Senin, 16 Mei 2011

Pengambilalihan Empat Mata Pelajaran oleh Kemdiknas, Pendidikan Pancasila

ADA DUA ISU mengenai kurikulum mutakhir. Pertama, penghapusan pendidikan Pancasila. Kedua, pengambilalihan empat mata pelajaran oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Pendidikan Pancasila dihapus dan semua yang berkenaan dengan Pancasila ditumpukan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selanjutnya, Kemdiknas akan mengambil alih empat mata pelajaran yaitu, Agama, PKn, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Pengambilalihan ini, didasarkan atas pertimbangan bahwa empat mata pelajaran tersebut memiliki ikatan secara nasional.

Mengenai penghapusan mata pelajaran pendidikan Pancasila, sejumlah guru mengatakan, kini sangat sulit menanamkan nila-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan toleransi beragama kepada murid-murid. Lalu mengenai mata pelajaran PKn, Kepala SMA 1 Lawa, Muna, Sulawesi Tenggara, La Ose menyatakan “Materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Sedikit peluang penanaman nilai dan pembentukan moral anak”.

Wacana penghapusan pendidikan Pancasila memang bersifat responsif, sehingga perlu dihargai. Responsif antara lain, karena masalah toleransi beragama, kekerasan, dan terorisme mengemuka. Juga reposnsif, karena pendidikan Pancasila menggugat ingatan kita pada Orde Baru, sebuah orde yang menggunakan Pancasila sebagai penguatan dan pelanggengan hegomini para penguasa waktu itu. Penataran P-4 sebagai kepanjangan tangan pendidikan Pancasila, dengan alasan sama, juga menghidupkan kembali trauma masa lalu.

Beberapa waktu lalu, wacana pendidikan budi pekerti pun mengemuka. Ini, juga bersifat responsif, karena dirasakan dekadensi nilai-nilai etika dan kesopanan makin memprihatinkan. Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan perjalanan keliling ke berbagai daerah untuk menggali informasi dan aspirasi mengenai korupsi serta mengadakan kerjasama lebih erat dengan berbagai lembaga, antara lain perguruan tinggi dan pesantren. Dalam kunjungan itu, timbul pula wacana hendaknya masalah korupsi dimasukkan ke dalam kurikulum. Wacana ini, juga responsif dan karena itu perlu dihargai pula.

Gudang Wacana

Kurikulum tampaknya selalu dijadikan tumpuan limbah wacana. Karena itu, jangan heran jika kurikulum mulai tingkat paling rendah sampai paling tinggi dipenuhui oleh wacana yang muncul, karena keprihatinan masyarakat. Akibatnya, apabila rancangan kurikulum tidak selektif, kurikulum bisa menggelembung. Anak SD harus memanggul buku seberat 14 kilo gram (penjelasan pakar pendidikan, Anita Lie) dan untuk mencapai S-1 seorang mahasiswa harus mengambil sekitar 40 mata kuliah adalah contoh penggelembungan kurikulum.

Coba tengok buku pelajaran Bahasa Inggris tahun 1980-an terbitan Balai Pustaka. Buku ini, tebal luar bisa. Muatanya bagaikan isi tong sampah. Masalah lingkungan hidup, kependudukan, keluarga berencana, nilai-nila Pancasila, dan masih banyak lagi dimasukkan. Masalah tersebut dimasukkan bukan karena kehendak penyusun buku, melainkan karena departemen-departemen yang bersangkutan meminta supaya kepentingan mereka dimasukkan. Akibatnya, buka tidak bisa dipakai. Alokasi waktu dalam kurikulum tak mungkin memenuhi tuntutan buku pelajaran. Bukan hanya itu, konsentrasi guru dan siswa dalam mempelajari Bahasa Inggris, juga kurang bias fokus.

Apatisme

Tengolah kisah nyata ini. Ada sebuah penataran mengenai lingkungan hidup. Penatarnya hebat-hebat, petatarnya juga hebat-hebat. Begitu banyak bahan dijejalkan selama penataran. Akibatnya, lahirlah kejenuhan. Kelanjutan kejenuhan tidak lain adalah apatisme. Keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan bukan semata-mata ranah koginitif, tetapi juga dan inilah yang penting rana efektif dan ranah psikomotor. Ranah kognisi menyebabkan kita mengenal hakikat pentingnya peran lingkungan, ranah afeksi menggiring kita mencintai lingkungan hidup dan ranah psikomotor mendorong kita melaksanakan kecintaan itu.

Lalu, apa yang terjadi? Dalam kunjungan ke beberapa instansi, seorang peserta dengan gaya cuek merokok. Tiba-tiba rombongan pembesar masuk ke ruangan. Mungkin karena agak tergesa-gesa, peserta yang sedang merokok ini jatuhkan rokoknya ke lantai, lalu memadamkan apinya dengan menggilas-gilas sisa rokok dengan sepatunya. Perbuatan ini, tentu justeru bersifat anti lingkungan, jenuh, apatis.

Kegagalan pendidikan selama ini terjadi, karena titik berat pendidikan bergeser dari pendidikan menjadi pengajaran. Ranah kognisi terlalu dimanjakan, ranah afeksi serta ranah psikomotor diabaikan. Karena itu, andai kata semua wacana di atas diakomodasikan dalam kurikulum, hasil pendidikan akan tetap kurang maksimal. Masalah budi pekerti, kewarganegaraan, pemberantasan korupsi, dan apa pun akhirnya menjadi bahan hafalan. Meski pun suara mereka (baca: para guru) kurang manyaring, kalau turun ke lapangan, kita akan tahu keluhan lain: alokasi waktu untuk mata pelajaran Sejarah dirasakan sangat kurang. Tentu, kita semua bersetuju, nilai-nilai penghargaan kepada para pendahulu dan nilai-nilai nasionalisme bisa pula dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah.

Namun bila semua tuntutan itu, dipenuhi dan semua wacana dimasukkan ke dalam kurikulum, mau tidak mau penggelembungan kurikulum tidak mungkin dihindari. Karena itu, sangat menggembirakan ketika dalam membincangkan masalah budi pekerti adalah semacan konsensus di antara para pemangku kepentingan untuk tidak menciptakan budi pekerti sebagai mata pelajaran tersendiri, tetapi mengintegrasikannya dalam mata pelajaran- mata pelajaran lain.

Hegemoni

Pendapat bahwa pada zaman Ored Baru pendidikan Pancasila, termasuk penataran P4-nya, adalah usaha untuk melanggengkan dan memperkokohkan kekuasan penguasa adalah benar. Dengan bersenjatakan Pancasila, penguasa melanggengkan hegemoni mereka dengan cara, yang kalau disimak mirip dengan teori Hegomoni Gramsci.

Orang-orang lapisan atas, para kroni dan saudara serta keluarga elite penguasa dirangkul. Mereka diberi lisensi perdagangan yang amat berlebihan, hak monopoli, dan lain-lain. Praktek semacam ini, adalah salah satu praksis terori Hegemoni Gramsci. Setelah Orde Baru berlalu, paraktek hegomoni tetap dilanggengkan. Partai dijadikan semacam kerajaan dengan sistim dinasti, kroni diberi kekuasaan, dan lain-lain. Hal itu tidak lain, merupakan praktek hegemoni pula.

Dalam buku Culture and Anarchy, Matthew Arnold menyatakan bahwa apabila pengelolaan kebudayaan diserahkan kepada kelas bawah, mau tidak mau akan timbul anarki. Namun, bagaimanakah kalau anarki itu justeru oleh elit politik dan pejabat? Mampukah kurikulum menghapus mental penciptaan anarki apabila sebetulnya rakyat hanyalah meniru contoh yang dilakukan oleh para penguasa?

BUDI DARMA
Sastrawan; Rektor IKIP Surabaya 1984-1888 (Kini Universitas Negeri Surabaya)

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus