Dear Mr George…..
Bupati, Drs Don Bosco Wangge dan Wakil Bupati Ende, Drs Ahmad Mochtar, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah “retak” atau hubungan tidak harmonis sejak tiga bulan setelah pelantikan. Hal yang dilakukan wakil bupati dengan mengajukan 10 Rencana Peraturan Daerah (Raperda) langsung ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ende, dan yang anehnya DPRD menyetujui untuk dibahas. Melihat hal itu, bupati ketika sidang pembukaan pembahasan Raperda di DPRD mengatakan dua Raperda “siluman”, karena masuk melalui wakil bupati, bukan yang diusulkan bupati. Dewan juga seolah-olah membakar “keretakan” itu, diduga ada dua kubuh di eksekutif mau pun di legislatif. Saya mendengar wakil bupati dalam waktu dekat akan meminta mengundurkan diri, mengikuti jejak Wakil Bupati Garut, Dicky Chandra. Pertanyaan saya apakah karena hubungan kurang harmonis itu, harus berpisah/berhenti di tengah jalan, dan jika ada penggantiannya apakah hubungan kerja wakil bupati yang baru dengan bupati bisa harmonis atau malahan semakin memburuk.
Achmmad S
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Ende-Flores, NTT.
Dear Mr Achmmad
Kasus hubungan tidak harmonis antara kepala daerah dan wakil kepala daerah di seluruh Indonesia, menurut catatan ada sekitar 80 persen, karena merasa ditinggalkan atau tidak diikutsertakan dalam kegiatan serta pengambilan kebijakan oleh gubernur/bupati/walikota. Padahal, ketika berkampanye dua sejoli terlihat sangat mesrah, solid, untuk meraih kemenangan atau mencari pendukung. Keberhasilan keduanya itu, kita tidak tahu pasti apakah yang mendulang suara terbanyak/pendukung itu untuk gubernur/bupati/walikota atau wakil gubernur/wakil bupati/wakil walikota. Semuanya serba gelap, karena sistim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bersifat Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Tetapi, sering gebernur/bupati/walikota merasa dirinya lebih matang berpolitik daripada wakilnya, atau ketika secara paksa dipasangkan oleh partai politik atau gabungan partai politik (pendukungnya lebih dari satu partai), bukan pilihan sendiri dari calon gubernur/bupati/walikota. Karena pilihan partai, makan merasa dengan terpaksa harus mengikuti kebijakan partai.
Sebenarnya kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum bersama-sama mengikuti Pilkada, sudah membagi tugas-tugas selain yang diatur secara normatif oleh peraturan dan perundang-undang yang berlaku menyangkut pemerintahan daerah. Hal ini, bisa dibuat perjanjian yang disepakati oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mendukung kedua kandidat itu. Bila perlu dibuat di hadapan notaris, sebagai suatu pengikat atau rambu-rambu, apabila dikemudian hari kepala daerah atau wakil kepala daerah melanggar, bisa ditegur oleh partai pendukungnya. Perjanjian ini, memang tidak diatur dalam undang-undang atau peraturan. Ternyata sudah merupakan kebiasaan perjanjian secara lisan tidak tertulis, sehingga apabila sudah terpilih/sebagai pemenang, kadangkala kepala daerah melanggar kesepakatan lisan itu. Juga, sering hanya saling kepercayaan saja.
Menurut Pasal 25, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menegaskan bahwa kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, mengajukan Raperda, menetapkan Perda, menyusun dan mengajukan Raperda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. Oleh karena itu, seorang wakil bupati tidak bisa mengajukan Raperda, kecuali bupatinya tersangkut masalah pidana dan sudah menjadi terdakwa di sidangkan di Pengadilan Negeri (PN). Hal ini, karena Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sudah menonaktifkan sang bupati. Tetapi, jika tidak terjadi hal seperti itu, seorang wakil bupati tidak mempunyai kewenangan. Sebenarnya DPRD juga sudah memahami, tugas, wewenang serta kewajiban seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bila DPRD menerima usulan Reperda dari wakil bupati, maka sangat menyayangi kualitas dan pemahaman kalangan DPRD setempat tentang peraturan dan Perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
Sedangkan Pasal 26, menyangkut tugas wakil kepala daerah antara lain, (1) membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintah daerah, (2) membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawas, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup, (3) memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah, (4) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan yang diberikan oleh kepala daerah, dan (5) bertanggung jawab kepada kepala daerah.
Ternyata, dalam pelaksanaannya sehari-hari bila sudah ada benih-benih ketidaksukaan kepala daerah kepada wakil kepala daerah, maka tugas-tugas teknis/administrasi/protokuler diberikan kewenangan kepada Sekretaris Daerah (Sekda), atau para Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), sesuai bidang tugas masing-masing. Wakil Kepala Daerah, hanya bersifat “seromoni”, peresmian, itu pun kadang-kadang di berikan kepada Sekda atau Asisten Sekretaris Daerah (Setda). Memang UU telah memberi kewenangan yang begitu besar kepada kepala daerah, sehingga semua kebijakan daerah itu adalah tanggung jawab kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.
Pengunduran Diri
Apabila wakil kepala daerah memang sudah pada puncaknya/klimaks tidak bisa lagi diajak berkerjasama dengan kepala daerah, sebaiknya meminta mengundurkan diri kepada Pimpinan DPRD setempat, sehingga tidak mengganggu kegiatan/perjalanan roda pemerintah di daerah yang bersangkutan. Sesuai Pasal 29 UU Pemerintah Daerah yang membahas tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah mengatur yaitu, meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan.
Selanjutnya, pengunduran diri itu, alasannya harus kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, misalnya sakit atau tidak mampu mengembangkan tugas. Apabila alasannya, karena dipicu konflik pribadi, atau tidak bisa mengikuti irama kerjanya kepala daerah, maka pengunduran diri itu tidak dapat dikabulkan. Sebaiknya, DPRD meminta penjelasan dari kepala daerah, dan mengajak rujuk atau konsolidasi, dengan pembagian tugas yang lebih konkrit atau jelas, sehingga masing-masing dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya sampai akhir periode masa jabatan.
Wakil Kepala Daerah mengajukan pengunduran diri pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD setempat, agar dapat dibahas dan diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh Pimpinan DPRD. Pemberhentian ini, tidak menghapuskan tanggung jawab yang bersangkutan selama memangku jabatan. Jadi, yang menentukan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah itu, semuanya tergantung dari kesepakan anggota DPRD. Oleh karena itu, melalui Rapat Paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan keputusan yang diambil dengan persetujuaan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
Tidak Pro Rakyat
Jika, wakil kepala daerah mengatakan pengunduran diri karena usaha membangunan di kabupaten tersebut semua proyek tidak pro rakyat, itu sebenarnya wakil bupati tidak memahami sistim pemerintah daerah. Semua itu sudah dibahas dengan DPRD Rencana Pembangungan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang memuat visi-misi kepala daerah terpilih dan disahkan melalui Perda. Jadi, bukan lagi visi-misi kepala daerah terpilih, tetapi sudah menjadi visi-misi pemerintah daerah yang bersangkutan.
RPJMD ini, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategis pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program dari masing-masing SKPD, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan diserta dengan rencana kerja dalam rangka regulasi dan kerangkaan pendanaan yang bersifat indikatif. Belum lagi, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran satu tahun yang memuat rencana kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah mau pun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat (kemitraan). Semuanya ini, dengan mengacu kepada rencana kerja pemerintah pusat, dan provinsi.
Pembangunan di daerah ini, ditunjang dengan Musyawarah Rencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Semua itu, disusun oleh masyarakat rencana pembangunan di masing-masing desa dan kecamatan dan pada akhirnya dibahas pada tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan dalam bidang sarana dan prasarana, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya. Jelas, Musrembang itu harus disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah masing-masing, maka dibuat klasifikasi super prioritas dan prioritas. Hal ini, akan disatukan (match) perencanaan dari bawah-atas (bottom up) dan perencanaan dari atas-bawah (top down). Ini, dilakukan dengan pendekatan politik yang memandang Pilkada adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan ketika kampanye dalam Pilkada. Karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah.
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan para pemangku ini, adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki pembangunan di daerahnya. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintah. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas akan diselaraskan melalui tingkat musyawarah yang dilaksanakan baik pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
Jadi, kalau ada wakil bupati yang mengatakan pengunduran dirinya salah satu atau antara lain karena pembangunan “tidak pro rakyat”, itu salah besar dan yang bersangkutan tidak mengerti pemerintahan daerah. Oleh karena itu, sebaiknya pengunduran diri dari wakil kepala daerah dikabulkan/disetujui saja oleh DPRD, dan memberi kesempatan kepada calon-calon lain yang bisa berkerjasama dengan kepala daerah. Pergantian wakil kepala daerah itu, bisa berkerjasama dengan kepala daerah, karena dalam prosesnya diajukan oleh kepala daerah setelah berembug dengan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung. Jadi, orang pilihan sendiri oleh kepala daerah.
Prosedur tentang pengunduran diri wakil kepala daerah, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik dan masa jabatannya masih sisa 18 bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan dua orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam Pilkada untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD. Sedangkan untuk calon perseorangan/independen juga kepala daerah mengajukan dua orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Kuncinya adalah ditangan anggota DPDR setempat, mengabulkan atau tidak. Walau pun DPRD tidak mengabulkan, tetapi wakil kepala daerah sudah mempunyai niat atau konsekuensi pengunduran diri, maka DPRD dengan terpaksa harus mengabulkan, dan segera diusulkan kepala gubernur, dan selanjunya ke Mendagri dan disetujui oleh Presiden. Tetapi, tidak pernah terjadi wakil kepala daerah mengajukan pengunduran diri, tidak dikabulkan oleh DPRD, karena ini sudah menyangkut ranah politik, setiap partai mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar