Kamis, 04 Agustus 2011

Diharmonis Elit Politik di Kabupaten Ende, Bupati dan Wakil Bupati “Retak” Rakyat Jadi Korban

ENDE, FLORES, NAGi. Masyarakat mungkin bingung ketika ditanyakan apa program andalan Kabupaten Ende saat ini. Lebih bingung lagi jika ditanya bahwa mungkinkah program tersebut terlaksana dengan baik dan terwujud seperti yang di gembar-gemborkan? Mengingat suksesi tahun 2014 telah di depan mata. Bermula dari polemik seputar pengajuan usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) oleh Pemerintah Mei lalu, dimana dalam pengiriman berkas usulan Raperda untuk dibahas di DPRD tercatat termuat 10 buah yang diajukan untuk bahas di dewan. Tetapi, dalam nota penjelasan pemerintah hanya termuat delapan Raperda, sementara dua Raperda masing-masing tentang Ongkos Jemaah Haji (ONH) dan tentang Korpri ditarik dan dinyatakan sebagai Raperda "siluman" oleh Bupati Drs Don Bosco Wangge, ketika sidang pembukaan pembahasan Perda tersebut di Gedung DPRD Kabupaten Ende.

Sempat terjadi ketegangan antara Bupati Don Bosco M. Wangge dan Wakil Bupati Drs Ahmad Mochdar saat itu, terkait kehadiran dua Raperda "siluman", karena masuk melalui wakil bupati dan bukan melalui bupati. Sejak saat itu, pula berhembus kian kencang isu bahwa kedua petinggi tersebut “retak” alias disharmonis hubungannya.

Bak gayung bersambut, bola panas yang awalnya terjadi dalam internal lembaga pemerintah/eksekutif tersebut makin memanas, ketika dewan meminta pemerintah menjelaskan alasan penarikan tersebut. Penjelasan dari pemerintah dirasakan kurang mendasar dan kabur, sehingga tarik ulur terkait pembahasan makin menyita waktu.

Dalam proses pembahasan di dewan, polemik tersebut kian memuncak ketika dalam rapat gabungan Komisi dengan Pemerintah terdapat pro dan kontra terkait kelanjutan pembahasan delapan Raperda. Sebagian anggota dewan bersikeras meminta penjelasan pemerintah terkait penarikan dua Raperda, sementara yang lain menyetujui usulan agar dibahas delapan Raperda. Hingga pimpinan rapat Wakil Ketua DPRD, Fransiskus Taso menghentikan rapat dan menyatakan menyerahkan keputusan kepada masing-masing fraksi. Sebagai akibat dari timbulnya kontroversi yang sangat panas, hingga sempat timbul keributan usai rapat.

Alhasil, sejumlah Raperda termasuk Raperda tentang Pemekaran Ketiga Desa yakni Desa Uzuzozo, Desa Waturaka dan Desa Kuru Sare tidak tuntas dan ditunda pembahasannya, mengingat sempitnya waktu yang sudah diagendakan. Hal ini, memicu kegerahan masyarakat dari ketiga desa tersebut yang telah delapan tahun menjalani masa penantian ditetapkan sebagai desa defenitif.
Mengingat lembaga dewan adalah representasi dari masyarakat Kabupaten Ende, maka segenap kekesalan, kegeraman, dan berbagai ketidakpuasan masyarakat muaranya ditumpahkan ke lembaga tersebut. Sementara tempat di mana sumber bola api itu berasal adem ayem terhadap reaksi masyarakat serupa itu.

Pertanyaanya, dimanakah letak tanggungjawab moril pihak pemerintah yang sejak awal telah menciptakan polemik dan menggulingkan bola panas. Jika ingin jujur, hal sepele tidak perlu terjadi, jika di dalam internal lembaga eksekutif sendiri memiliki koordinasi dan komunikasi yang baik dan harmonis. Rendahnya komunikasi dan koordinasi antara elit eksekutif dan stafnya, menjadikan rapuhnya atau lemahnya kerjasama dan kesepahaman persepsi dalam lembaga eksekutif sendiri. Kemudian biasnya meluas hingga ke lembaga legislatif dan masyarakatlah yang mendapat getahnya.

Sudah menjadi rahasia umum di kabupaten yang memiliki Danau Tri Warna Kelimutu ini, bahwa keharmonisan hubungan antara bupati dan wakil bupati hanya terjadi empat bulan setelah keduanya dilantik. Hal tersebut, dikarenakan adanya perbedaan pemikiran dan pandangan antara kedua petinggi terkait berbagai kebijakan pembangunan dan birokrasi.
Banyak pihak berpendapat bahwa keadaan ini, mungkin tidak akan bertahan cukup lama selama periode kepemimpinan kali ini. Sebab untuk mengembalikan keduanya pada hubungan yang harmonis seperti empat bulan pertama sangatlah sulit, mengingat kian jauh dan lebarnya jarak yang terbentang antara kedua pemimpin. Beberapa pihak mensinyalir antara keduanya terdapat perbedaan pandangan dan pemikiran serta adanyan terdapat kepentingan yang tidak bisa dicarikan solusi masing-masing.

Pembangunan masih ibarat jauh panggang dari api. Bagaimana mungkin ketika baru dilantik, elit politik sudah mulai sibuk memikirkan suksesi 2014 dan mulai timbul saling mencurigai antara satu dengan yang lain. Sudah mulai menghitung dan mengabaikan jasa orang-orang yang pernah membantu mengusung mereka duduk pada saat ini. Masyarakat mungkin bingung ketika ditanyakan apa program andalan Kabupaten Ende saat ini. Lebih bingung lagi jika ditanya bahwa mungkinkah program tersebut terlaksana dengan baik dan terwujud seperti yang digembar-gemborkan? Mengingat tahun suksesi tahun 2014 telah didepan mata, demikian seperti yang dikatakan pengamat dan pemerhati politik dan sosial Ende Rm. Dr. Domi Nong, Pr ketika membawakan materi pada seminar sehari yang diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kabupaten Ende belum lama ini.

Dengan adanya demonstrasi masyarakat dari ketiga desa tersebut, harus dilihat bahwa ada yang salah, sehingga masyarakat desa harus meninggalkan kebun dan ladang serta aktifitas rumah. Mereka hanya untuk datang terkait masalah yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawab, melainkan sudah dipercayakan kepada seluruh elit politik di Kabupaten Ende, baik eksekutif dan legislatif. Kedua lembaga ini, hendaknya mulai mengintrospeksi diri dan melakukan evaluasi akan seluruh kebijakan dan berbagai keputusan.

Di atas dari itu semua, persatuan, kebersamaan, dan komunikasi yang baik adalah syarat mutlak agar semua cita-cita serta janji-janji kampaye dulu dapat diwujudnyatakan. Hindari perasaan saling curiga dan bersikap terbuka untuk semua pihak. (fas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar