Kamis, 04 Agustus 2011

Eddy Rumpoko Tidak Melanggar Peraturan, Mungkin Hanya Sanksi Moral dari Masyarakat

Dear Mr George….

Saya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Batu, mengapa kasus Eddy Rumpoko yang juga Walikota Batu telah menikah dengan isteri pertama Ny Aprilla Sulistyowati (51) dan membuahkan seorang anak bernama Dila Fauzi (27), hanya diberitakan hari pertama saja oleh berbagai media. Tetapi, tidak lagi memberitakan secara terus menerus dan menggali kebenaran. Ingin saya bertanya, apakah Pak Eddy melanggar peraturan dan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah, atau peraturan yang berkaitan dengan moral. Pak Eddy mengatakan di berbagai surat kabar hanya berpacaran tidak pernah menikah, dan hanya cinta monyet. Ingin, saya bertanya apakah Pak Eddy, bila terbukti bersalah bisa diminta mengundurkan diri.

PNS di Kota Batu
Nama dan alamat ada di redaksi

Dear Mr PNS… yang tidak mau menyebut namanya. Mungkin anda sebagai PNS di Kota Batu merasa tidak enak jika mencantumkan nama sebenarnya, karena patuh pada atasan. Tetapi, suara hati anda tidak bisa mempertahankan gejolak, untuk mencari kebenaran. Sebagai seorang PNS tentunya merasa kasihan bahwa Pak Eddy memperlakukan anak kandungnya seperti itu. Saya paham, tetapi ingin saya menjelaskan agar anda dapat memahami tentang peraturan yang mengatur tentang seorang kepala daerah (walikota).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 29 Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak mengatur tentang perkawinan, tetapi hanya sanksi moral dari masyarakat. Jika, Eddy Rumpoko mencalonkan untuk kedua kalinya menjadi Walikota Batu, maka masyarakat tidak lagi memilihnya. Tetapi, zaman sekarang moral tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dipatuh, melainkan masyarakat kita sudah dininabodokan oleh janji dan kekuasaan.

Sedangkan menyangkut pemberitaan mengapa surat kabar tidak lagi memberitakan kasus ini, ketimbang Eddy dituduh menggunakan iajazah palsu dalam pencalonan walikota beberapa waktu lalu. Hal ini, tergantung dari kebijakan masing-masing redaksi, menganggap apakah berita/kasus Eddy adalah penting dan menarik. Karena sesuatu berita/kasus itu, penting belum tentu menarik, dan sesuatu berita itu menarik belum tentu penting. Tergantung dari misi surat kabar yang bersangkutan.

Menurut data Eddy menikah dengan Ny Aprillia di Kantor Urusan Agama, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, 11 Juni 1983 secara Agama Islam, dan lahir anaknya semata wayang Dila sesuai Surat Kelahiran di Klinik Bersalin Soerojo yang dibantu oleh dr Djabro Widarto pada tanggal 18 Desember 1985. Kemudian dibuat Akta Kelahiran No 434/1986 yang dikeluarkan Kepala Kantor Catatan Sipil tanggal 17 September 1986, yang dilegalisir di Pengadilan Kota Malang tanggal 11 September 1986.

Akta Kelahiran Dila Gugur

Kemudian Eddy mengajukan Fasid (pembatalan nikah) yang pernah mereka lakukan di KUA Ngantang tercatat di Pengadilan Agama Malang Nomor 384/86 tanggal 10 Nopember 1986 sedangkan putusan tanggal 25 Desember 1986, dengan alasan ketika menikah itu tidak memenuhi syarat sah perkawinan sebagai tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2, Ayat 1 menyangkut segi syar’inya tidak terpenuhi secara nyata, yaitu dengan menggunakan wali hakim padahal orangtua Ny Aprillia ada di Blitar yang jarak Kecamatan Ngantang dengan Blitar sekitar 60 kilometer, bukan di Irian Jaya sebagaimana disebut dalam kutipan Akte Nikah.

Dengan adanya Fasid (pembatalan) itu, dalam putusan Pengadilan Agama Malang, maka dengan demikian Akta Nikah batal demi hukum, karena bernanti sampai tanggal 20 Desember 1986 tidak diminta banding oleh Ny Aprillia. Hal ini, juga konsekuensi hukum Surat Kelahiran dan Akta Kelahiran juga batal demi hukum. Kasihan Dila, anak lahir disebut “anak haram” di luar pernikahan yang sah. Karena Eddy mengajukan Fasid/pembatalan, berarti secara hukum pernah melakukan pernikahan, tetapi tidak sah karena tidak lakukan oleh walinya.

Hal ini, hampir sama dengan kasus Ruhut Sitompul yang juga dari Partai Demokrat (anggota Komisi III DPR) perkawinan Gereja di Medan, Sumatera Utara 10 Maret 1990 saat itu Anna Rudhiantiana Legawati (50) beragama Islam dan Ruhut beragama Nasarani. Karena berbeda keyakinan, keduanya menikah kembali di Sidney, Australia 27 juni 1998. Setelah kembali dari Sidney keduanya menikah kembali dengan adat Batak bulan Juni 2001, nama Anna pun berubah menjadi Anna Boru Tobing dan pernikahan mereka membuahkan seorang anak bernama Christian Husen Sitompul. Ruhut menyangkal tidak pernah menikah, karena menurut Ruhut di Indonesia melarang nikah beda agama.

Secara undang-undang Eddy tidak melanggar satu pasal pun yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004. Jadi, sanksi hukum tidak ada, dan tidak dapat mengundurkan diri. Jika hal ini benar terjadi, maka Eddy hanya bisa dikenakan sanksi moral, karena pernah menikah dan memiliki seorang anak, dan membatalkan perkawinan (akta nikah), yang mereka berdua sudah merajut selama tiga tahun, dan telah memberikan seorang anak.

Kasus Eddy ini, bila terjadi di luar negeri (Eropa dan Asia), maka Eddy sudah minta mengundurkan diri sebagai Walikota Batu. Di Eropa dikenal dengan seks bebas atau suka sama suka hidup satu atap (kumpul kebo), tetapi moral masih mereka junjung tinggi dalam kehidupan, sehingga ada pelecehan terhadap kaum wanita, baik pembantu, bahkan memperkerjakan imigran dengan tanpa surat-surat yang legal, pejabat tersebut mengundurkan diri. Tetapi lain dengan negara kita, harus dibuktikan secara hukum dan sudah punya kekuatan hukum, itu pun budaya mengundurkan diri dikesampingkan.

Semoga dengan pelajaran Eddy di masa lalu sekitar 27 tahun lalu, tetapi hal ini bisa muncul sewaktu-waktu, karena Eddy adalah pejabat publik (walikota). Jika, Eddy bukan seorang walikota, maka kasus ini tidak bergulir seperti sekarang, dan menggugat Eddy di PA dengan nilai sebesar Rp 11,2 miliar. Secara hukum Eddy sudah tidak ada kewajiban untuk memelihara anaknya, tetapi sebagai sesama manusia dan moral tentunya Eddy tidak akan lupa dengan darah dagingnya sendiri. Kalau isteri ada istilah “mantan isteri”, tetapi untuk anak tak ada istilah “mantan anak”. Tinggal saja Eddy, apakah mau membiaya masa depan anaknya atau tidak terserah. Tetapi, sebagai seorang ayah, tidak bisa menyangkal. Jadi, tidak perlu tes DNA, tetapi Eddy akan berbuat sesuatu untuk anaknya yang tersayang. Semoga. *** (George da silva)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar