Kamis, 04 Agustus 2011

Koordinasi Internal Pemda Lemah, Masyarakat Tiga desa Mengepung DPRD Kabupaten Ende

ENDE, FLORES, NAGI. Sebagai wujud kekecewaan masyarakat, karena tidak selesainya pembahasan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) terkait pembentukan tiga buah desa, ratusan masyarakat dari tiga desa yang semula berharap desanya dapat ditetapkan sebagai desa defenitif melakukan aksi demonstrasi ke kantor gedung DPRD Kabupaten Ende. Sekitar 300 orang massa demonstran yang terdiri dari masyarakat Desa Uzuzozo, Desa Waturaka dan Desa Kuru Sare, pekan lalu tiba dengan kawalan ketat aparat Kepolisian Ende.

Massa meminta agar ke-30 anggota dewan harus hadir menemui mereka. Massa sempat menutup pintu gerbang DPRD untuk mencegah ada anggota dewan yang keluar dari tempat itu. Mereka mengancam akan mendatangi rumah anggota dewan yang tidak hadir untuk meminta segera ke gedung dewan, jika mereka tidak dilayani.

Setelah menunggu selama hampir sejam, sambil berorasi dengan mengecam berbagai perilaku dan kinerja DPRD dan Pemerintah Kabupaten Ende, akhirnya massa demonstran ditemui langsung Ketua DPRD Ende, Marselinus Petu didampingi sejumlah anggota dewan diantaranya Simplisius Mbipi, Gabriel D. Ema, Sudrasman Arifin, Heribertus Gani, Maksimilus Deki, Arminus Muni Wasa, Julius Sesar, Philipus Kami, di teras depan Gedung DPRD Kabupaten Ende. Masa menolak ketika ditawarkan Ketua DPRD untuk berbicara di dalam ruangan dewan.

Di hadapan sang ketua, koordinator demonstran Wilhelmus Mbuja mempertanyakan mengapa DPRD menolak membahas usulan tiga Raperda terkait pemekaran ketiga desa tersebut. Massa sangat kecewa, karena selama delapan tahun penantian mereka akhirnya sirna. Massa juga meminta agar pada hari itu, juga mereka diberikan kepastian waktu agar ketiga usulan Raperda dapat dibahas dan ditetapkan.

Suasana semakin memanas, ketika Marsel menjanjikan waktu paling lambat akhir Desember 2011 ketiga Raperda tersebut sudah dapat ditetapkan. Massa menolak, karena terlalu lama menunggu realisasi. Masa mengancam akan menginap di gedung dewan tersebut. Jawaban Marsel, bahwa silahkan jika massa mau menginap dan ia menjelaskan bahwa untuk menetapkan jadual sidang membahas Raperda butuh waktu dan harus dibicarakan dan disesuaikan dengan agenda dewan yang sudah ada.
Kepada masyarakat, Marsel mempertanyakan dari mana mereka mengetahui bahwa Raperda tersebut ditolak? Marsel juga sempat meminta Sekwan untuk menghadirkan Bupati Ende, agar masyarakat juga dapat mendengar langsung penjelasan dari pemerintah.

Menurut Marsel dewan tidak menolak, tetapi memutuskan menunda pembahasannya pada sidang berikutnya. Pembahasannya terganggu, karena terjadi sejumlah permasalahan terkait jumlah Raperda yang diajukan pemerintah. Proses yang sudah dilalui baru sampai pada pendapat akhir fraksi. Dijelaskan bahwa mekanisme yang dilalui belum final. Fraksi bukan alat kelengkapan DPRD, tetapi adalah representasi dari Parpol, jadi yang diputuskan dalam pendapat akhir fraksi bukan final keputusan DPRD.

Karena tidak mendapat kepastian waktu seperti yang mereka inginkan, spontan massa yang sudah kelaparan langsung mendirikan tenda menggunakan terpal di halaman gedung DPRD dan membakar pisang untuk makan siang mereka. Koordinator Lapangan, Wilhelmus kepada wartawan mengatakan bahwa, mereka tidak mengerti mengapa Raperda yang telah diproses di dewan tersebut akhirnya diputuskan ditolak dewan. "Ketika tatap muka dengan dewan tanggal 13 Juni lalu, kami dijelaskan bahwa Raperda tentang pembentukan desa tersebut ditolak, karena mekanisme. Kami diberi waktu untuk menunggu satu minggu. Tetapi sekarang kami diminta lagi menunggu hingga akhir tahun ini,” kata Wilhelmus, pihak wara tidak terima sudah menanti selama delapan tahun agar desanya bisa menjadi desa defenitif.

Menanggapi tudingan masyarakat bahwa Ketua DPRD mengadu domba masyarakat, secara tegas Marsel menjelaskan, bahwa ia sebagai Ketua DPRD tidak pernah mengadu domba antara masyarakat dengan pemerintah atau sebaliknya. “Masyarakat tidak mengetahui dan tidak memahami situasi yang berkembang sejak proses pengajuan hingga ketika pembahasan Raperda tersebut. Bagaimana masalah yang terjadi dengan adanya 10 Raperda yang kemudian ditarik menjadi sembilan, kemudian ditarik lagi menjadi delapan, seterusnya menjadi empat,” kata Marsel, dan lain-lain yang sempat menjadi polemik ketika itu, akhirnya setelah melalui pembicaraan dan tawar menawar waktu yang cukup lama, masyarakat akhirnya setuju dengan kesepakatan waktu 31 Agustus 2011 Raperda tersebut sudah ditetapkan.

Marsel kepada wartawan menjelaskan bahwa terkait tuntutan massa, sebenarnya dewan tidak pernah menyatakan menolak Raperda pembentukan ketiga desa tersebut, yang ada hanyalah dewan sepakat memutuskan untuk menunda pembahasan. “Pembahasan Raperda ketika itu. menjadi terganggu karena adanya polemik ketika pemerintah dalam pengiriman berkas termuat 10 buah Raperda, tetapi kemudian dalam nota penjelasan pemerintah hanya delapam Raperda, sehingga hal tersebut menjadi pertanyaan sejumlah anggota dewan yang kemudian dalam prosesnya. Keempat fraksi menerima masing-masing Fraksi Golkar, Fraksi Hanura Bintang Sejahtera, Fraksi Pemuda Berdaulat,” tegas Marsel, dan tiga fraksi yang menolak masing-masing Fraksi PDIP, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Demokrat. (en).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar