Senin, 16 Mei 2011

Sosok M Romadhony dari Malang, Peduli Lingkungan dan Unik Burung Gagak Bisa “Ngoceh”

SOSOK M ROMADHONY yang peduli lingkungan, setelah bumi kita digerogot oleh tangan-tangan manusia yang sudah tak bersahabat dan peduli kebaradaannya. Jika, bumi ini dipenuhi dengan sampah-sampah yang tidak bisa terurai, hutan ditebang dan digunduli seenaknya oleh Pengusaha Hutan. Siapakah yang peduli akan hal ini. Ada hanya beberapa orang yang bisa “dihitung dengan jari”. Sosok Dhony panggilan akrabnya, yang peduli terhadap bumi kita yang sudah gersang, pada Hari Bumi tanggal 24 April lalu, menggerakkan teman-teman wartawan dan pemerhati/peduli lingkungan bertempat di Balai Kota Malang, bersama puterinya Vyoni menyerahkan 1.000 burung berbagai jenis sebagai simbol perdamaian dan 1.250 anakan/bibit pohon kepada Walikota Malang, Drs Peni Suparto, MAP. Di kediamannya ada sekitar 55 ekor burung dari berbagai jenis, termasuk burung langkah Gagak Gaok (Raja) Hitam yang pandai mengoceh, membuat teman-teman wartawan dari media cetak dan eletronik (televisi) berlomba-lomba memberitakan/menyiarkan di masing-masing surat kabar dan televisi nasional/daerah.

Ceritera Dhony, dari sekian burung yang menjadi peliharaannya, satu termasuk unik/langkah yaitu; Burung Gagak Hitam, yang bisa meniru ucapan beberapa kata diantaranya, Allah, Asoi, Hallo Cewek, meniru ayam yang mau bertelor, ayam jago, rombengan, suara kucing berantam, suara bayi menangis, dan suara ketawa..ha…ha…ha…”Saya dapat burung ini, tiga tahun lalu dari salah seorang kawan di Banyuwangi, Jawa Timur. Saya tukar dengan sebuah mobil Sedan Timor seharga Rp 40 juta,” berkisah Dony, yang memperisterikan Yino Vianis pengusaha batik, dan telah mempersembahkan dua orang anak yaitu; Brain, dan si bungsu Vyoni beralamat di Jl Simpang Sukun No 6, Kota Malang.

Diakui oleh Dony, tidak sulit memeliharan seekor Gagak, karena ada perawat burung dan penangkapan burung Pak Galik (51). Jika, pagi diberi makan buah-buahan, roti dan sore hari ayam goreng. “Sebenarnya nama Gagak itu “Acong”, tetapi wartawan televisi nasional/lokal ke rumah dan memberi nama “Si Ambon” karena warnanya hitam, maka namanya berubah. Untuk nama tidak ada masalah, apalagi diberi nama oleh teman-teman wartawan. Saya setuju aja,” kata Dony, yang juga pengusaha batu permata, menurutnya ada keluarga dari Gus Dur, bernama Gus Tomi dari Surabaya yang bermalam di rumahnya tertarik dan menawarkan harga Rp 100 juta, tetapi ia nggak mau melepaskan.

Ketika ditanyakan berapa harga yang pantas untuk seekor Gagak Hitam, jawabnya dengan ketawa terbahak-beahak yah…kalau Rp 1 miliar akan dijual. “Tentunya, saya melepaskan kepada orang yang saya lihat peduli terhadap hewan/burung, tidak sembarang melepaskan kemudian orang perjualbelikan. Lebih baik saya pelihara sampai burung itu mati….” ujar Dony, yang mempunyai toko butik/batik di Gajah Mada Plaza Lt 1 Blok A-9, Kota Malang, Wita Fashion Jl Panglima Sudirman No 78 Turen, dan Jl Ahmad Yani No 8 Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, biaya untuk pemeliharaan dan peduli lingkungan adalah dari hasil penjualan batu permata.

Tanpa Unsur Mistik

Dijelasakan Dony, pemeliharaan Gagak Hitam ini tanpa ada unsur mistik atau dikaitkan dengan magic. “Burung ini, dipelihara sejak kecil bersama jenis burung yang lain, sehingga diajar untuk ngoceh dan berulangkali dilatih oleh si perawat. Saya serahkan kepada si perawat, sebelum mulai ngoceh dipelihara di rumahnya, setelah sudah pandai berbicara saya pelihara dalam penangkarnya. Itu, hanya kebiasaan masyarakat dikaitkan dengan mistik saja,” ungkap Dony, itu hanya kebiasaan masyarakat, sementara berceritera burung berbagai jenis hinggap di pundak sedang menari-nari dan mencium Dony dengan penuh kemanjaan.

Menurut Dony, kalau burung sejak kecil kita sayang, merawat, berlatih, dan manja kepadanya dan memberikan yang terbaik kepadanya, tentu ia akan juga bermanja-manja kepada kita. “Biaya perawatannya dan makanan perhari sekitar 55 ekor burung sekitar Rp 50 ribu, dan kepada perawatnya per shiff pagi/siang ada yang Rp 15 ribu, dan 25 ribu per hari,” tutur Dony, dari halaman rumah, serambi rumah, ruang tamu, ruang makan, dapur, lorong kamar mandi berjejal dengan berbagai jenis burung, dan ruang khusus adalah burung yang berprestasi untuk ikut lomba, sering memperoleh juara nasional, dan daerah Kota Malang yaitu burung Anis Merak, Cicak Hijau, dan Kacer.
Dikatakan Dony, sejak berumur di sekolah SD tahun 1984 lalu sudah berkecimpung dengan berbagai burung dan lingkungan. “Motifasinya memelihara burung, pertama untuk investasi/dijual, dan kedua hobby dan sayang kepada burung-burung. Ada jenis burung yang akan dijual setelah pandai mengoceh, dengan harga Rp 250 ribu sampai dengan jutaan, tergantung dari jenis burung dan tingkat kepandaiannya,” ujar Dony, yang juga Koodinasi Wartawan AREMA (Malang Raya) ada dua ekor jenis burung Raja Wali, di peliharanya jika sudah bisa terbang sendiri dan mencari makan sendiri, akan dilepaskan ke alam bebas yang diskasikan oleh Walikota Malang.

Dikawatirkan, sewaktu-waktu Badan Konservasi Satwa dan Alam (BKSA) datang menyita dan membawa dengan alasan burung langkah dan harus dirawat di BKSA. “Saya khawatir seperti Tole Orang Hutang yang dipelihara oleh warga Kota Malang, setelah diambil oleh BKSA, ternyata mereka tidak bisa merawat dan mati. Juga, untuk Raja Wali ini, jangan seperti Tole, daripada BKSA yang memlihara, biarkan saja saya merawat dan memelihara, karena semua burung ini dipelihara di depan rumah,” harap Dony, bila pagi atau sore hari ibu-ibu sambil menggedong bayi/anak menyuap makanan, menikmati berkicaunya burung-burung ini dan kalau subuh dan jam 2 siang rame-rame berkicau memekik anak telinga, tetapi lingkungan senang seperti suasana di alam terbuka. (ris/ger)

M Romadhony Pedagang Batu Permata, yang Peduli Lingkungan

HAMPIR DI SETIAP SAAT atau pada kesempatan apa saja, bila kita berjumpa dengan orang-orang yang memakai permata hiasan berupa “batu permata” dalam bentuk cincin untuk para pria dan dalam bentuk kalung, gelang atau pun giwang untuk wanita. Mereka yang memakai batu permata tertentu secara cermat dan hati-hati, karena mereka telah mengetahui bahwa bentuk batu permata yang berkualitas prima itu. Memang pantas untuk dihargai sebagai suatu karya seni, sehingga mungkin mereka telah membayar dengan harga yang cukup mahal atau tinggi. Menurut M Romadhony, harga sebuah batu permata relatif harganya, mungkin mereka membeli dan memakai hanya karena kebiasaan tanpa mengetahui dengan pasti tentang karekteristik, mutu atau nilai estetikanya. Tetapi, bagi mereka yang sudah mengetahui akan mengejar batu permata, kalau sudah cocok dengan warna, serat dan kandungannya, kilap dan kilau, efek pantulan cahaya, kadar kekerasan, dan kadar berat jenisnya pasti memburu dengan harga yang pantas akan dibelinya.

Dony panggilan akrabnya, yang juga seorang wartawan ini, sudah 15 tahun bergelut dengan penjualan “batu permata” dari berbagai jenis. “Di Indonesia ada tiga jenis batu permata yaitu; Berlian/Intan dari Kalimantan, Akik dari Jawa, dan Opal/Kalimaya (Banten). Ada lagi jenis batu permatan seperti; Bluesafir, Zamrud, , Mirahruby, Opal/Kalimaya, Cat Eyes (Mata Kucing), semuanya merupakan barang dagangannya,” ungkap Dony, yang ia beli dari luar negeri Iran, Srilangka, dan Banglades.

Dony biasanya mengikuti pameran di hotel-hotel berbintang seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. “Konsumen saya ada yang dari Batam, Riau, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Singapura, dan Malaysia. Sudah bertahun-tahun menekuni bisnis “batu permata” ini. Harga setiap jenis batu permata berkisar dari Rp 2 juta sampai miliar,” tutur Dony, yang peduli lingkungan pada Hari Bumi 24 April lalu, bersama putrinya Vyoni memberikan 1.000 burung berbagai jenis, dan 1.250 anakan/bibit berbagai pohon secara simbolis kepada Walikota Malang, Drs Peni Suparto, MAP di Balai Kota Malang.

Kota-kota besar di Indonesia, kata Dony biasanya dijumpai tempat-tempat tertentu menjadi pusatnya bursa perdagangan batu permata seperti Pasar Rawabening di Jakarta, sepanjang jalan Senopati di Yogjakarta, di Malang sepanjang jalan Majapahit atau di emperan tokok-toko di Kayutangan Kota Malang, serta pasar-pasar tradisional berkumpulnya ajang komunitas batu permata. Mereka itu, bisa terdiri dari penggemar, pedagang dan perajin untuk saling melakukan transaksi jual-beli, tukar menukar atau mengasah batu mentah menjadi batu permata. Kadang sekadar hanya mengobrol tentang berbagai pengalaman seputar batu permata, sambil melihat-lihat barangkali ada barang baru yang menarik perhatian, Jadi, beragam kedatangan mereka di tempat bursa batu permata yang ada di kota-kota besar.

Keindahannya

Dony yang hobby memelihara burung sekitar 55 ekor berbagai jenis dan unik seekor Gagak Gaok (Raja) Hitam yang pandai bercoleteh seperti burung beo, mengatakan kriteria batu permata yaitu dari keras, langka dan keindahannya. Kelihatan dari keindahannya merupakan daya tarik yang paling dominan. Hal ini, karena keindahan itu adalah sesuatu yang bisa di lihat, dimengerti, dirasakan, bahkan dinikmati hampir semua orang, tanpa kita harus bersusah payah untuk mempelajarinya. “Sebaliknya untuk bisa membedakan batu yang “keras” dan mana yang “lunak”, kita harus belajar terlebih dahulu dengan bertanya atau cara membandingkan. Begitu juga “langka” bentuk batu permata intan nan indah bukanlah barang langka kalau ukurannya di bawah satu karat, baru bisa dibilang langka kalau ukuran beratnya di atas 10 karat,” ceritera Dony, yang memilihara di rumahnya Gagak Hitam yang pandai mengoceh kata-kata seperti Alla, Hallo Cewek, suara seperti ayam yang mau bertelor, ayam jago, suara kucing berantam, suara bayi menangis, ketawa, dan rombengan, yang diperoleh dari temannya di Banyuwangi, Jawa Timur tiga tahun yang lalu seharga Rp 40 juta ditukar dengan sebuah mobil Sedan Timor.
Dikatakan Dony, keindahan berbagai batu permata, jika mengamati, mencermati dan menikmatinya sungguh amat sangat menakjubkan ragamnya. “Mulai dari warna, kalau kita menganggumi merahnya mawar, putihnya salju, biru laut, dan hijaunya rimba-belantara. Semuanya itu, kita bisa temui pada batu permata. Juga sering kita terpesona eloknya pelangi di langit, atau kemilaunya setetes embun di ujung daun sesaat tertimpa cahaya matahari pagi,” ungkap Dony, semua itu pun bisa dinikmati lewat pantulan warna pada batu labradorit dan kilaunya sebentuk intan berlian.

Menurut Dony, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, jika telah meilihat batu permata. “Kita bisa merenungi lembutnya sinar rembulan lewat pancaran cahaya biduri bulan, merasakan sejuknya kuarsa es yang tak kunjung cair. Belum lagi, bila kita berbicara tentang batu berbintang, bahkan bermata kucing, atau seorang pencinta seni rupa. Mau lukisan panorama alam atau flora dan fauna, atau gambar tokoh-tokoh idola, apalagi lukisan abstrak dijamin batu permata gambar mampu menawarkan sejuta pilihan,” ujar Dony, yang mempersuntingkan isterinya Yino Vianis yang juga pengusaha batik, telah memberikan dua orang anak Brain, dan si bungsu Vyoni.
Batu permata di lihat dari segi ukuran harga alias komersialnya, telah memiliki parameternya sendiri. Seperti patokan yang umum digunakan dalam menafsir harga ditentukan oleh, warna, kebeningan, kebersihan, keutuhan, timbangan, garapan, kelangkaan dan faktor “X keterpikatan dari yang melihat. Warna, menjadi ukuran pertama dalam kita menaksir harganya, warna merah yang mendarah pada rubi, hijau yang royo-royo pada Zamrud, dan biru yang syahdu pada Safir adalah beberapa istilah yang lazim dipergunakan untuk menilai kedalaman atau intensitas warna suatu jenis permata.

Kebeningan dan jernih selalu akan lebih disukai ketimbang sesuatu yang keruh. “Sering beberapa jenis batu translusan dan opak terkadang memiliki keunikan tersendiri, tetapi yang bening akan memiliki kesan lebih bagus seperti ungkapan “betapa bening bola matanya” atau “tutur katanya sebening suara hatinya”, kadang merah jingga sebiji karnelian yang translusan bisa membuat kita terpakau seolah pengin mengulumnya,” urai Dony, kita bisa sejajarkan dengan merah darahnya rubi transparan yang bening-kempling, mengatakan harga Burung Gagak Hitamnya yang diberi nama “Ambon” oleh teman-teman wartawan cetak/elektronik (televisi) ingin dibeli keluarga Gus Dur, yaitu Gus Tomi dari Surabaya seharga Rp 100 juta, tetapi menolaknya, jika ingin membeli seharga Rp 1 miliar, akan dilepaskannya tetapi kepada orang yang benar-benar mencintai burung, bukan untuk diperjualbelikan lagi.

Selanjuntnya dijelaskan Dony, kriteria yang lain adalah kebersihan dituntut pada bahan batu yang transparan. Karena ada yang kotor atau bercak-bercak di dalam tubuhnya jelas akan menghambat kilau cahaya yang dipancarkan. “Tetapi, uniknya pada batu permata adalah bercak-becak atau kotoran tersebut bila berujud gurat-gurat pada permukaan batu pirus, apalagi bila gurantannya berwarna kuning-keemasan, justeru akan berlipatganda harganya,” harap Dony, memiliki koleksi Batu Bergambar Semar yang sudah ditawarkan Permadi mantan anggota DPR dari PDI-P, yang kini sudah hijarah ke Partai Gerinda seharga Rp 250 juta, tetapi Dony mau menjual dengan harga Rp 1 miliar.

Sedangkan keutuhan pada batu permata, kata Dony memang sanagat berpengaruh terhadap keindahan, dan tentu saja nilai harganya. “Terlepas dari adanya kepercayaan bahwa batu permata yang retak itu tidak baik “angsar” atau pun mengaruhnya, atau juga batu yang retak tentu akan lebih rentan untuk pecah. Hal ini, jelas bisa dijadikan alasan yang logis untuk mereduksi jumlah rupiahnya. Sementara kelangkaan memang cukup relevan kalau dipakai sebagai patokan harga batu permata, walau pun juga beberapa jenis mineral batu tertentu yang sangat langka. Tetapi tidak didukung oleh keindahannya, justeru dinilai murah,” alasan Dony, kelangkaan ini lebih pas pada batu-batu mulia berukuran besar, khususnya intan, rubi, safir, zamrud dan krisolberil aleksandrit atau mata kucing yang langka juga eksotis penampilannya. (ris).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar