjadi objek jualan elit politik untuk membangun citra dan simpati dari masyarakat. Padahal, dalam praktek politik nyata, sebagian politikus daerah justeru berlaku merugikan rakyat seperti mengorupsikan uang negara/daerah yang semestinya untuk kepentingan rakyat dalam pembangunan di segala sektor.

Kita bercermin dari peristiwa yang mengagetkan rakyat seantero tanah air yaitu, kasus mantan Bendahara Partai Demokrat (PD), Muhammad Nazaruddin, kini dikaitkan dengan “dugaan” penyuapan dalam proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang, dan peristiwa penyuapan di Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Sekretaris Jenderal MK, Janedjri M Gafar. Sekjen PD Nazarudin telah memberi dana 120.000 dollar Singapura. Pihak MK, oleh Ketua MK Mahfud MD telah melaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) pada Nopember 2010 secara lisan. Dan kasusnya ini, baru terungkap di permukaan 20 Mei 2011, SBY dan Mahfud memberi keterangan di Istana, maka serta merta ada beberapa anggota pimpinan PD mencak-mencak dan menuding Mahfud bermain di air keruh dan melakukan manufer kepentingan pencalonan Presiden 2014 mendatang.

Buka rahasia lagi para anggota dewan yang sebelumnya dari beragam latar belakang profesi, advokat, akademisi, tukang ojek, sampai pengangguran, dengan berbekal pinjaman uang dan memiliki massa yang cukup telah mengantarkanya ke gedung dewan mewakili para konstituen yang memilihnya. Karena kurang pendidikan, pengalaman dalam berpolitik mau pun berbagai wawasan tentang pemerintahan, sehingga membuat anggota dewan itu terpukau atas kemewahan dan fasilitas yang disediakan pemerintah untuk masing-masing. Untuk anggota DPRD di daerah “kering” dan APBD daerah yang masih di bawah harapan, minus dari fasilitas untuknya, tetapi mereka sudah layak hidup di atas garis kemiskinan. Bagi daerah yang surplus, setiap anggota DPRD diberi pinjam pakai kendaraan roda empat (avansa, innova, varios), sebagai penunjang kerja mereka sehari-hari.

Kesejahteraan Masyarakat

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah mememiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Bisa dikatakan agenda reformasi yang sudah 13 tahun ini gagal terlaksana, hal ini ditunjukkan dengan belum terpenuhi hak rakyat, terutama hak sosial ekonomi. Agenda reformasi salah arah, akibat dari liberalisasi politik dan ekonomi, maka imbasnya Orde Baru seolah-olah lebih baik ketimbang saat ini. Liberalisasi politik juga menghasilkan politisi korup, baik yang duduk di dewan mau pun di eksekutif. Hal ini, terlihat dari begitu besarnya ongkos politik seperti menjadi bupati, walikota, biaya rata-rata mencapai Rp 30 miliar, belum lagi yang ingin menjadi gubernur yang daerahnya makmur berpenduduk besar bisa menelan biaya triliun rupiah. Poiitik uang yang berkembang saat ini, dinilai merusak moral masyarakat, bahkan bangsa yang biasa hidup dalam kebersamaan berdasarkan asal-usul, adat istiadat setempat yang rukun, tetapi dengan otonomi seluas-luasnya ini, mulai dari kota sampai ke desa-desa masyarakat dibuat terkotak-kotak oleh elit politik dan pemodal. Ada “adium” para bupati/walikota/gubernur, tahun pertama pemerintahannya membayar kembali kepada sponsor, tahun kedua mengembalikan kepada pemodal, dan tahun ketiga semuanya “masuk bui”, karena menyalahgunakan APBD dengan kewenangan yang dimiliki.
Gerakan reformasi 1998 tidak hanya mengkritik Orde Baru, sebaliknya gerakan ini menginginkan Indonesia kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Tetapi, Pancasila sekarang hanya sebagai simbol saja dari elit politik, sehingga kurikulum di sekolah-sekolah terabaikan, membuat generasi sekarang hanya menghafal. Untuk mengaplikasikan dan penghayatan itu benar-benar sudah luntur, sehingga para anggota dewan dan eksektuif sudah lupa “daratan” dan “mabuk” berbagai proyek serta bagi-bagi kue pembangunan daerah dan masyarakat hanya menjadi penonton pembangunan saja, tidak sedikit pun diberi kesempatan untuk mencicipi. Kue pembangunan hanya dirasakan dan dinikmati oleh anggota dewan, keluarganya, dan kelompoknya. Betapa ironis, demokrasi yang diharapkan bukan hanya sebagai sistem yang prosedural seperti saat ini, tetapi yang menjamin terpenuhinya hak rakyat, mulai dari kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan tegaknya supremasi hukum.

Menghadapi reformasi yang “dibajak” berbagai kepentingan pribadi dan golongan, maka kita semua masyarakat Indonesia dari berbagai elemen harus bertanggung jawab terhadap agenda reformasi. Apakah para aktivis mahasiswa bersama masyarakat perlu turun kembali ke jalan meski pun tidak dalam bentuk unjuk rasa. Kita harus mengawal agenda reformasi, baik terhadap pemerintahan pusat mau pun sampai ke daerah-daerah, karena uang negara/daerah sudah dipetakan untuk kepentingan para anggota dewan dan eksekutip. Rakyat sudah “dibodohi” hampir 13 tahun setelah reformasi, tetapi masyarakat untuk mencari sesuap nasi saja begitu sulit, sehingga ada yang mencuri pisang setandan, singkong sepohon, semangka sebuah, harus duduk sebagai pesakitan di pengadilan. Sedangkan koruptor dibela oleh para advokat, dengan berbagai upaya untuk membebaskan dari celah-celah hukum. Itulah tugas para advokat, karena ia dibayar oleh para koruptor, tetapi para advokat tidak melihat jauh ke depan bangsa ini harus di bawah ke mana.

Rakyat Batu Lompatan

Dalam praktek berpolitik, para politikus hanya menjadikan rakyat sebagai batu lompatan untuk memperoleh jabatan di pemerintah pusat atau daerah, di DPR atau DPRD. Begitu berhasil menduduki kekuasaan, mereka lupa untuk memenuhi amanat memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka masih bicara atas nama rakyat, tetapi sebagian justeru mencerderai rakyat dengan mengorupsikan anggaran. Rakyat saat ini, hanya menjadi kamuflase kebusukan politik. Wacana rakyat hanya jualan yang seksi dalam kampanye atau panggung politik sehari-hari demi mengelap pencitraan, menarik simpati, atau menunjukkan kepedulian palsu. Sebenarnya politisi hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Mereka memakai nama rakyat untuk mengeruk keuntungan moril dan material. Secara moril, mereka ingin tampak terhormat dan citranya bagus. Secara material, diam-diam bagian dari politik menyalahgunakan kekuasaan untuk mengeruk untung sendiri. Pembusukan politik tersebut, kian parah karena budaya hedonisme, konsumtif, memperkaya diri juga merajalela dalam kehidupan sehari-hari politisi itu. Rakyat terutama kalangan bawah, akhirnya menjadi objek penderita saja dan menjadi bulan-bulanan permaian para elit politik serta politik karbitan anggota dewan.

Dewan Bermain Proyek

Bukan rahasia lagi, para anggota dewan itu semuanya bermain dengan proyek di eksekutif. Misalnya para anggota dewan dari komisi “Y” bermitraan dengan para SKPD, secara tersirat, lisan mau pun terang-terangan meminta jatah proyek kepada SKPD yang bersangkutan. Dana yang diperolehnya sebagian disetor untuk kepentingan partainya, kepentingan pribadi dan keluarga, serta kelompok pendukungnya. Para SKPD tidak bisa berbuat apa-apa dengan permintaan yang terhormat anggota dewan tersebut. Sekarang anggota dewan sudah pandai meminta kepada SKPD proyek, tetapi yang mengerjakan adalah “kelompok”-nya, sehingga terhindari dari jeratan hukum, bahwa anggota dewan tidak boleh merangkap pekerjaan selain menjadi dewan.
Menjadi masalah dana yang disetorkan kepada partai, karena partai mengharapkan keuangan dari para anggota yang duduk di dewan. Selain dana yang jatah dari pemerintah per kursi, dengan terpaksa mereka harus pandai mencari uang untuk keperluan partai, untuk membina para kadernya serta memelihara konstituennya. Kelemahan pada partai adalah, tidak penah meminta iuran dari anggotanya, walau pun dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) mengatur tentang iuran, itu hanya basa-basi terulis dalam akta otentik saja.

Para anggota dewan sering melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah, baik komisi, fraksi, dan para pimpinan dewan sudah ada uang jalan yang dibiayai oleh keuangan daerah, masih juga meminta kepada SKPD yang bersangkutan. Hal ini, sudah menjadi “rahasia umum” dengan terpaksa para SKPD menyediakan dana yang tidak termasuk dalam Dokumen Penggunaan Anggaran (DPA), sehingga menyulitkan. Maka, terjadi korupsi berjamah, baik dewan mau pun eksekutif.
Jika, kondisi ini dibiarkan terus berlangsung, lembaga-lembaga pemerintah akan semakin membusuk. Masyarakat akan semakin tidak mempercayai lembaga dan para aktor politik. Hal ini, untuk mengantisipasinya harus menata ulang sistem dan budaya politik, sehingga bisa lebih menutup celah penyelewengan kekuasaan. Saat bersamaan, harus dibangun masyarakat yang beradap, sebagai basis untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Bukan saat sekarang ini, demokrasi uang (pemodal) yang meraja lelah di segala sektor kehidupan. Masyarakat, setiap hari disajikan berita korupsi baik kalangan anggota dewan mau pun eksekutif. Mereka tidak pernah jerah, padahal jabatan atau kedudukan itu adalah amanah, yang harus dikembangkan dan dipertangungjawabkan di dunia dan akhirat. Mungkin mereka sudah tidak mengharapkan pembalasan di akhirat nanti. Semoga. (George da Silva)

Jumat, 27 Mei 2011

Rapat Gabungan Komisi DPRD Kabupaten Ende Ricuh, Perkelahian Sesama Anggota DPRD Memalukan

ENDE, NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), NAGi. Mungkin sindiran almahrum Gus Dur benar bahwa, perilaku Wakil Rakyat di negeri ini cenderung seperti anak Taman-Kanak-kanak. Perilaku tidak terpuji dari para wakil rakyat yang terhormat di negeri ini, tidak saja ditunjukan oleh wakil-wakil rakyat di DPR Pusat, tetapi terus menular turun kepada wakil-wakil rakyat di DPRD di daerah, khususnya di DPRD Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Aksi saling pukul, kejar-kejaran dan saling lempar kembali dipertontonkan anggota dewan terhormat usai Rapat Gabungan Komisi, membahas 10 Rencana Peraturan Daerah (Rapreda) Rabu (25/5) baru-baru ini di Gedung DPRD Kabupaten Ende,

Rapat Gabungan Komisi DPRD Kabupaten Ende membahas 10 Rapreda berakhir ricuh, diwarnai dengan perkelahian dan aksi saling lempar, makian serta kejar-kejaran antara Pimpinan Rapat, Fransiskus Taso (Ferry) yang juga Wakil Ketua DPRD Ende dan H Anwar Liga Wakil Ketua DPRD Ende melawan Anggota DPRD Komisi B Gabriel Dala Ema. Rapat yang diharidi oleh pihak Pemerintah Kabupaten Ende diantaranya Asisten III, Abdul Syukur, Kepala Bagian Hukum, Petrus Guido No, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yoseph Lele, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, MS Thamrin dan sejumlah staf berakhir dengan keputusan tidak lagi melanjutkan pembahasan Raperda, dan keputusan terkait kelanjutan pembahasan dan penetapan delapan Raperda tersebut diserahkan sepenuhnya kepada fraksi-fraksi.

Bermula dari alotnya pembahasan dalam Rapat Gabungan Komisi DPRD Kabupaten Ende dengan Pemerintah Daerah terkait polemik pengajuan 10 buah Raperda dimana mayoritas anggota Gabungan Komisi bersikeras tetap meminta penjelasan pemerintah atas penarikan dua buah Raperda dari 10 buah Raperda yang diajukan. Bertubi-tubi interupsi datang silih berganti dari anggota rapat,
Pantauan NAGi di dalam Gedung DPRD Kabupaten Ende keributan tersebut terpicu, karena melihat situasi rapat bertambah panas, Fransiskus Taso yang akrab disapa Ferry sebagai pimpinan rapat mengambil keputusan menutup rapat. Bersamaan saat itu, Anggota DPRD Gabriel Dala Ema (Geby) kembali meminta interupsi, tetapi palu tutup sidang tetap dijatuhkan, sehingga timbul ketidak puasan dari Geby sambil mengeluarkan kata-kata omelan diantaranya mengatakan bahwa Ferry sebagai penjilat, menyulut emosi Ferry. Kontan saja Ferry langsung mendatangi Geby dan menyerangnya. Ferry menyambar mikrofon yang ada di ruangan tersebut dan melempari Geby beruntung tidak mengenai sasaran. Pada saat yang bersamaan, Anwar Liga, tiba-tiba datang ikut menyerang Geby dengan menekan kepala Geby ke meja. Geby pun berlari keluar ruangan dan langsung dikejar oleh kedua Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ende tersebut.

Ketika itu, Anwar sempat melempar sebuah botol air mineral kearah Geby yang berlari menghindar menerobos kerumunan para wartawan sambil meneriakan kata-kata makian kepada Geby, hingga ke teras depan gedung DPRD. Kuatir akan keselamatannya Geby pun mengambil langkah seribu hingga kejalan raya dan menyetop seorang pengendara ojek yang kebetulan melintas dengan penumpang dan langsung ikutan naik bertiga ojek tersebut dan kabur meninggalkan Gedung DPRD Kabupaten Ende. Kejadian memalukan, sempat terekam Wartawan NAGi dengan kamera videonya.

Kejadian memalukan tersebut sempat menjadi tontonan masyarakat yang kebetulan melintas di depan Gedung DPRD Kabupaten Ende. Insiden tersebut nyaris tersulut kembali terjadi antara Anggota DPRD Haji Pua Saleh dengan Simplisius Mbipi, beruntung perang mulut dan ketegangan tersebut segera dipisahkan oleh beberapa wartawan dan staf DPRD yang berada di teras gedung dewan, sebab terdapat beberapa kata-kata yang berbau profokasi yang tidak sedap didengar dan tidak layak dikeluarkan oleh orang yang disebut wakil rakyat yang terhormat.

Dua Reperda Ditarik

Anggota DPRD Abdul Kadir Hasan Mosa Basa dalam rapat tersebut mengatakan bahwa jawaban pemerintah yang disampaikan dalam rapat Paripurna VII DPRD Ende terkait alas an penarikan dua Raperda tersebut belum menjawab substansi pertanyaan dari fraksi-fraksi Dewan. Apalagi merujuk pada penjelasan bupati dan wakil bupati dalam paripurna lalu sangat kontradiktif.

Menurut Kadir penarikan tersebut dapat dilakukan jika Raperda tersebut belum masuk dalam proses pembahasan di lembaga dewan. Sementara kenyataannya pembahasan atau pra pembahasan sudah dilakukan di tingkat Badan Musyawarah (Banmus) bersama pemerintah, dan bahkan bersama pemerintah telah membahas dan menetapkan sepuluh buah Raperda yang diajukan pemerintah, malah tidak saja menyebutkan sepuluh buah, tetapi juga dibacakan semua nama-nama dari sepuluh Raperda tersebut saat itu, dengan demikian pembahasan sudah dilakukan. “Jika proses tersebut terus dilanjutkan dengan membahas delapan buah Raperda tersebut, maka proses tersebut telah mengangkangi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan,” tegas Kadir, mengharapkan penjelasan penarikan dapat dilakukan jika belum ditetapkan jadual, namun jika jadual telah ditetapkan maka harus atas persetujuan dewan.

Hal senada juga dikemukakan Anggota DPRD, Haji Pua Saleh, dengan penarikan dua Raperda tersebut setelah Banmus menetapkan jadual sidang pembahasan Raperda menunjukan bahwa pemerintah tidak menghargai lembaga dewan. “Hal ini, terjadi sebagai akibat rendahnya tingkat koordinasi di pemerintahan, sehingga terdapat pendapat yang berbeda-beda baik dari bupati, wakil bupati dan kepala bagian hukum terkait argumentasi mereka atas penarikan dua Raperda tersebut. Jawaban yang dilakukan oleh pemerintah sangat tidak mendasar dan seperti jawaban anak kecil,” ungkap Haji Pua, apalagi sampai mengatakan bahwa ada oknum anggota dewan yang mempersoalkan penarikan dua Raperda tersebut sebagai upaya mencari prestise.

Berbeda dengan Anggota DPRD, Simplisius Mbipi, bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi penarikan dua Raperda tersebut, karena dewan telah menerima pengajuan delapan Raperda tersebut dari pemerintah dan sudah ada serah terima dari pemerintah kepada pimpinan dewan.

Perilaku Dewan Tidak Cerdas

Sementara itu secara terpisah, mantan anggota DPRD Ende Periode 2004-2009 Djamal Humris, BBM, kepada NAGi mengkritik perilaku anggota dewan yang terlibat perkelahian sebagai perilaku dewan yang tidak cerdas dan tidak matang emosional dan cara berpikirnya masih rendah. Tidak bisa seorang anggota dewan memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Terkait ada oknun anggota dewan yang mengkaitkan masalah tersebut dengan isu SARA, Djamal mengingatkan, mereka harus lebih jelilah melihat urgensi dari persoalan yaitu tentang peraturan daerahnya. “Mereka, tidak perlu sampai harus membawa-bawa soal SARA, itu tidak populer dan tidak menunjukan seorang wakil rakyat yang baik. Mengharapkan agar pemerintah harus menjelaskan kepada publik terkait penarikan dua Raperda itu,” saran Djamal, sebab ini sudah masuk ke dewan dan sudah menjadi konsumsi publik.

Secara pribadi, kata Djamal sangat menyesalkan pernyataan bupati dalam paripurna terkait dua Raperda tersebut sebagai "Raperda Siluman". Sewajarnya pernyataan seperti itu, tidak perlu di keluarkan di depan publik. “Saya dengar pak wakil bupati agak tersinggung dengan pernyataan bupati tersebut, karena itu saya mengharapkan walau pun selama ini, memang terlihat bupati dan wakil bupati kurang harmonis hubungannya, tetapi saya tetap mengharapkan keduanya harus tetap solid,” ajak Djamal, semuanya demi kemajuan pembangunan Kabupaten Ende.

Terkait masalah perkelahian antar Anggota DPRD tersebut, ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Ende, Haji M. Taher berjanji dalam waktu dekat akan memanggil mereka yang terlibat dalam insiden tersebut. Agar persoalan tersebut kedepannya tidak terulang lagi.(fp).

Kejari Ende Aksi Tutup Mulut Soal Kasus DAK Pendidikan, Dominggus Minggu Salah Satu Tokoh Kunci

ENDE, NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), NAGi. Proses penanganan kasus dugaan penyimpangan kegiatan Pengadaan Buku dan Alat Peraga, Rehabilitasi Bangunan Gedung serta Pengadaan Meubelair dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Kabupaten Ende tahun anggaran 2006 pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende hingga saat ini, seakan belum menemui kemajuan berarti. Sulitnya mengakses informasi terkait penanganan kasus tersebut membuat proses penanganannya semakin memberikan tanda tanya besar. Pihak penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Ende seakan melakukan aksi tutup mulut terkait masalah tersebut, setelah pemberitaan di media Surat Kabar Nasional NAGi, Edisi 62, 9-25 Mei 2011 dengan judul “Jaksa Diduga Melindungi Bupati Wangge”. Salah satu saksi kunci adalah Dominggus Minggu, karyawan PT Erlangga Jakarta, yang bisa mengungkapkan kasus ini, sudah empat kali dipanggil tetapi tidak menggubris panggilan Kejari Ende.

Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Ende, Adhianto, SH, MHum, dan para Jaksa berkali-kali diminta bertemu, selalu mengelak dengan berbagai alasan, ketika diminta konfirmasi masalah DAK Pendidikan Kabupaten Ende. Jadi, benar dugaan Kajari “Melindungi Bupati Ende Wangge”.

Berdasarkan penelusuran NAGi dari beberapa informasi yang dihimpun, terdapat beberapa nama yang diperkirakan berperan dalam kasus tersebut yakni, Kepala Dinas P & K (kini Bupati Ende, Drs Don Bosco M Wangge, MSi), Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran (Lambertus Rua Raki), bendahara penerimaan dan pengeluaran (Yohana Ery Dino), serta pembantu bendahara dan PPK saat itu (Teroci L.A Lasay). Salah satu tokoh kunci penting yang berperan dalam kasus yang menyita banyak perhatian masyarakat, baik media cetak mau pun media elektronik daerah, dan nasional adalah Dominggus Minggu.

Nama Dominggus Minggu disebut-sebut sebagai orang yang bekerja di PT Erlangga Jakarta, menerima sejumlah dana yang ditransfer dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende tahun 2006 dan 2007 melalui Kasubag Keuangan Dinas P & K Kabupaten Ende, untuk Biaya Pengadaan Buku Life Skill, Biaya Pengadaan Alat Peraga, Biaya Pengadaan Buku Refrensi.

Transfer Dana ke PT Erlangga

Perintah pentransfer sejumlah dana kepada Nomor Rekening 012201-038698-50-8 atas nama Dominggus Minggu di Bank Jatinegara, Jakarta melalui Bank NTT Cabang Ende diberikan Kepala Dinas P & K Kabupaten Ende saat itu Wangge, kepada Kasubag Keuangan Dinas P & K Kabupaten Ende di saat itu, Nuraini Sa'okori. Transfer itu, masing-masing 29 Nopember 2006 sebesar Rp100 juta, 28 Desember 2006 pada hari yang sama terjadi dua kali transferan sebesar Rp 900 juta dan Rp 502 juta, dan 1 Pebruari 2007 sebesar Rp 400 juta, 2 Pebruari 2007 sebesar Rp 541juta, sehingga total dana yang mengalir ke rekening Dominggus berjumlah Rp 2.443 miliar. Atas pembayaran tersebut, tidak dipungut dan disetor pajaknya ke Kas Negara, yakni PPN sebesar Rp 29.181.818,18,- dan PPh sebesar Rp27.864.545,- atau total Rp 57.046.363,64,- menyebakan negara dirugikan.

Dominggus diketahui sebagai seorang putera daerah Kabupaten Ende yang bekerja di PT. Erlangga Jakarta. Berdasarkan informasi yang diterima NAGi, Kejaksaan Negeri Ende telah melakukan pemanggilan kepada Dominggus sebanyak empat kali, tetapi yang bersangkutan tidak menggubrisnya. Diperkirakan Dominggus sudah merasa dirinya terlibat dan menjadi tersangka, sehingga ada upaya menghindarkan diri dari proses hukum.
Setelah menerima sejumlah dana dari pihak Dinas P & K Kabupaten Ende, Dominggu mentransfer uang sebesar Rp 155 juta, ke rekening Kasmir Sening Nomor 55464903 Bank Danamon Cabang Ende selaku Kepala Pos PT. Erlangga yang ada di Ende sebagai distributor, agar uang tersebut diserahkan ke-36 Kepala Sekolah yang mengambil buku di PT Erlangga sebagai insentif/fee/diskon yang diterima oleh masing-masing Kepala Sekolah bervariasi.

Penyaluran DAK Tidak Sesuai

Untuk diketahui bahwa, prosedur penyaluran Dana DAK Bidang Pendidikan Kabupaten Ende TA 2006, dalam prosesnya pelaksanaannya tidak sesuai dengan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor: 1591/C/KU/2006 tanggal 24 Maret 2006 Perihal : Tata Cara Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2006, seharusnya berdasarkan SE tersebut, maka Dana DAK harus langsung disalurkan dari Kas Daerah (Kasda) ke rekening para Kepala-kepala Sekolah, tetapi dalam kentayaannya proses pembayaran Dana DAK TA 2006 dilakukan Bendahara Dinas P & K Kabupaten Ende ke sekolah-sekolah.

Khusus untuk prosedur pembayaran harga pengadaan buku-buku referensi, life skill dan alat peraga yang dilakukan Bendahara Dinas P dan K Kabupaten Ende kepada ke-36 SD, terbukti menyalahi SE Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor: 1591/C/KU/2006 tanggal 24 Maret 2006, seharusnya pembayaran tersebut langsung dilakukan oleh para kepala-kepala sekolah sendiri kepada pemasok. Dalam SE tersebut poin 5 angka II huruf B tentang Penggunaan DAK Bidang Pendidikan dinyatakan bahwa :”…..apabila terdapat sisa dana dari alokasi pengadaan sarana pembelajaran dan perpustakaan kelas (36%), maka sisa dana tersebut dapat digunakan untuk menambah volume, sasaran atau disetorkan kembali ke Kas Negara melalui Bank Pemerintah”.

Laporan Tim Investigasi BPKP

Berdasarkan laporan Tim Investigasi BPKP Perwakilan Provinsi NTT Nomor: LHAI-1193/PW 24/5/2009 tertanggal 16 Maret 2009, adanya pemberian fee/bonus/diskon kepada ke-36 Kepala Sekolah sebesar 10% dari total harga pembelian buku-buku referensi, life skill dan alat peraga dari Kepala Pos PT Erlangga Ende, Kasmir Sening. Berarti, dari kegiatan pengadaan sarana pembelajaran dan perpustakaan kelas (36%), terdapat sisa dana sebesar 10% dari pagu dana yang ditetapkan untuk tiap sekolah penerima DAK yaitu sebesar 10% x total pagu dana sebesar Rp 2.064.630.500,- = Rp 206.463.050,-. Dengan demikian, ke-36 kepala sekolah penerima DAK dapat dijadikan tersangka, karena telah menerima dan menggunakan kelebihan dana dari pengadaan buku-buku referensi dan life skill serta alat peraga untuk keperluan lain.

Sedangkan untuk tahun anggaran 2007 terjadi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 805.000.000,- atas insentif/rabat/diskon yang diterima secara pribadi oleh para koordinator dan kepala sekolah/ketua dan tim Rehabilitasi dan Pengadaan Sarana pada 62 SD/MI penerima DAK TA 2007.
Berdasarkan informasi yang diterima NAGi dari Jakarta, paling lama pertengahan Juni 2011 mendatang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan turun ke Kabupaten Ende, guna nenangani langsung kasus dugaan penyimpangan kegiatan Pengadaan Buku dan Alat Peraga, Rehabilitasi Bangunan Gedung serta Pengadaan Meubelair dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Kabupaten Ende tahun anggaran 2006 dan 2007 pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende.(en)

Inspektorat Kabupaten Ende, Bidang PLS Gelar Rapat Koordinasi Program PAUDNI

ENDE, NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), NAGi. Bapak dan ibu harus merasa beruntung, bila pihak inspektorat turun melakukan pemeriksaan. Karena setelah dijamah pihak Inspektorat, maka lembaga yang dikelola oleh bapak/ibu mendapat kontrol, dan jika ada temuan maka hal-hal yang menjadi kekeliruan dalam pengelolaan baik administrasi mau pun keuangan dapat diperbaiki dan bapak/ibu tidak perlu resah atau takut karena kedatangan tim pemeriksa. Hal ini, dikemukakan Maksensius Deki, SH, Auditor Ahli Inspektorat Pengawas Kabupaten Ende, ketika membawakan materi dengan topik Pengawasan dan Pengendalian pada acara Rapat Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Koordinasi Pembinaan Program Pendidikan Anak Usia Dini Non Informal (PAUDNI) Tingkat Kabupaten Ende, Rabu (24/5).

Di hadapan peserta rapat yang terdiri dari para pengelola Kelompok Belajar (Kober), Pengelola PKBM dan TLD/FDI, Maksensius Deki menjelaskan bahwa jika inspektorat kabupaten telah turun, maka baik dari inspektorat provinsi mau pun BPKP Provinsi tidak akan turun lagi untuk mengaudit atau memeriksa obyek yang sama, karena antara kami sudah ada koordinasi. “Untuk itu, para pengelola Kober tidak perlu merasa tertekan, takut atau apa pun sebab, yang dilakukan Inspektorat pengawas bukan untuk mencari-cari kesalahan,” ujar Maksensius, tetapi lebih dari itu untuk proses pegawasan terhadap pengelolaan keuangan yang dijalankan di masing-masing Kober.

Selanjutnya dijelaskan Maksensius, kebijakan pengawasan yang dilakukan agar terciptanya penyelenggaraan dan pengawasan untuk menjamin, agar penyelenggaraan baik pemerintah mau pun swasta yang mengelola dana-dana pemerintah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Yang ditemukan oleh Inspektorat ketika melakukan pemeriksaan biasanya antara lain kelemahan administrasi, pajak negara yang tidak dipungut, kekurangan fisik, retribusi yang tidak dipungut, kelebihan pembayaran, denda keterlambatan, salah peruntukan, pengeluaran fiktif, penggelembungan harga, dan lain-lain. Oleh karena, jika ada temuan,yang negatif atau tidak sesuai dengan ketentuan, maka itu dipakai untuk melakukan perbaikan terhadap kinerja,” tutur Maksensius, dalam hal pemeriksaan dan pengawasan terhadap lembaga Kober ini maka hasil pengawasannyaa akan ditindaklanjuti dan dikoordinasi tindak lanjutnya oleh wakil bupati yang diatur oleh undang-undang.

Untuk itu, yang harus dilakukan oleh para pengelola Kober adalah membuat buku kas, buku penerimaan dan pengeluaran sarana belajar, dan buku pemantauan. Karena sumber informasi bagi pengawas ada pada buku pemantauan, dengan buku pemantauan, maka pengelola Kober sendiri tidak akan kesulitan ketika mengerjakan laporan dan mempermudah analisa pengawas ketika melakukan pengawasan.

Kesalahan Berjenjang

Dalam rapat dengan moderator, Cosmas Renggi, Kasi PAUD Bidang PLS pada Dinas Pendidikan Kabupaten Ende, seorang pengelola Kober Air Mata Ibu, Siti Halimah mengeluhkan bahwa selama lima tahun mengelola Kober ia tidak pernah mendapat pengetahuan tentang pengawasan dan pengandalian seperti yang didapat saat ini. “Saya bersyukur mendapat pemahaman langsung dari pihak Inspektorat Kabupaten Ende,” ungkap Siti, khawatir akan dipersalahkan, jika ada pemeriksaan karena selama ini mereka yang berada di pelosok tidak tahu tentang pengetahuan tersebut.

Menanggapi keluhan pengelola Kober yang rata-rata belum diberikan pembekalan seara baik tentang pembukuan dan pengelolaan administrasi keuangan, Usman Boli selaku Inspektur Pembantu Bidang Keuangan dan Aset Daerah meminta agar Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) kedepannya harus pro aktif dalam memberikan bekal pengetahuan tentang pembukuan kepada semua pengelola Kober, sebab mereka masih sangat awam untuk hal tersebut. "Ini, merupakan kesalahan berjenjang yang dilakukan oleh Bidang PLS. Saya meminta masalah ini, menjadi perhatian pak Kabid PLS agar kedepannya pihak PLS bisa mengkonfirmasikan kepada Inspektorat,” saran Boli, agar bisa dibuat suatu kegiatan semacam pelatihan pembukuan, atau sejenisnya.

Sementara itu, Kepala Bidang PLS Dinas Pendidikan Kabupaten Ende, Abubakar Baba kepada NAGi menjelaskan untuk tahun ini, alokasi dana untuk bidang PLS untuk Provinsi sebesar Rp 47 miliar lebih. Sedang sampai dengan saat ini, pihaknya belum mendapat informasi tentang jatah alokasi dana untuk PLS Kabupaten dan Kota. Untuk APBD Provinsi NTT alokasi yang disediakan sebesar Rp 1 miliar, sedangkan dari APDB Kabupaten Ande dialokasikan untuk tenaga honor pendidik. (en)

Desakan Masyarakat Flores Tidak Terbendung, PAN Konsistensi Dukung Flores Jadi Provinsi Baru

ENDE, NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), NAGi. Bergulirnya desakan agar daratan Pulau Flores dan Pulau Lembata (kini terdiri dari delapan kabupaten) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memisahkan diri menjadi provinsi baru sudah tidak terbendung lagi. Desakan dari berbagai elemen masyarakat yang mendiami delapan kabupaten mau pun masyarakat Flores dan Lembata yang tiggal di kota-kota besar di tanah air sudah mengalir ke DPR RI Jakarta sejak reformasi. Satu lagi, dukungan resmi dari Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional (DPW PAN) Provinsi NTT, Eurico Guterres, ketika membuka Musyawarah Daerah (Musda) III PAN Kabupaten Ende, Senin (23/5) baru lalu, menegaskan PAN konsistensi dukung Flores menjadi provinsi baru.

Eurico mengatakan sejak awal bergulirnya wacana pembentukan Provinsi Flores, PAN konsisten mendukung Flores harus menjadi propinsi sendiri. “Jika, Flores menjadi provinsi sendiri saya mengajak masyarakat Flores untuk tidak menolak kehadiran Korem 164 di Ende, karena hal tersebut menjadi salah satu persyaratan terbentuknya sebuah propinsi. Apabila sudah menjadi provinsi, maka akan ada Gubernur, Danrem/Pangdam, Kapolda, Pengadilan Tinggi, dan Kejaksaan Tinggi. Untuk itu, jika dalam perjalanannya terdapat penolakan dari masyarakat terkait kehadiran Konrem dan merasa tanah mereka dirampas,” harap Eurico, maka hal tersebut harus dicarikan penyelesaiannya dan bukan dengan cara menolak kehadiran Korem.

Dikatakan Eurico terkait masalah pembentukan Provinsi Flores, saat ini mungkin menjadi masalah adalah soal penentuan ibu kota provinsinya. Untuk itu, semua pihak menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat Flores untuk menentukan sendiri. “Para tokoh masyarakat, tokoh agama, elit politik, akademisi harus duduk dalam satu menja bundar membahas kabupaten mana yang tepat sebagai ibu kota, karena memilih sebagai ibu kota itu harus di lihat dari segala segi yang menguntungkan,” saran Eurico, antara lain harus di lihat dari segi sejarah, topografis, perputaran ekonomi masyarakat, sosial budaya mana, yang paling unggul di antara kedelapan kabupaten.

Pernyataan dukungan pembentukan Provinsi Flores tersebut juga sempat disampaikan Eurico ketika melakukan kunjungan kerja beberapa tahun silam, secara tegas mengatakan bahwa PAN mendukung penuh pembentukan Provinsi Flores. Wacana pembentukan Provinsi Flores sempat menghangat di tahun 2010, tetapi hingga sekarang terkesan tenggelam. Banyak pihak mempertanyakan sejauhmanakah upaya pemerintah Provinsi NTT saat ini, dalam memperjuangkan pembentukan Provinsi Flores. Sejak bergulirnya wacana tersebut, hampir sejumlah elemen masyarakat, praktisi-praktisi politik dan akademisi mendukung wacana tersebut, tetapi kemudian menghilang wacana tersebut menjelang akhir tahun 2010 hingga saat ini. Pemerintah diharapkan lebih serius dan pro aktif dalam memperjuangkan rencana pembentukan Provinsi Flores.(fp).

Selasa, 24 Mei 2011

Setelah Mangkrak Bertahun-Tahun Pabrik Semen Kupang Produksi Juni 2011

KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR (NTT), NAGi. Setelah mangkrak beberapa tahun tidak beroperasi, kini Manajemen PT Sarana Agra Gemilang (SAG) yang melakukan Kerja Sama Operasional (KSO) dengan PT Semen Kupang, kembali memberi harapan. Perusahaan ini, berjanji segera mengoperasikan Pabrik Semen Kupang Juni 2011 mendatang. Saat ini, masih dalam tahap penyempurnaan mesin untuk yang terakhir.

General Manager (GM) Operasional PT SAG, Ronny Kristianto, mengatakan masalah jadual produksi semen, karena selama ini pihaknya hanya menyampaikan proses rehabilitasi mesin. “Saat ini, pihaknya masih menyempurnakan semua peralatan agar bisa berproduksi secara kontinyu. Kami sementara siapkan seluruh peralatan untuk bisa berproduksi yang kontinyu. Juni ini, wajib ada produk,” ucap Ronny, manajemen sementara melakukan rehabilitasi yang bersamaan dengan ujicoba mesin. Rehabilitasi ini dilakukan sebagai bentuk pembenahan semua mesin yang ada di pabrik.
Ketua Komisi C, DPRD Provinsi NTT, Stanis Tefa, SH, meminta pemerintah untuk meninjau kembali KSO PT Semen Kupang dengan PT SAG. Menurut Stanis melihat perkembangan rehabilitasi PT Semen Kupang yang sampai saat ini, belum ada perkembangan yang signifikan. “DPRD meminta pemerintah untuk meninjau kembali KSO antara PT SK dan SAG. Kita mengharapkan agar perusahaan itu, hidup kembali dan berproduksi,” tegas Stanis, mantan pegawai PT Semen Kupang mengatakan, juga dukung penuh, jika sampai sekarang belum ada tanda-tanda perkembanganya, maka perlu ditinjau kembali KSO. (kp/ade)


Mengalokasikan Dana Rp 70 Miliar,
Bank NTT Bangun 1.000 Rumah untuk Masyarakat MBR

KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) NAGi. PT Bank Nusa Tenggara Timur (NTT) akan membangun 1.000 unit rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Bank NTT bekerja sama dengan Real Estate Indonesia (REI) NTT.
Direktur Utama (Dirut) PT Bank NTT, Daniel Tagu Dedo mengatakan, lokasi pembangunan perumahan di Pondok Indah Matani, Penfui Kupang dengan menelan dana sebesar Rp 70 miliar lebih.

Dedo menjelaskan, Bank NTT mengalokasikan dana Rp 70 miliar lebih untuk membangun 1.000 rumah, dan pembangunan rumah itu merupakan kerja sama Bank NTT dan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), serta Bank NTT bermitra atau bekerja sama dengan DPD REI NTT. “Untuk membangun 1.000 unit rumah tersebut, pihaknya sudah melakukan penandatanganan kerjasama dengan Kemenpera dan Badan Layanan Umum-Pembangunan Perumahan. 1.000 unit rumah itu, mulai dibangun tahun ini. Sedangkan lokasi perumahan akan ditentukan oleh developer,” kata Dedo, pihaknya bangun rumah bagi masyarakat yang belum memiliki rumah, belum pernah dapat bantuan dari pemerintah, dan memiliki penghasilan rendah di bawah Rp 2 juta per bulan.

Dalam rangka persiapan pembangunan perumahan tersebut, pengurus REI NTT dan pejabat Bank NTT meninjau sejumlah perumahan yang dibangun oleh developer atau pengembang di Kota Kupang dan sekitarnya, baru-baru ini. Ikut dalam peninjauan itu, Dirut Bank NTT, Daniel Tagu Dedo, Ketua DPD REI NTT, Bobby Lianto, Sekretaris REI, Feri Bernadus, Kepala Divisi UMKM, Tohab Marbun, sejumlah pejabat Bank NTT dan beberapa pengusaha.

Mereka mengunjungi kompleks perumahan di Alak, Jalur 40 (KPR Maju yang dibangun Pemerintah Kota Kupang), Villa Gloria, PT Lopo Indah Permai, Perumahan Kupang Sejahtera dan Perumahan Pondok Indah Matani. “Kami melakukan kunjungan ini, untuk melihat kesiapan developer/pengembang, dan ternyata semua sudah siap mendukung pembangunan rumah,” tutur Dedo, sementara itu, Bobby Lianto menambahkan, kunjungan tersebut untuk melihat dari dekat kondisi di lapangan serta sebagai tindak lanjut penandatanganan kerjasama REI dan Bank NTT. (kp/ade)

Sebelumnya Sempat di Posisi Keenam,
Satwa Komodo di Peringkat Ketujuh

KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) NAGi. Khabar gembira bagi masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), satwa langka Komodo (varanus comodoensis) di Taman Nasional Komodo (TNK) Labuan Bajo, Manggarai Barat saat ini, berada di peringkat ketujuh new seven wonders (tujuh keajaiban dunia baru). Sebelumnya, Komodo di posisi enam.

Hal ini, dikemukakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi NTT, Drs Abraham Klakik, sejak beberapa pekan lalu memang tidak lebih dari 10, dan sempat berada di posisi enam. Bahkan dengan kriteria pemilih di bawah usia 18 tahun, Komodo sempat menempati urutan pertama. Namun, pada pekan lalu posisi Komodo melorot tajam ke posisi 20. Posisi Komodo ini, terjadi ketika New Seven Wonders Foundation selaku penyelenggara vote menggunakan kriteria pertumbuhan cepat atau kecepatan memilih terhadap para kandidat atau vinalis tujuh keajaiban dunia.

Dikatakan Abraham, dengan melihat posisi Komodo yang melorot itu, maka Pemerirntah NTT terus memacu setiap daerah dan warga NTT umumnya, untuk partisipasi dalam voting. Setiap minggu akan ada hasil dari foundation tentang peringkat tujuh keajaiban dunia itu “Proses vote akan berlangsung hingga 11 Nopember 2011 mendatang, sehingga kesempatan masih ada sekitar satu tahun lagi,” ungkap Abraham, berharap semua warga NTT bisa ambil bagian dalam vote,” optimis Abraham, sehingga Komodo kebanggaan masyarakat Indonesia umumnya bisa berhasil masuk ketujuh keajaiban dunia.

Menurut Abraham, masyarakat NTT secara umum masih memiliki kesempatan yang cukup lama untuk melakukan vote. Walau pun, setiap saat ada perubahan kriteria yang dikeluarkan oleh New Seven Wonder Foundation yaitu pengklasifikasian voters. “Kita harus pacu, agar gender lebih aktif lagi untuk voting Komodo, karena sesuai hasil dari penyelenggara untuk Komodo, pemilih wanita memang banyak hanya belum menggunakan hak untuk memilih diri sendiri,” harap Abraham masih berupaya, sehingga posisi kaum gender lebih baik lagi. (kp/ade).

Senin, 23 Mei 2011

APBD Adalah Dokumen Publik, Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 Kota Batu Seimbang

BATU, NAGi. Keunikan terjadi di Kota Batu, APBD Tahun Anggaran 2011 dalam penyusunan telah ditetapkan besama DPRD Kota Batu dan Walikota Batu sebesar nol atau seimbang (balance) dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD 2011. Hal ini, terlihat dari pendapatan sebesar Rp 420.630.704.975,15,- dan belanja daerah sebesar Rp 405.501.864.115,00.- Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 30 miliar, sedangkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun sebelumnya (2010) sebesar Rp 33.796.062.724,09.- dan Pembiayaan Netto Rp 29.871.159.131,85, sehingga Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Tahun berkenaan (2011) seimbang yaitu nol rupiah. Kepala Bagian Humas dan Protokol Kota Batu, Robiq Yunianto mengatakan APBD adalah dokumen publik, sehingga siapa saja bisa mengakses secara mudah.

Sementara itu, Walikota Batu, Eddy Rumpoko mengatakan, penggunaan APBD muaranya untuk keperluan masyarakat. “Diantaranya berfungsi sebagai otorisasi dengan makna, bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Karena, tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan,” tegas Eddy, yang rencana maju kembali untuk kedua kalinya mencalonkan sebagai Walikota Batu periode 2012-2017, fungsi perecanaan anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun bersangkutan.

Kabag Humas dan Protokol Kota Batu, Robiq mengatakan dalam penyusunan APBD 2011 sebenarnya menganut pola desisit atau surplus, tetapi Pemerintah Kota Batu mempunyai pandangan yang lain dan berbeda, sehingga penyusunannya berimbang (balance). “Memang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Nenegri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah hanya mengatur pola penyususunan APBD itu surplus atau defisit, tidak mengatur tentang seimbang,” jelas Robiq, mantan Plt Direktur Utama PDAM Kota Batu, tetapi tidak ada sanksi atau larangan untuk menyusun pola seimbang, dan hal ini juga sudah disetujui oleh Gubenur Jawa Timur.

Selanjutnya dijelaskan Robiq, APBD merupakan dokumen negara, sehingga siapa saja bisa mengakses secara mudah, dan rakyat juga ikut bertanggung jawab dalam mengawal serta mengontrol terhadap pelaksanaannya. “Dalam era serba keterbukaan ini, informasi publik seperti sekarang sudah terbuka siapa saja membutuhkan informasi seputar APBD Kota Batu silahkan datang ke kami, maka akan kami menjelaskan semuanya,” ujar Robiq, APBD bukanlah hal yang tabuh, tetapi sudah menjadi konsumsi umum, oleh karena itu Robiq mengharapkan semua elemen masyarakat Kota Batu berperan aktif dalam nengawal jalannya APBD ini.

Dikatakan Robiq, APBD terdiri atas Pendapatan Daerah yang terdiri dari PAD meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolalan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan yang Sah. Sedangkan Dana Perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak, Dana Alkosi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). “Anggaran belanja daerah digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah. Pembiayaan itu, adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan mau pun tahun-tahun anggaran berikutnya,” ungkap Robiq, APBD itu juga menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah. (faby/ger)

Ringkasan APBD Kota Batu Tahun Anggaran 2011

NO U R A I A N JUMLAH (DALAM RUPIAH)
1 PENDAPATAN 420.630.704.975,14
A. Pendapatan Pajak Daerah 30.000.000.000,00
B. Hasil Retribusi Daerah 18.784.000.000,00
C. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 4.300.000.000,00
D. Laian-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 5.565.000.000,00

DANA PERIMBANGAN 340.331.776.316,00
Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak 31.924.416.596,00
Dana Alokasi Umum 290.822.859.720,00
Dana Alokasi Khusus 17.584.500.000,00

LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 50.298.928.657,15
Pendapatan Hibah 1.730.000.000,00
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda Lainnya 25.473.403.657,15
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 15.595.525.000,00
Bantuan Keuangan dari Provinsi dan Pemda Lainnya 7.500.000.000,00

2 BELANJA DAERAH 450.501.864.105,00
BELANJA TIDAK LANGSUNG 239.623.806.355,00
Belanja Pegawai 196.103.861.755,00
Belanja Hibah 15.577.147.600,00
Belanja Bantuan Sosial 8.922.580.000,00
Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/Kab/Kota/Desa 18.520.217.000,00
Belanja Tidak Terduga 500.000.000,00

BELANJA LANGSUNG 210.878.057.750,00
Belanja Pegawai 23.870.117.183,00
Belanja Barang dan Jasa 75.096.432.671,00
Belanja Modal 111.911.507.896,00
SURPLUS/DEFISIT (29.871.159.131,85)

3 PEMBIAYAAN DAERAH
PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH 33.796.062.724,09
Sisa Lebih Perhitungan Tahun Anggaran Sebelumnya 33.796.062.724,09
PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH 3.924.903.692,24
Pembentukan Dana Cadangan 3.000.000.000,00
Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah 924.903.592,24
PEMBIAYAAN NETTO 29.871.159.131,85

SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN TAHUN BERKENAAN 0,00

Sumber : Humas dan Protokol Pemkot Batu, 2011.

Sabtu, 21 Mei 2011

Menggugah Kesadaran Batin dan Tanggung Jawab Kolektif, Kebangkitan Kesadaran

TENTANG WAKTU permulaan Kebangkitan Nasional, saya berbeda pendapat dengan ketetapan resmi, tetapi tidak perlu dibicarakan di sini. Yang penting dalam suasana bulan Mei 2011 ini, kita melakukan refleksi tentang keindonesiaan kita dengan harapan dapat menggugah kesadaran batin bersama akan makna tanggung jawab kolektif terhadap bangsa yang sudah merdeka selama hampir 66 tahun.

Jika kesadaran itu, tetap saja tumpul dan rapuh, segala peringatan apa pun bentuk dan coraknya adalah sebuah kesia-siaan. Dalam pantauan saya, ditinjau dari sistem nilai konstitusi kita, perjalanan bangsa ini semakin kehilangan arah, sementara sebagian besar para elit seperti tidak hirau dan tidak peduli. Pragmatisme politik dan ekonomi telah semakin memperparah situasi kebangsaan kita.

Retrospeksi Sejarah

Menurut catatan Leslie H Palmier sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan 1945, dalam perspektif hubungan kekuasaan di Nusantara, ada tiga kelompok sosial penting yang interaksi mereka memengaruhi tanah jajahan. Pertama, orang Belanda di negeri induk yang diwakili oleh Pemerintah Belanda di Den Haag. Kedua, komunitas Belanda lokal yang semakin diwakili oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Ketiga, rakyat jelata yang diperintah oleh dua golongan di atas, sementara pengaruh mereka terhadap pemerintah jajah yang hampir tidak ada (Lestile H Palmier, Indonesia and the Dutch, London: Oxford University Press, 1962, halaman 2).

Sampai dengan era Politik Etis pada abad ke 20, pemerintah memang tidak keinginan untuk mencerdaskan penduduk pribumi. Ini, adalah suatu politik yang sesungguhnya logis menurut kacamatan penguasa, sebab rakyat yang cerdas akan sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem penjajahan. Pada akhir abad ke 19 di seluruh Nusantara, terdapat lebih dari 80.000 murid, sebagian belajar pada sekolah-sekolah misi. Dari jumlah itu, pada tahun 1900 hanya ada 2.000 anak pribumi yang belajar di sekolah misi tersebut yang kualitasnya memang cukup bagus, karena pemerintah memang selalu menghalangi mereka yang belajar di sana.

Ribuan yang lain belajar di sekolah-sekolah desa yang mutunya jauh berada di bawah standar. Jika, dibandingkan dengan penduduk Nusantara sebanyak 30 juta pada 1900 itu, maka yang dapat belajar pada sekolah-sekolah yang mutu tinggi amat kecil (Ibid, halaman 5). Waktu terus bergulir dengan kecepatan tinggi. Sekali pun dengan susah payah bagi pribumi, Politik Etis memang telah membuka pintu bagi mereka untuk masuki dunia pendidikan. Budi Utomo (BU) yang didirikan di Batavia pada 20 Mei 1908 atas inisiatif pelajar School tot Opleiding van Inlanshe Artsen/sekolah untuk melatih dokter pribumi) adalah gerakan pencerdasan awal untuk menembus ketertinggalan di atas.

Pencerdasan & Pencerahan

Dr Wahidin Sudirohusodo punya jasa besar dalam mengilhami para pelajar ini, termasuk diantaranya Soetomo, untuk menolong bangsa Jawa yang sebagian besar buta huruf. Langkah Strategis BU kemudian diikuti antara lain oleh gerakan Adabiyah di Padang, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad di Jawa. Proses pencedarsan dan pencerahan ini, memang berlangsung sangat lamban. Coba membayangkan saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Dengan jumlah penduduk 70 juta, tingkat buta huruf rakyat Indonesia berada pada kisaran angka 90 persen, mayoritas adalah kaum perempuan.

BU pada masal awal dibentuk oleh dua kekuatan kultural Jawa dan Barat. Muhammadiyah dan Al-Irsyad oleh Islam, Barat, dan kultur Minangkabau. Dalam upaya mengembangkan organisasi moderen, tokoh-tokoh BU banyak membantu Muhammadiyah, khususnya di residensi Yogyakarta. Ahmad Dahlan sendiri bahkan pernah menjadi pengurus BU di samping sebagai pengurus Sarekat Islam (SI). Antara tahun 1920-1930 muncul pula Taman Siswa, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persatuan Islam (Persis), semua bergerak di bidang pendidikan, baik yang bersifat umum mau pun dalam corak Madrasah dan Pesantren. Khususnya untuk NU, maka rahim pesantrenlah yang bertanggung jawab melahirkan, karena keberadaan pesantren jauh mendahului NU.

Dalam bacaan saya, kekuatan kultural yang paling bertanggung jawab untuk proses keindonesiaan pada tahun 1920-an itu, adalah sistem pendidikan Barat, baik yang didapat melalui pusat-pusat pendidikan domestik mau pun yang langsung diterima oleh pelajar dan mahasiswa Indonesioa di Eropa. Sistem pendidikan Barat-lah yang membuka otak dan hati para pemuda Indonesia tentang makna kemerdekaan, nasionalisme, dan demokrasi.

Di Eropa para pemuda itu, behimpun dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Di Tanah Air, khususnya di Batavia, mereka semula bergerak dalam organisasi-organisasi kedaerahan untuk kemudian melebur menjadi satu berkat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dengan demikian, keindonesiaan yang sejati adalah hasil dari pergulatan sejarah di tahun 1920-an itu. Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) juga muncul di era ini. Sebelum itu, rumusan untuk sebuah bangsa yang bernama Indonesia masih bersifat remang-remang. BU, Adabiyah, SI, Muhammadiyah, AL-Irsyad, Taman Siswa, Persis, dan NU belum punya gagasan yang jelas tentang keindonesiaan itu.

Di era Sumpah Pemuda, yang disebut bangsa adalah Bangsa Jawa, Bangsa Sumatera, Bansa Batak, Bangsa Bugis, Bangsa Minahasa, Bangsa Banjar, Bansa Ambon, dan lain-lain. Maka, berkat Sumpah Pemuda, istilah aneka bangsa itu diciutkan menjadi suku bangsa atau secara kultural menjadi subkultur. Dengan kata lain, keindonesiaan tersebut diramu dan dianyam dari berbagai suku bangsa dan subkultur dalam sebuah kebinekaan yang sangat kaya, tetapi juga mengandung berjibun masalah yang tidak mudah dipecahkan sampai hari ini. Itulah, sebabnya para pendiri bangsa selalu menekankan perlu percepatan proses “nation and character building” agar Indonesia merdeka tampil sebagai bangsa yang padu dan kuat di tengah pergaulan dunia.

Masa Depan Keindonesiaan

Sebagai penjabaran dari gagasan nasionalisme dan demokrasi, berbagai sistem politik telah diujicobakan sejak proklamasi. Akan tetapi, belum satu pun yang berhasil mendekatkan bangsa ini, kepada tujuan yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Semestinya dengan modal filosofi Pancasila dan nilai-nilai luhurnya, Indonesia tidak perlu bingung dalam memastikan arah ke depan di tengah-tengah persaingan global yang tak kenal belas kasihan.

Namun, rupanya pengalaman pahit dalam proses berbangsa dan bernegara selama ini, belum juga mampu menajamkan mata batin kita agar kesadaran untuk bertanggung jawab menjadi milik kita bersama. Masa depan yang dibayangkan tidak lain adalah terciptanya sebuah Indonesia yang adil, beradab, aman, dan nyaman di bawah kepemimpinan visioner, demokratik, dan punya hati nurani. Ke arah itulah, bola kesadaran nasional itu harus digulirkan dengan sungguh-sungguh.

AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Kamis, 19 Mei 2011

Bupati Malang, H Rendra Kresna Menjadi Anggota KN, Melanggar UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

MALANG, NAGi. Masyarakat Kota Malang Raya (Kota Batu, Kota Malang, Kabupaten Malang), khususnya pencinta persepakbolaan Arema, Malang, Jawa Timur, merasa terhormat dan gembira atas terpilihnya Bupati Malang, H Rendra Kresna sebagai salah seorang anggota Komite Normalisasi (KN) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Penunjukkan ini, berdasarkan hasil musyawarah anggota KN, menggantikan beberapa anggota KN yang lain, karena “diduga” berafiliasi kepada Liga Primer Indonesia (LPI) penggagas Arifin Panigoro. Sekaligus sebagai mewakili persepakbolaan dari klub Arema Malang, karena Rendra menjabat sebagai Presiden Kehormatan Arema. Tetapi, apakah penunjukkan Rendra ini, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ataukah hanya berbekal minta izin kepada Gubernur Jawa Timur, Soekarwo untuk mengikuti acara 20 Mei 2011 untuk Kongres PSSI di Jakarta bertepatan dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 2011.

Rendra mengatakan, akan meminta izin kepada Gubernur Jatim untuk menghadir rapat-rapat interen KN PSSI dan sekaligus mengikuti Kongres PSSI 20 Mei mendatang. “Saya sendiri belum baca atau mengetahui bahwa ada aturan kepala daerah/bupati bisa menjadi anggota KN. Karena, saya juga ditunjuk tanpa konsultasi dengan saya, tetapi ini merupakan tugas yang mulia dan amanah, sebagai seorang pencinta persepakbolaan di tanah air, khususnya Kulub Arema dan Metro FC Kabupaten Malang, maka saya siap diminta oleh Ketua Agum Gumelar,” tegas Rendra, dalam jumpa pers, Jumat (15/5) di Pringgitan Kabupaten Malang, setelah sehari penunjukkannya, menjawab pertanyaan wartawan apakah sebagai bupati tidak bertentangan dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku.

Melanggar UU

Direktur Lembaga Research and Consultant Prima Mandiri Pemantau dan Evaluasi Otonomi Daerah, George da Silva mengatakan, penujukkan Bupati Malang, Rendra sebagai salah seorang anggota KN PSSI melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Sebagai pejabat seharusnya memahami benar-benar aturan yang mengatur tentang jabatannya sebagai bupati, jangan ingin mencoba-coba melanggar, dan jika ada teguran dari atasan baru mengundurkandiri,” saran George, yang juga penulis buku Gaya Kepemimpinan Situasional Kepala Daerah (2005), sebaiknya Rendra, menolak penugasan yang mulia ini, karena akan berbentur dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Dijelaskan George, UU No 32, Pasal 28 Larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, huruf c “melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung mau pun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan”. Karena pasal ini, dalam penjelasannya cukp jelas, maka tidak perlu ditafsirkan lagi. “Tentu hal ini, karena melakukan pekerjaan lain selain sebagai Bupati Malang memberi keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung mau pun tidak langsung. Jelas ini, akan memberi keuntungan pribadi dan pencitraannya sebagai bupati dari organisasi politik yaitu Partai Golkar,” tegas George, karena melakukan pekerjaan adalah memberikan atau mengorbankan seluruh pikiran, tenaga untuk sesuatu tujuan dan mendapat imbalan jasa/honor/upah/gaji.

Dikatakan George, apalagi mendapat imbalan jasa/honor/upah/gaji dari anggaran APBN atau APBD, itu jelas melanggar peraturan yang berlaku. “Sebaiknya Rendra mengadakan konsultasi dengan Staf Ahli Bupati di Bidang Hukum atau langsung berkonsultasi dengan Gubernur Jatim, Soekarwo, apakah bisa menjadi anggota KN atau tidak boleh, karena melanggar peraturan. Hal ini, untuk menghindari dari keberatan masyarakat yang mengerti tentang Hukum Tata Negara atau Hukum Pemerintahan Daerah,” pinta George, dan masyarakat pencinta bola di Malang Raya, harus memahami, karena sosok Rendra adalah jabatan Bupati Malang, yang dalam setiap kegiatan publik diatur oleh peraturan dan perundangan yang berlaku. Jika, tidak melanggar boleh-boleh saja dan silahkan berkiprah.

Menurut George, peran Rendra akan tetap dihormati dan dihargai, jika Rendra benar-benar tunduk pada peraturan perundang-undangan, karena sebagai pejabat publik. “Keuntungan yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan (Kabupaten Malang), jelas ini sangat berpengaruh, karena selain pejabat publik juga sebagai Ketua DPC Partai Golkar Kabupaten Malang, sehingga kiprah di KN itu jelas menguntungkan diri sendiri baik secara langsung atau tidak langsung,” ujar George, sebaiknya Rendra harus legowo dan menahan diri untuk menjadi anggota KN, karena tidak menjadi anggota KN, Rendra pasti bisa berkiprah di kesempatan dan tugas sosial yang banyak menantinya.

Kemudian kita bertanya, apakah Rendra yang juga Ketua DPC Partai Golkar Kabupaten Malang, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Jawa Timur, Ketua SOKSI Jawa Timur dilarang jabatan tersebut. George berpendapat, jika pengabdiannya pada organisasi profesi dan partai politik sebenarnya tidak ada masalah. Jika, sebagian atau seluruhnya mendapat dana atau bantuan dari APBN atau APBD Provinsi Jatim atau APBD seluruh kabupaten/kota di Jatim, maka tidak boleh. “Seharusnya kalau rujuk pada Pasal 28 tersebut, maka tidak boleh merangkap pekerjaan atau jabatan yang lain. Jadi, UU itu mengisyaratkan benar-benar kepala daerah dan wakil kepala daerah itu tidak boleh memangku jabatan publik/organisasi/profesi/partai politik,” keberatan George, selain itu kepala daerah dilarang turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta mau pun milik negara/daerah atau dalam yayasan bidang apa pun. Antara lain menjadi direksi atau komisaris, Rendra sebelumnya menjadi Bendahara Arema, akhirnya diganti menjadi Presiden Kehormatan Arema. (ger/bala)

Program Tiga Rumah Susun Sederhana di Surabaya, Pemkab Malang Membangun Perumahan PNS 600 Unit di Lahan 92 Hektar

MALANG, NAGi. Pemerintah diminta tegas melaksanakan program rumah bagi masyarakat menengah ke bawah bersubsidi. Program 1.000 Rumah Susun Sederhana Milik (RSSM) kini bernama Rumah Sejahtera Susun (RSS) yang ditargetkan pemerintah tuntas tahun 2011 terancam tidak tercapai. Dari target itu baru 78 menara yang dibangun, diantaranya di Surabaya, Jawa Timur kebagian tiga unit. Sementra Pemerintah Kabupaten Malang membangun perumah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kawasan Jalur Lingkar Barat (Jalibar) di Kecamatan Ngajum seluas 92 hektar untuk 600 unit.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real East Indonesia (REI), Setyo Maharsono menegaskan pengembangan sejak tahun 2010 menghentikan proyek baru rumah sejahtera susun. “Patokan harga jual rumah susun bersubsidi Rp 144 juta per unit dinilai tidak memberi keuntungan yang sepadan. Apalagi di Jakarta, koefisien luas bangunan dibatasi maksimum 3,5 meter. Pengembang kini, memilih pembangunan proyek Apartemen Menengah Milik (Anami) dengan harga Rp 180 juta-Rp 250 juta per unit,” ungkap Setyo, apalagi suku bunga kredit bank kini cukup rendah, sehingga menguntungkan konsumen.

Per Pebruari 2011 dari target 1.000 menara rumah sejahtera susun, baru 78 menara yang dibangun. Sebanyak 78 menara yang terdiri dari 40.000 unit itu ada Jabodetabek sebanyak 67 menara, di Surabaya tiga menara, di Batam tiga menara, dan di Bandung lima menara. “Pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan tegas menangani macetnya proyek rumah susun sejahtera bagi masyarakat bersubsidi,” timpal Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, rumah susun itu disiapkan bagi masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 4,5 juta per bulan.

Lahan 29 Hektar

Kepala Kantor Perumahan Kabupaten Malang, Ir Wahyu Hidayat mengatakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman memberikan kemudahan bagi Pemerintah Kabupaten Malang, yaitu memudahkan Badan Pengelola (BP) Kawasan Siap Bangun (Kasiba). “Aturan baru itu, penetapan kawasan Kasiba hanya berlaku bagi pembangunan di atas lahan seribu hektar, sedangkan pembangunan perumahan untuk PNS membutuhkan 92 hektar,” jelas Wahyu, mantan Camat Tajinan pihaknya sudah mengajukan non Kasiba ke Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), masih menunggu jawabannya.

Pembangunan perumahan PNS, kata Wahyu sudah diprogramkan sejak tahun 2007. Tetapi, karena tender penentuan BP tidak ada yang mendaftar, sehingga pembangunan tidak bisa dilakukan. “Hal ini, menyebabkan Kemenpera tidak mengucurkan dana pembangunan perumahan PNS, padahal tender penentuan BP sudah diselenggarakan dua kali. Aturannya harus ada terlebih dahulu BP, sehingga dapat dilanjutkan tender pengembangan,” tutur Wahyu, jika peninjaun non Kasiba dikabulkan Kemenpera, maka pembangunan perumahan segera bisa dilaksanakan pada akhir Juli mendatang.

Dikatakan Wahyu, Pemkab sudah membebaskan lahan 8,6 hektar, sedangkan selebihnya kebutuhan lahan itu berasal dari pengembangan. “Pembangunan rumah PNS merupakan program pemerintah pusat dan Pemkab Malang, dimana Pemkab bertugas membebaskan lahan, sedangkan Kemenpera membiayai pembangunan infrastrukturnya. PNS yang diproritaskan mendapat fasilitas rumah adalah golongan I dan II, dan mereka harus berkantor di Kepanjen dan sudah berkeluarga,” ucap Wahyu, sebelumnya juga mantan Kepala Kantor Perumahan Kabupaten Malang, di kawasan Jalibar akan dibangun perumahan PNS 600 unit, dan harganya lebih murah dibandingkan harga umum, selain itu mereka boleh mengansur. (bala/faby/nico)

Agamaku Adalah Milikku Membuat Merasa Kuat Memilikinya, Waisak dan Kebebasan

JIKA RUMAH milik orang lain yang tidak dikenal, yang lebih bagus dari rumah kita, terbakar, kita merasa sedih walau hanya sedikit. Akan tetapi, jika rumah kita yang sederhana itu terbakar, kesedihan dan kekecewaan kita berlarut-larut. Sulit terobati. Rumah sederhana yang telah berpuluh-puluh tahun memberi banyak manfaat pada keluarga kita, sehingga pikiran memilikinya begitu kuat adalah agama yang kita anut. Agama yang telah berpuluh-puluh tahun memberi banyak manfaat itu, membuat kita merasa amat kuat memilikinya. Agamaku adalah milikku!

Bisakah kita menggunakan rumah kita sebaik mungkin, merawat dengan baik, tetapi mewaspadai pikiran kita agar tak melekati erat-erat rumah tersebut? Semuanya tak kekal. Rumah bisa terbakar dan suatu saat kita pun meninggalkannya. Kalau kita menganut agama tanpa memiliki agama itu, apakah kita harus berdiam diri apabila agama yang kita anut dihina orang lain? Berusaha mewaspadai perasaan dan pikiran agar tidak marah, tidak membalas dengan hina dan tindakan kekerasan, adalah sikap yang sangat mulia. Kita berikan pengertian bahwa agama yang kita anut bukan seperti hujatan itu.

Demikian pula apabila orang lain memuji-muji agama yang kita anut, dengan kewaspadaan, kita tidak membiarkan perasaan dan pikiran kita menjadi congkak. Kebencian yang melahirkan balas dendam dan kecongkakan yang bersumber dari keserahkaan akan merugikan kita sendiri. Kedua sikap itu, sama sekali bukan perilaku hidup beragama.

Kita bisa mengharapkan orang lain berprilaku baik, jujur dan bertanggung jawab. Kita juga bisa menganjurkan perilaku terpuji itu, apalagi disertai memberikan keteladanan. Yang perlu diingat, kita tak bisa memaksa orang lain berbuat baik. Keinginan memaksa kebaikan adalah keserahkaan juga. Kebencian akan tumbuh kalau yang dipaksa ternyata tak mau mengikuti. Semua bersemi dari ke-aku-an (self-centredness) yang merupakan akar semua kejahatan dan unjungnya penderitaan.

Pada waktu Buddha Gautama mengutus 60 muridnya selama lima bulan setelah beliau mencapai Pencerahan Sempurna, beliau mengatakan, “Caratha bhikkhave carikam, bahujana hitaya bahujana sukhaya, lokanukampaya (Pergilah para biku berkelana, untuk kesejahteraan dan kebahagian banyak orang, demi kasih sayang kepada dunia ini)”.

Memang yang diutus waktu itu 60 biku, semuanya telah mencapai arahat (terbebas dari keserahkaan, kebenciaan, dan egoistis). Kebajikan arahat adalah ketulusan dalam berprilaku baik yang bersumber dari kebersihan hati. Namun, anjuran Buddha untuk pergi berkelana itu pun akan sampai kepada para biku yang masih belum bersih dari kotoran batin. Karena itu, Buddha Gautama tidak hanya menganjurkan murid berkelana demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang, tetapi juga menambah ungkapan lokanukampaya demi kasih sayang kepada dunia, yang harus dipahami sebagai kasih sayang ke seluruh kehidupan, termasuk memelihara lingkungan dengan baik.

Tanpa kasih sayang kepada dunia, seorang bisa memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Tanpa kasih sayang kepada semua kehidupan, seseorang akan terdorong melenyapkan orang lain yang dinilainya tak bermoral, jahat, dan melanggar ajaran agama. Kasih sayang menuntun kita menggunakan ketekunan dan ketulusan hati dalam mengajak orang lain jadi baik, dengan cara yang baik pula. Kehidupan, meski kecil dan lemah, sangat berharga. Kedamaian dan keharmonian bisa terwujud apabila akarnya adalah sikap mengharga semua kehidupan.

Bebas dari Ke-Aku-An

Bisakah kita beragama tanpa perlu merasa memiliki agama yang kita anut? Pikiran egoistis yang sangat halus dan licin mudah sekali menyusupi semua perilaku, termasuk perilaku baik. Buddha mengatakan, seseorang jadi mulia atau tercela di masyarakat bukan, karena keturunannya, melainkan perilakunya.

Banyaknya kekerasan, apalagi mengatasnamakan agama, membuat banyak orang tak bersoal lagi dengan agama yang dianut seseorang. Yang penting bagi masyarakat sekarang adalah orang yang tak berprilaku buruk, tak menyakiti atau membunuh orang lain, tak mengganggu, tak menipu, tak mencuri, dan tak korupsi. Orang yang tak berprilaku buruk, apa pun agamanya, sudah cukup baik bagi masyarakat, apalagi jika mereka berbuat kebajikan dengan menolong yang menderita, mau berkorban dengan ketulusan hati, bertanggung jawab atas pekerjaannya, bahkan melakukan hal-hal baik melebihi kewajibannya.

Siapa pun, jika berprilaku baik, mereka terpuji secara mulia. Kita tak perlu menanyakan apa agama yang dianut. Saat purnama di bulan Waisak lebih dari 2.500 tahun lalu, Siddarta membebaskan dirinya dari ke-aku-an yang merupakan akar keserakahan, kebencian, kejahatan, dan penderitaan. Peristiwa Pencerahaan Sempurna itu awal perjalanan 45 tahun Buddha Gautama mengajarkan dan memberikan keteladanan untuk selalu berprilaku baik; kebaikan yang bebas dari ke-aku-an. Selamat Merayakan Waisak 2.555.

SRI PANNYAVARO MAHATHERA
Kepala Sangha Theravada Indonesia; Vice President World Buddhist Sangha Council.

Rabu, 18 Mei 2011

78 Persen Daerah Baru Dinilai Gagal Konsistensi Otonomi

PERGESERAN PEMERINTAH ke arah desentralisasi di Indonesia saat ini telah berlangsung 12 tahun. Bahkan, jika ditarik hingga 1903, Bangsa Indonesia sebenarnya telah menerapkan desentralisasi 109 tahun meski perkembangannya naik-turun. Pada 26 April juga berlangsung semacam “peringatan” pelaksanaan otonomi daerah oleh Kementerian Dalam Negeri dengan mengumumkan kinerja daerah otonomi baru. Ada 78 persen daerah baru yang dinilai gagal oleh pemerintah sungguh mengejutkan. Ini, perlu dikaji dan dicari solusinya.

Kenyataan menunjukkan, masih ada persoalan kesejahteraan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan daya dukung lingkungan di daerah dan ini telah mewarnai kebijakan desentralisasi. Di era reformasi, baik sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mau pun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah-terjadi kesimpangsiuran instrumen pemerintahan, karena pergeseran sistem desentralisasi.

Pergeseran sistem ini, tak sistemik mengadaptasi ke bangunan NKRI, sehingga menghasilkan sistem otonomi dan pemerintahan daerah yang rawan penyalahgunaan. Celakanya paraktek seperti ini, memiliki dasar hukum pada level implementasi. Terjadilah gap antara konsep instrumen pemerintah dan aturan main yang dibuat dalam implementasinya (malapraktek).

Mazhab Desentralisasi

Secara konsepsional ada dua mazhab desentralisasi sebagai instrumen pemerintah dalam bernegara: mazhab Eropa-Kontinental dan Anglo-Saxon (Hoesein, 1993). Mazhab Eropa-Kontinental mengakui desentralisasi secara tegas, berbeda dengan konsep dekonsentrasi meski keduanya dibutuhkan negara penyelenggaraan desentralisasi. Mazhab Anglo-Saxon mengakui dekonsentrasi sebagai bagian desentralisasi. Mazhab ini, menyebut desentralisasi dengan kata devolusi.

Dalam mazhab Anglo-Saxon sebutan dekonsentrasi dilakukan dengan frase desentralisasi-administrasi, sedangkan devolusi dengan desentralisasi-politik. Sekarang ini, UNDP (Choen dan Peterson, 2005) merancukan pemahaman tersebut dengan menyebutkan bahwa istilah-istilah itu berbeda dengan konsepsi lama ditambah dengan desentralisasi-ekonomi dan fiskal.

Baik, mazhab Anglo-Saxon mau pun Euro-Kontinental memahami desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada aparatur di daerah. Jadi, wewenang perumusan kebijakan dan sumber keuangan tetap di pusat, sedangkan wewenang implementasi (sebenarnya) berada di tangan elemen pusat yang ditempatkan di sejumlah daerah. Tujuannya adalah pendekatan dan standarisasi pelayanan secara nasional. Sayang, dalam praktek terjadi ketidakkonsistenan dan kerancuan, karena politisasi elite politik.

Dana BOS sebagai contoh adalah dana dekonsentrasi yang diputuskan oleh elemen untuk sektor pendidikan. Dana ini, dikelolah sebagian oleh dan untuk daerah. Istilah dekonsentrasi di sini sangat mengacaukan. Model ini, mencontoh pola “vote” yang amat masyhur di Inggris, di mana jelas pengaturan teknis pertanggungjawaban dan alur-alurnya. Namun, di Indonesia ini amat mudah disalahgunakan terlebih adanya politisasi oleh elit lokal. Bahkan, dana ini dirancukan dengan instrumen tugas-pembantuan (medebewind).

Kerancuan Desain

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah contoh lain, dianggarkan untuk sektor atau fungsi tertentu di daerah. Daerah mengajukan proposal ke Kementerian Keuangan, dinilai oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Teknis. Namun, daerah harus menyanggupi sejumlah dana pancingan agar dana tersebut disetujui. Dalam konsep, desain semacam ini termasuk kategori mixed grant.

Dengan demikian, sebutan alokasi khusus (specific) tidak tepat, karena masih berpola specific grant tidak mensyaratkan adanya dana pancingan. Karena itu, frase alokasi khusus di belakang nama dana ini, dapat mengacaukan mekanisme pertanggungjawabannya. Gara-gara ambiguitas dalam pelaksanaan, terjadilah katebelece elit lokal dan nasional. Terjadi inefektivitas dan inefisiensi pelaksanaan kebijakan.

Maka, dalam hal ini perlu pengkajian pemahaman konsepsional. Explicit-knowledge yang telah lama ada harus menjadi acuan, karena Indonesia sudah menganut muzhab Eropa-Kontinental berabad lamanya. Jika, elemen demokrasi menjadi pemicu perubahan pemerintah, dimana desentralisasi diperkuat, seharusnya tidak dengan instrumen medebewind.

Presiden bertugas menjaga konsistensi ini, dengan dukungan birokrasinya terutama Kemendagri. Mereka harus bekerja keras menyusun desain, implementasi, dan mencari umpan balik. Jika konsisten, pemerintah nasional dan lokal dapat bekerja efektif, sehingga kegagalan daerah juga teratasi.

IRFAN RIDWAN MAKSUM
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI; Advisor Local Governance Watch UI.

Senin, 16 Mei 2011

Bupati Malang Tidak Hadir Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Menggantikan Irup Anggota Muspida Bukan Wakil Bupati

MALANG, NAGi. Bupati Malang, H Rendra Kresna menegaskan, bahwa pada tanggal 20 Mei merupakan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2011 tidak bisa hadir, karena mengikuti acara pemilihan Ketua/Wakil Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang bertepatan dengan hari peringatan tersebut. Oleh karena itu, akan menunjuk salah seorang dari Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Malang, apakah Dandim 0818, Kepala Kepolisian, Ketua Pengadilan, atau Kepala Kejaksaan Negeri. Sedangkan Wakil Bupati Malang, H Ahmad Subhan tidak disebut namanya sebagai pengganti Irup dalam upacara tersebut.

Hal ini, dikemukakan Rendra dalam jumpa pers, Jumat (13/5) di Peringgitan Kabupaten Malang, setelah sehari penunjukan sebagai anggota Komite Normalisasi (KN) oleh Ketuanya Agum Gumelar, menggantikan beberapa anggota KN yang dinilai berafiliasi terhadap Liga Prima Indonesia (LPI). “Hari itu, betepatan dengan Harkitnas 20 Mei 2011, sudah pasti saya tidak bisa menjadi Irup dalam upacara itu yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Malang,” ujar Rendra, yang dipilih karena salah seorang yang mewakili Arema Malang, Jawa Timur, sekarang menjabat sebagai Presiden Kehormatan Arema dan akan meminta izin kepada Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.

Tidak Tepat Muspida

Menurut Direktur Lembaga Research and Consultant Prima Mandiri Pemantau dan Evaluasi Otonomi Daerah, George da Silva, Bupati Rendra salah menunjukkan salah seorang dari Muspida untuk menggantikannya sebagai Irup dalam upacara tersebut. “Kalau kita melihat eselon/jabatan dari Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen adalah Eselon III, sedangkan yang dipimpin adalah para pejabat di Pemerintah Kabupaten Malang ada yang Beresolan II. Hal ini, secara struktur birokrasi tidak tepat,” kata George, yang juga penulis buku Gaya Kepemimpinan Situasional Kepala Daerah (2005) dan jika menunjuk salah seorang Muspida untuk menjadi Irup, sebaiknya para Muspida menolak, karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Selanjutnya dijelaskan George, di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur tentang Muspida, itu hanya di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan setiap tahun diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD untuk pos keuangan bagi-bagi kepada para Muspida saja. “Di Indonesia itu, selalu PP mengalahkan UU. Hal ini, terjadi pada UU No 32 tidak ada satu pasal pun mengatur tentang Muspida, tetapi PP mengaturnya atau Permendagri,” ujar George, itulah Indonesiaku, semua bisa bertentangan, tetapi satu pejabat atau yang mengerti Hukum Tata Negara tidak angkat bicara atau berkeberatan.

Seharusnya, kata George sesuai UU No 32, Pasal 26 Tugas Wakil Kepala Daerah antara lain, membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintah daerah, melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintah lainnya yang diberikan oleh kepala daerah, dan melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. “Dalam penjelasan itu, cukup jelas, jadi tidak bisa ditafsirkan lagi. Seharusnya bupati menunjukkan wakil bupati dalam melaksanakan tugas, karena berhalangan. Jadi yang menjadi Irup adalah wakil bupati, bukan salah seorang Muspida, karena Muspida tidak diatur dalam UU tersebut,” tegas George, dan wakil bupati menjalankan tugas tersebut bertanggung jawab kepada kepala daerah.

George mengatakan, seharusnya Staf Ahli Bupati berinisiatif memberi masukkan kepada bupati, baik diminta mau pun tidak diminta, demmi aturan yang berlaku dan keharmonisan Pemerintahan Kabupaten Malang yang kita cinta bersama. “Bila hal ini benar-benar terjadi, maka Gubernur Jawa Timur sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, harus menegur Bupati Rendra, karena jenjang dalam struktur birokrasi dan etika birokrasi, seharusnya wakil bupati ditunjuk sebagai Irup acara tersebut,” imbau George, hal ini untuk menjaga keharmonisan dan saling menghargai antara bupati dan wakil bupati, bisa-bisa DPRD Kabupaten Malang melakukan “Hak Interpelasi” lagi, ketimbang “Hak Interpelasi” masalah Vacum of Power, karena Rendra dan Subhan meninggalkan Kabupaten Malang secara bersamaan yang satu pembekalan bupati di Jakarta yang tidak bisa diwakili selama tiga minggu, dan yang satu menunai Umroh Haji selama 15 hari. (ger/ris)

Sosok M Romadhony dari Malang, Peduli Lingkungan dan Unik Burung Gagak Bisa “Ngoceh”

SOSOK M ROMADHONY yang peduli lingkungan, setelah bumi kita digerogot oleh tangan-tangan manusia yang sudah tak bersahabat dan peduli kebaradaannya. Jika, bumi ini dipenuhi dengan sampah-sampah yang tidak bisa terurai, hutan ditebang dan digunduli seenaknya oleh Pengusaha Hutan. Siapakah yang peduli akan hal ini. Ada hanya beberapa orang yang bisa “dihitung dengan jari”. Sosok Dhony panggilan akrabnya, yang peduli terhadap bumi kita yang sudah gersang, pada Hari Bumi tanggal 24 April lalu, menggerakkan teman-teman wartawan dan pemerhati/peduli lingkungan bertempat di Balai Kota Malang, bersama puterinya Vyoni menyerahkan 1.000 burung berbagai jenis sebagai simbol perdamaian dan 1.250 anakan/bibit pohon kepada Walikota Malang, Drs Peni Suparto, MAP. Di kediamannya ada sekitar 55 ekor burung dari berbagai jenis, termasuk burung langkah Gagak Gaok (Raja) Hitam yang pandai mengoceh, membuat teman-teman wartawan dari media cetak dan eletronik (televisi) berlomba-lomba memberitakan/menyiarkan di masing-masing surat kabar dan televisi nasional/daerah.

Ceritera Dhony, dari sekian burung yang menjadi peliharaannya, satu termasuk unik/langkah yaitu; Burung Gagak Hitam, yang bisa meniru ucapan beberapa kata diantaranya, Allah, Asoi, Hallo Cewek, meniru ayam yang mau bertelor, ayam jago, rombengan, suara kucing berantam, suara bayi menangis, dan suara ketawa..ha…ha…ha…”Saya dapat burung ini, tiga tahun lalu dari salah seorang kawan di Banyuwangi, Jawa Timur. Saya tukar dengan sebuah mobil Sedan Timor seharga Rp 40 juta,” berkisah Dony, yang memperisterikan Yino Vianis pengusaha batik, dan telah mempersembahkan dua orang anak yaitu; Brain, dan si bungsu Vyoni beralamat di Jl Simpang Sukun No 6, Kota Malang.

Diakui oleh Dony, tidak sulit memeliharan seekor Gagak, karena ada perawat burung dan penangkapan burung Pak Galik (51). Jika, pagi diberi makan buah-buahan, roti dan sore hari ayam goreng. “Sebenarnya nama Gagak itu “Acong”, tetapi wartawan televisi nasional/lokal ke rumah dan memberi nama “Si Ambon” karena warnanya hitam, maka namanya berubah. Untuk nama tidak ada masalah, apalagi diberi nama oleh teman-teman wartawan. Saya setuju aja,” kata Dony, yang juga pengusaha batu permata, menurutnya ada keluarga dari Gus Dur, bernama Gus Tomi dari Surabaya yang bermalam di rumahnya tertarik dan menawarkan harga Rp 100 juta, tetapi ia nggak mau melepaskan.

Ketika ditanyakan berapa harga yang pantas untuk seekor Gagak Hitam, jawabnya dengan ketawa terbahak-beahak yah…kalau Rp 1 miliar akan dijual. “Tentunya, saya melepaskan kepada orang yang saya lihat peduli terhadap hewan/burung, tidak sembarang melepaskan kemudian orang perjualbelikan. Lebih baik saya pelihara sampai burung itu mati….” ujar Dony, yang mempunyai toko butik/batik di Gajah Mada Plaza Lt 1 Blok A-9, Kota Malang, Wita Fashion Jl Panglima Sudirman No 78 Turen, dan Jl Ahmad Yani No 8 Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, biaya untuk pemeliharaan dan peduli lingkungan adalah dari hasil penjualan batu permata.

Tanpa Unsur Mistik

Dijelasakan Dony, pemeliharaan Gagak Hitam ini tanpa ada unsur mistik atau dikaitkan dengan magic. “Burung ini, dipelihara sejak kecil bersama jenis burung yang lain, sehingga diajar untuk ngoceh dan berulangkali dilatih oleh si perawat. Saya serahkan kepada si perawat, sebelum mulai ngoceh dipelihara di rumahnya, setelah sudah pandai berbicara saya pelihara dalam penangkarnya. Itu, hanya kebiasaan masyarakat dikaitkan dengan mistik saja,” ungkap Dony, itu hanya kebiasaan masyarakat, sementara berceritera burung berbagai jenis hinggap di pundak sedang menari-nari dan mencium Dony dengan penuh kemanjaan.

Menurut Dony, kalau burung sejak kecil kita sayang, merawat, berlatih, dan manja kepadanya dan memberikan yang terbaik kepadanya, tentu ia akan juga bermanja-manja kepada kita. “Biaya perawatannya dan makanan perhari sekitar 55 ekor burung sekitar Rp 50 ribu, dan kepada perawatnya per shiff pagi/siang ada yang Rp 15 ribu, dan 25 ribu per hari,” tutur Dony, dari halaman rumah, serambi rumah, ruang tamu, ruang makan, dapur, lorong kamar mandi berjejal dengan berbagai jenis burung, dan ruang khusus adalah burung yang berprestasi untuk ikut lomba, sering memperoleh juara nasional, dan daerah Kota Malang yaitu burung Anis Merak, Cicak Hijau, dan Kacer.
Dikatakan Dony, sejak berumur di sekolah SD tahun 1984 lalu sudah berkecimpung dengan berbagai burung dan lingkungan. “Motifasinya memelihara burung, pertama untuk investasi/dijual, dan kedua hobby dan sayang kepada burung-burung. Ada jenis burung yang akan dijual setelah pandai mengoceh, dengan harga Rp 250 ribu sampai dengan jutaan, tergantung dari jenis burung dan tingkat kepandaiannya,” ujar Dony, yang juga Koodinasi Wartawan AREMA (Malang Raya) ada dua ekor jenis burung Raja Wali, di peliharanya jika sudah bisa terbang sendiri dan mencari makan sendiri, akan dilepaskan ke alam bebas yang diskasikan oleh Walikota Malang.

Dikawatirkan, sewaktu-waktu Badan Konservasi Satwa dan Alam (BKSA) datang menyita dan membawa dengan alasan burung langkah dan harus dirawat di BKSA. “Saya khawatir seperti Tole Orang Hutang yang dipelihara oleh warga Kota Malang, setelah diambil oleh BKSA, ternyata mereka tidak bisa merawat dan mati. Juga, untuk Raja Wali ini, jangan seperti Tole, daripada BKSA yang memlihara, biarkan saja saya merawat dan memelihara, karena semua burung ini dipelihara di depan rumah,” harap Dony, bila pagi atau sore hari ibu-ibu sambil menggedong bayi/anak menyuap makanan, menikmati berkicaunya burung-burung ini dan kalau subuh dan jam 2 siang rame-rame berkicau memekik anak telinga, tetapi lingkungan senang seperti suasana di alam terbuka. (ris/ger)

M Romadhony Pedagang Batu Permata, yang Peduli Lingkungan

HAMPIR DI SETIAP SAAT atau pada kesempatan apa saja, bila kita berjumpa dengan orang-orang yang memakai permata hiasan berupa “batu permata” dalam bentuk cincin untuk para pria dan dalam bentuk kalung, gelang atau pun giwang untuk wanita. Mereka yang memakai batu permata tertentu secara cermat dan hati-hati, karena mereka telah mengetahui bahwa bentuk batu permata yang berkualitas prima itu. Memang pantas untuk dihargai sebagai suatu karya seni, sehingga mungkin mereka telah membayar dengan harga yang cukup mahal atau tinggi. Menurut M Romadhony, harga sebuah batu permata relatif harganya, mungkin mereka membeli dan memakai hanya karena kebiasaan tanpa mengetahui dengan pasti tentang karekteristik, mutu atau nilai estetikanya. Tetapi, bagi mereka yang sudah mengetahui akan mengejar batu permata, kalau sudah cocok dengan warna, serat dan kandungannya, kilap dan kilau, efek pantulan cahaya, kadar kekerasan, dan kadar berat jenisnya pasti memburu dengan harga yang pantas akan dibelinya.

Dony panggilan akrabnya, yang juga seorang wartawan ini, sudah 15 tahun bergelut dengan penjualan “batu permata” dari berbagai jenis. “Di Indonesia ada tiga jenis batu permata yaitu; Berlian/Intan dari Kalimantan, Akik dari Jawa, dan Opal/Kalimaya (Banten). Ada lagi jenis batu permatan seperti; Bluesafir, Zamrud, , Mirahruby, Opal/Kalimaya, Cat Eyes (Mata Kucing), semuanya merupakan barang dagangannya,” ungkap Dony, yang ia beli dari luar negeri Iran, Srilangka, dan Banglades.

Dony biasanya mengikuti pameran di hotel-hotel berbintang seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. “Konsumen saya ada yang dari Batam, Riau, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Singapura, dan Malaysia. Sudah bertahun-tahun menekuni bisnis “batu permata” ini. Harga setiap jenis batu permata berkisar dari Rp 2 juta sampai miliar,” tutur Dony, yang peduli lingkungan pada Hari Bumi 24 April lalu, bersama putrinya Vyoni memberikan 1.000 burung berbagai jenis, dan 1.250 anakan/bibit berbagai pohon secara simbolis kepada Walikota Malang, Drs Peni Suparto, MAP di Balai Kota Malang.

Kota-kota besar di Indonesia, kata Dony biasanya dijumpai tempat-tempat tertentu menjadi pusatnya bursa perdagangan batu permata seperti Pasar Rawabening di Jakarta, sepanjang jalan Senopati di Yogjakarta, di Malang sepanjang jalan Majapahit atau di emperan tokok-toko di Kayutangan Kota Malang, serta pasar-pasar tradisional berkumpulnya ajang komunitas batu permata. Mereka itu, bisa terdiri dari penggemar, pedagang dan perajin untuk saling melakukan transaksi jual-beli, tukar menukar atau mengasah batu mentah menjadi batu permata. Kadang sekadar hanya mengobrol tentang berbagai pengalaman seputar batu permata, sambil melihat-lihat barangkali ada barang baru yang menarik perhatian, Jadi, beragam kedatangan mereka di tempat bursa batu permata yang ada di kota-kota besar.

Keindahannya

Dony yang hobby memelihara burung sekitar 55 ekor berbagai jenis dan unik seekor Gagak Gaok (Raja) Hitam yang pandai bercoleteh seperti burung beo, mengatakan kriteria batu permata yaitu dari keras, langka dan keindahannya. Kelihatan dari keindahannya merupakan daya tarik yang paling dominan. Hal ini, karena keindahan itu adalah sesuatu yang bisa di lihat, dimengerti, dirasakan, bahkan dinikmati hampir semua orang, tanpa kita harus bersusah payah untuk mempelajarinya. “Sebaliknya untuk bisa membedakan batu yang “keras” dan mana yang “lunak”, kita harus belajar terlebih dahulu dengan bertanya atau cara membandingkan. Begitu juga “langka” bentuk batu permata intan nan indah bukanlah barang langka kalau ukurannya di bawah satu karat, baru bisa dibilang langka kalau ukuran beratnya di atas 10 karat,” ceritera Dony, yang memilihara di rumahnya Gagak Hitam yang pandai mengoceh kata-kata seperti Alla, Hallo Cewek, suara seperti ayam yang mau bertelor, ayam jago, suara kucing berantam, suara bayi menangis, ketawa, dan rombengan, yang diperoleh dari temannya di Banyuwangi, Jawa Timur tiga tahun yang lalu seharga Rp 40 juta ditukar dengan sebuah mobil Sedan Timor.
Dikatakan Dony, keindahan berbagai batu permata, jika mengamati, mencermati dan menikmatinya sungguh amat sangat menakjubkan ragamnya. “Mulai dari warna, kalau kita menganggumi merahnya mawar, putihnya salju, biru laut, dan hijaunya rimba-belantara. Semuanya itu, kita bisa temui pada batu permata. Juga sering kita terpesona eloknya pelangi di langit, atau kemilaunya setetes embun di ujung daun sesaat tertimpa cahaya matahari pagi,” ungkap Dony, semua itu pun bisa dinikmati lewat pantulan warna pada batu labradorit dan kilaunya sebentuk intan berlian.

Menurut Dony, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, jika telah meilihat batu permata. “Kita bisa merenungi lembutnya sinar rembulan lewat pancaran cahaya biduri bulan, merasakan sejuknya kuarsa es yang tak kunjung cair. Belum lagi, bila kita berbicara tentang batu berbintang, bahkan bermata kucing, atau seorang pencinta seni rupa. Mau lukisan panorama alam atau flora dan fauna, atau gambar tokoh-tokoh idola, apalagi lukisan abstrak dijamin batu permata gambar mampu menawarkan sejuta pilihan,” ujar Dony, yang mempersuntingkan isterinya Yino Vianis yang juga pengusaha batik, telah memberikan dua orang anak Brain, dan si bungsu Vyoni.
Batu permata di lihat dari segi ukuran harga alias komersialnya, telah memiliki parameternya sendiri. Seperti patokan yang umum digunakan dalam menafsir harga ditentukan oleh, warna, kebeningan, kebersihan, keutuhan, timbangan, garapan, kelangkaan dan faktor “X keterpikatan dari yang melihat. Warna, menjadi ukuran pertama dalam kita menaksir harganya, warna merah yang mendarah pada rubi, hijau yang royo-royo pada Zamrud, dan biru yang syahdu pada Safir adalah beberapa istilah yang lazim dipergunakan untuk menilai kedalaman atau intensitas warna suatu jenis permata.

Kebeningan dan jernih selalu akan lebih disukai ketimbang sesuatu yang keruh. “Sering beberapa jenis batu translusan dan opak terkadang memiliki keunikan tersendiri, tetapi yang bening akan memiliki kesan lebih bagus seperti ungkapan “betapa bening bola matanya” atau “tutur katanya sebening suara hatinya”, kadang merah jingga sebiji karnelian yang translusan bisa membuat kita terpakau seolah pengin mengulumnya,” urai Dony, kita bisa sejajarkan dengan merah darahnya rubi transparan yang bening-kempling, mengatakan harga Burung Gagak Hitamnya yang diberi nama “Ambon” oleh teman-teman wartawan cetak/elektronik (televisi) ingin dibeli keluarga Gus Dur, yaitu Gus Tomi dari Surabaya seharga Rp 100 juta, tetapi menolaknya, jika ingin membeli seharga Rp 1 miliar, akan dilepaskannya tetapi kepada orang yang benar-benar mencintai burung, bukan untuk diperjualbelikan lagi.

Selanjuntnya dijelaskan Dony, kriteria yang lain adalah kebersihan dituntut pada bahan batu yang transparan. Karena ada yang kotor atau bercak-bercak di dalam tubuhnya jelas akan menghambat kilau cahaya yang dipancarkan. “Tetapi, uniknya pada batu permata adalah bercak-becak atau kotoran tersebut bila berujud gurat-gurat pada permukaan batu pirus, apalagi bila gurantannya berwarna kuning-keemasan, justeru akan berlipatganda harganya,” harap Dony, memiliki koleksi Batu Bergambar Semar yang sudah ditawarkan Permadi mantan anggota DPR dari PDI-P, yang kini sudah hijarah ke Partai Gerinda seharga Rp 250 juta, tetapi Dony mau menjual dengan harga Rp 1 miliar.

Sedangkan keutuhan pada batu permata, kata Dony memang sanagat berpengaruh terhadap keindahan, dan tentu saja nilai harganya. “Terlepas dari adanya kepercayaan bahwa batu permata yang retak itu tidak baik “angsar” atau pun mengaruhnya, atau juga batu yang retak tentu akan lebih rentan untuk pecah. Hal ini, jelas bisa dijadikan alasan yang logis untuk mereduksi jumlah rupiahnya. Sementara kelangkaan memang cukup relevan kalau dipakai sebagai patokan harga batu permata, walau pun juga beberapa jenis mineral batu tertentu yang sangat langka. Tetapi tidak didukung oleh keindahannya, justeru dinilai murah,” alasan Dony, kelangkaan ini lebih pas pada batu-batu mulia berukuran besar, khususnya intan, rubi, safir, zamrud dan krisolberil aleksandrit atau mata kucing yang langka juga eksotis penampilannya. (ris).

Pengambilalihan Empat Mata Pelajaran oleh Kemdiknas, Pendidikan Pancasila

ADA DUA ISU mengenai kurikulum mutakhir. Pertama, penghapusan pendidikan Pancasila. Kedua, pengambilalihan empat mata pelajaran oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Pendidikan Pancasila dihapus dan semua yang berkenaan dengan Pancasila ditumpukan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selanjutnya, Kemdiknas akan mengambil alih empat mata pelajaran yaitu, Agama, PKn, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Pengambilalihan ini, didasarkan atas pertimbangan bahwa empat mata pelajaran tersebut memiliki ikatan secara nasional.

Mengenai penghapusan mata pelajaran pendidikan Pancasila, sejumlah guru mengatakan, kini sangat sulit menanamkan nila-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan toleransi beragama kepada murid-murid. Lalu mengenai mata pelajaran PKn, Kepala SMA 1 Lawa, Muna, Sulawesi Tenggara, La Ose menyatakan “Materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Sedikit peluang penanaman nilai dan pembentukan moral anak”.

Wacana penghapusan pendidikan Pancasila memang bersifat responsif, sehingga perlu dihargai. Responsif antara lain, karena masalah toleransi beragama, kekerasan, dan terorisme mengemuka. Juga reposnsif, karena pendidikan Pancasila menggugat ingatan kita pada Orde Baru, sebuah orde yang menggunakan Pancasila sebagai penguatan dan pelanggengan hegomini para penguasa waktu itu. Penataran P-4 sebagai kepanjangan tangan pendidikan Pancasila, dengan alasan sama, juga menghidupkan kembali trauma masa lalu.

Beberapa waktu lalu, wacana pendidikan budi pekerti pun mengemuka. Ini, juga bersifat responsif, karena dirasakan dekadensi nilai-nilai etika dan kesopanan makin memprihatinkan. Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan perjalanan keliling ke berbagai daerah untuk menggali informasi dan aspirasi mengenai korupsi serta mengadakan kerjasama lebih erat dengan berbagai lembaga, antara lain perguruan tinggi dan pesantren. Dalam kunjungan itu, timbul pula wacana hendaknya masalah korupsi dimasukkan ke dalam kurikulum. Wacana ini, juga responsif dan karena itu perlu dihargai pula.

Gudang Wacana

Kurikulum tampaknya selalu dijadikan tumpuan limbah wacana. Karena itu, jangan heran jika kurikulum mulai tingkat paling rendah sampai paling tinggi dipenuhui oleh wacana yang muncul, karena keprihatinan masyarakat. Akibatnya, apabila rancangan kurikulum tidak selektif, kurikulum bisa menggelembung. Anak SD harus memanggul buku seberat 14 kilo gram (penjelasan pakar pendidikan, Anita Lie) dan untuk mencapai S-1 seorang mahasiswa harus mengambil sekitar 40 mata kuliah adalah contoh penggelembungan kurikulum.

Coba tengok buku pelajaran Bahasa Inggris tahun 1980-an terbitan Balai Pustaka. Buku ini, tebal luar bisa. Muatanya bagaikan isi tong sampah. Masalah lingkungan hidup, kependudukan, keluarga berencana, nilai-nila Pancasila, dan masih banyak lagi dimasukkan. Masalah tersebut dimasukkan bukan karena kehendak penyusun buku, melainkan karena departemen-departemen yang bersangkutan meminta supaya kepentingan mereka dimasukkan. Akibatnya, buka tidak bisa dipakai. Alokasi waktu dalam kurikulum tak mungkin memenuhi tuntutan buku pelajaran. Bukan hanya itu, konsentrasi guru dan siswa dalam mempelajari Bahasa Inggris, juga kurang bias fokus.

Apatisme

Tengolah kisah nyata ini. Ada sebuah penataran mengenai lingkungan hidup. Penatarnya hebat-hebat, petatarnya juga hebat-hebat. Begitu banyak bahan dijejalkan selama penataran. Akibatnya, lahirlah kejenuhan. Kelanjutan kejenuhan tidak lain adalah apatisme. Keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan bukan semata-mata ranah koginitif, tetapi juga dan inilah yang penting rana efektif dan ranah psikomotor. Ranah kognisi menyebabkan kita mengenal hakikat pentingnya peran lingkungan, ranah afeksi menggiring kita mencintai lingkungan hidup dan ranah psikomotor mendorong kita melaksanakan kecintaan itu.

Lalu, apa yang terjadi? Dalam kunjungan ke beberapa instansi, seorang peserta dengan gaya cuek merokok. Tiba-tiba rombongan pembesar masuk ke ruangan. Mungkin karena agak tergesa-gesa, peserta yang sedang merokok ini jatuhkan rokoknya ke lantai, lalu memadamkan apinya dengan menggilas-gilas sisa rokok dengan sepatunya. Perbuatan ini, tentu justeru bersifat anti lingkungan, jenuh, apatis.

Kegagalan pendidikan selama ini terjadi, karena titik berat pendidikan bergeser dari pendidikan menjadi pengajaran. Ranah kognisi terlalu dimanjakan, ranah afeksi serta ranah psikomotor diabaikan. Karena itu, andai kata semua wacana di atas diakomodasikan dalam kurikulum, hasil pendidikan akan tetap kurang maksimal. Masalah budi pekerti, kewarganegaraan, pemberantasan korupsi, dan apa pun akhirnya menjadi bahan hafalan. Meski pun suara mereka (baca: para guru) kurang manyaring, kalau turun ke lapangan, kita akan tahu keluhan lain: alokasi waktu untuk mata pelajaran Sejarah dirasakan sangat kurang. Tentu, kita semua bersetuju, nilai-nilai penghargaan kepada para pendahulu dan nilai-nilai nasionalisme bisa pula dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah.

Namun bila semua tuntutan itu, dipenuhi dan semua wacana dimasukkan ke dalam kurikulum, mau tidak mau penggelembungan kurikulum tidak mungkin dihindari. Karena itu, sangat menggembirakan ketika dalam membincangkan masalah budi pekerti adalah semacan konsensus di antara para pemangku kepentingan untuk tidak menciptakan budi pekerti sebagai mata pelajaran tersendiri, tetapi mengintegrasikannya dalam mata pelajaran- mata pelajaran lain.

Hegemoni

Pendapat bahwa pada zaman Ored Baru pendidikan Pancasila, termasuk penataran P4-nya, adalah usaha untuk melanggengkan dan memperkokohkan kekuasan penguasa adalah benar. Dengan bersenjatakan Pancasila, penguasa melanggengkan hegemoni mereka dengan cara, yang kalau disimak mirip dengan teori Hegomoni Gramsci.

Orang-orang lapisan atas, para kroni dan saudara serta keluarga elite penguasa dirangkul. Mereka diberi lisensi perdagangan yang amat berlebihan, hak monopoli, dan lain-lain. Praktek semacam ini, adalah salah satu praksis terori Hegemoni Gramsci. Setelah Orde Baru berlalu, paraktek hegomoni tetap dilanggengkan. Partai dijadikan semacam kerajaan dengan sistim dinasti, kroni diberi kekuasaan, dan lain-lain. Hal itu tidak lain, merupakan praktek hegemoni pula.

Dalam buku Culture and Anarchy, Matthew Arnold menyatakan bahwa apabila pengelolaan kebudayaan diserahkan kepada kelas bawah, mau tidak mau akan timbul anarki. Namun, bagaimanakah kalau anarki itu justeru oleh elit politik dan pejabat? Mampukah kurikulum menghapus mental penciptaan anarki apabila sebetulnya rakyat hanyalah meniru contoh yang dilakukan oleh para penguasa?

BUDI DARMA
Sastrawan; Rektor IKIP Surabaya 1984-1888 (Kini Universitas Negeri Surabaya)

Menyeret Nama-nama Oknum Partai Demokrat, Korupsi dan Pendanaan Parpol

KASUS DUGAAN SUAP yang melibatkan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, Wafid Muharam ditenggarai turut menyeret Partai Demokrat (PD). Bendahara Umum dan salah seorang Wakil Sekretaris Jenderal PD diwartakan berada di belakang transaksi success fee proyek Wisma Atlet SEA Games 2011 di Palembang. Mungkinkah korupsi diberantaskan, jika ia berakar pada kepentingan Parpol?

Perselingkuhan politik antara dunia usaha dan politisi Parpol yang menghasilkan korupsi sebenarnya bukan berita baru. Bank Dunia, seperti dikutip Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) pada pidato pembukaan Konfrensi Internasional Pemberantasan Penyuapan dan Bisinis Internasional di Bali, mensinyalir ada satu triliun dollar AS dikeluarkan dunia usaha untuk menyuap. Di Indonesia, main mata antara dunia bisnis, unsur-unsur penguasa, dan politisi Parpol juga berlangsung sejak lama.

Pada era Orde Baru, para pengusaha lazim diminta sumbangan untuk yayasan-yayasan yang dibentuk dan diketuai sendiri oleh mantan Presiden Soeharto. Sebagian dana yang terhimpun kemudian disalurkan untuk membiayai Golongan Karya, “partai pemerintah” yang didesain untuk memenangkan Pemilu manipulatif Orde Baru. Tak mengherankan, jika Golkar yang kemudian menjadi Partai Golkar kelimpungan menghimpun dana politik pasca Orde Baru.

Meningkat Jelang Pemilu

Meski pun demikian, jika berita tentang dugaan keterlibatan pengurus PD dalam kasus suap Sesmenpora itu benar, tetap saja kasus ini menarik untuk disimak, karena beberapa alasan. Pertama, Presiden SBY yang dari PD tengah gencar-gencarnya mengampanyekan pemberantasan korupsi. Dalam berbagai kesempatan, SBY bahkan berjanji akan berdiri paling depan memberantas korupsi.

Kedua, sudah tak terhitung anggota dan pengurus Parpol serta anggota DPR yang ditahan, karena terlibat tindak pidana suap dan korupsi. Kasus suap Alih Fungsi Hutan Lindung di Riau Kepulauan dan Sumatera Selatan, juga kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (2004) dan sejumlah kasus suap lain tak hanya melibatkan satu Parpol tetapi hampir semua Parpol di DPR. Mereka tidak pernah jera dan juga tak pernah belajar dari pengalaman pahit politisi lain yang dipermalukan secara publik. Tanpa rasa malu-malu, apalagi bersalah, para politisi Parpol seringkali bersembunyi di balik pepesan kosong partai yang seolah-olah berpihak kepada nasib rakyat dan masa depan bangsa.

Ketiga, dugaan keterlibatan pengurus PD terkait success fee pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang ini, berlangsung ketika segenap Parpol mulai berancang-ancang menghadapi Pemilu 2014 yang semakin mahal dan kompetitif.

Saling Melindungi

Pertanyaan kemudian, mengapa kasus tindak pidana korupsi dan suap yang melibatkan politisi Parpol dan anggota DPR tidak berkurang, bahkan cenderung meningkat? Di luar alasan yang bersifat personal, katakanlah ingin memperkaya diri dan hidup lebih mapan, para politisi Parpol di lembaga legislatif dan eksekutif adalah sumber utama pendanaan Parpol. Subsidi negara yang diterima Parpol yang memperoleh kursi di DPR dan DPRD terlampau kecil untuk memenuhi kebutuhan pendanaan Parpol. Karena itu, salah satu-satunya jalan bagi Parpol adalah “memberdayakan” dan “mengaryakan” para politisi Parpol yang memiliki jabatan-jabatan strategis, baik di legislatif mau pun di pemerintahan.

Di DPR, misalnya, mereka mencakup unsur pimpinan komisi yang bermitra dengan pemerintah dan dunia usaha sesuai bidang masing-masing. Bagi politisi di pemerintah, beban pencarian dana Parpol adalah di pundak para menteri serta kepala dan wakil kepala daerah yang berasal dari Parpol.

Oleh karena itu, kasus dugaan suap yang melibatkan Sesmenpora dan ditenggarai menyeret pula pengurus PD merupakan tangan luar biasa besar bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sudah jadi rahasia umum, para politisi Parpol biasanya saling melindungi, jika dihadapkan pada perkara dugaan suap dan korupsi. Mekanisme saling melindungi itu, tidak terbatas pada semua politisi dalam Parpol yang sama, tetapi juga antarpolitisi dari Parpol yang berbeda.

Kekuasan Tak Terbatas

Selain faktor kebutuhan pendanaan Parpol, korupsi dan suap yang melibatkan politisi Parpol juga berakar pada kekuasaan hampir tak terbatas DPR pasca-amandemen konstitusi. Kekuasaan itu, terutama terkait otoritas DPR dalam penentuan alokasi APBN dan kewenangan konfirmasi yang dimiliki DPR untuk mengangkat pejabat publik.

Melalui hak budget yang dimiliki, Panitia Anggaran DPR atau tepatnya politis Parpol di Senayan dapat mengontrol alokasi proyek-proyek besar yang dianggarkan APBN melalui berbagai instansi pemerintah. Komisi-komisi DPR bahkan bisa menekan mitra mereka dari pemerintah agar pengusaha tertentu. Dari situlah, sekandal suap mengalir, sebagian masuk kantong politisi dan sebagian menjadi “jatah” pundi-pundi Parpol.

Di sisi lain, kasus suap Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur BI yang melibatkan rombongan 25 politisi DPR adalah contoh terang benderang penyalahgunaan otoritas konfirmasi dewan dalam pengangkatan pejabat publik. Kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh Presiden dalam sekema sistem presindentil itu juga merupakan sumber “rezeki haram” bagi para politisi Parpol di Senayan. Pertanyaan kemudian, mampukah KPK membongkar semua ini? Jawabanya jelas tidak, sebelum kekuasaan hampir tak terbatas DPR (baca: Parpol) dipangkas dan ditinjau ulang. Kita semua tahu, sebelum dapat berbuat banyak, kekuasaan KPK pun hendak dipreteli DPR. Quo vadis Parpol-parpol kita?

SYAMSUDDIN HARIS, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI.