Selasa, 03 Mei 2011

DPRD Kabupaten Malang Menggunakan Hak Interpelasi, Pesona Nongertakan Ibarat “Senjata Tanpa Peluru”

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) Kabupaten Malang menggunakan hak interpelasinya meminta keterangan kepada kepala daerah (Bupati Malang) terkait masalah Vacum of Power (kekosongan kekuasaan). Hal ini, karena Bupati Malang, H Rendra Kresna meninggalkan Malang selama tiga minggu untuk mengikuti pembekalan kepala daerah di Jakarta dan Wakil Bupati Malang, H Ahmad Subhan meninggalkan tanah air selama 15 hari ke Umroh Haji di Mekah. Hampir bersamaan keduanya meninggalkan Kabupaten Malang, 21 Maret Rendra ke Jakarta, dan Subhan 24 Maret ke Mekah. Hal ini, dinilai para sebagian anggota DPRD terjadinya kekosongan kekuasaan, sehingga pada tanggal 27 April sebanyak 29 anggota dari Fraksi PDI-P, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura Gerakan Nasional, minus Fraksi Golkar, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Keadilan Kesejahteraan sebagai pendukung Rendra dan Subhan dalam rapat paripurna menyetujui menggunakan hak interpelasi. Hak interpelasi yang digunakan hanya bersifat “Pesona Nongertakan” atau ibarat “Senjata Tanpa Peluru”, hanya dipakai untuk gagah-gagah, dan menakut-nakuti bupati, tetapi tak dapat mengeluarkan peluru untuk menembak sasaran, sehingga mematikan.

Mengapa ibrat senjata tampa peluru, karena para anggota DPRD salah membidik, dengan mengangkat kasus “kekosongan kekuasaan” yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan kalangan sebagian anggota DPRD. Atau ini, sebagai pintu masuk (entry), sebagai trik-trik untuk lebih mempersatukan Rendra dan Subhan dalam memimpin Kabupaten Malang lima tahun ke depan. Karena, setelah tiga bulan dilantik menjadi bupati dan wakil bupati (26 Oktober 2010), timbul riak-riak perpecahaan yang sudah diakumulasi disampaikan Rendra secara terbuka ketika pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan pejabat struktural eselon II, III, dan IV di lingkungan Pemerintah Kabupaten Malang di Pendopo Agung, Kabupaten Malang, awal Januari 2011 lalu.

Walau pun kalangan DPRD sudah mengetahui bahwa senjata “hak interpelasi” itu, tidak akan mempan untuk menjatuhkan bupati, tetapi seolah-olah terpaksa digunakan kesempatan Rendra dan Subhan tidak berada di tempat untuk waktu yang cukup lama. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD dapat menjatuhkan bupati, karena UU itu memberi kekuasan, kewenangan yang sangat kuat bagi DPRD. Tetapi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD tidak bisa menjatuhkan bupati/walikota/gubernur. Senjata “hak interpelasi” itu tidak pernah akan meletus, karena tak ada satu pun peluru di dalamnya. Maka, DPRD ibarat “macan ompong”, yang hanya diberikan hak, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa dengan hak tersebut.

DPRD dalam melaksanakan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagai wakil rakyat Kabupaten Malang yang duduk dilegislatif harus mampu mengejawantahkan nilai-nilai dalam kehidupan demokrasi dan dalam kehidupan ketatanegaraan. Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaran pemerintah daerah, maka perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama pemerintah daerah yang diharapkan mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 40 mengamanatkan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai “unsur” penyelenggaran pemerintahan daerah. Berarti DPRD adalah bagian dari penyelenggaraan pemerintah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah.

Kita semua pernah merasakan, termasuk anggota DPRD masa-masa yang sulit untuk berbicara bebas mengkritik pemerintah pusat mau pun pemerintah daerah, sehingga kalangan anggota DPRD tahu betul menghargai kebebasan yang diraih dalam reformasi tahun 1998. Tanpa DPRD, Pemerintah Daerah kita ini, bukanlah pemerintah yang baik. Oleh karena itu, kritiklah pemerintah supaya pemerintah menjadi lebih kuat, tetapi kritik kepada pemerintah dengan segala argumentasi yang dapat diterima secara logika, prosedur, etika politik dan etika birokrasi. DPRD sekarang mengalami banyak perubahan. DPRD bebas berbicara, karena berada dalam kondisi masyarakat yang sangat demokratis. Kebebasan yang diraih oleh DPRD saat ini, tidak terlepas dari perjuangan seluruh elemen masyarakat yang menumbangkan Rezim Orde Baru. Reformasi politik yang diraih dan pemerintahan tahun 1998 tidak dapat dengan mudah. Maka, demokrasi yang sudah berjalan harus disyukuri dan ditingkatkan kualitas dari anggota dewan. Demokrasi itu, harus bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, mencerdasakan rakyat dan persatuan bangsa.

UU No 32, Pasal 43 menyatakan DPRD mempunyai hak, 1) interpelasi, 2) angket, dan 3) menyatakan pendapat. Hal yang sama diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 11 yang mengatur tentang tata cara atau proses hak Interpelasi digunakan DPRD. Berbeda dengan anggota DPRD mempunyai hak yang diatur oleh Pasal 10. Sebaliknya, pemerintah daerah memiliki peran yang sangat kuat dalam menjaga kepentingan nasional dan daerah, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif di daerahnya. Oleh karena itu, penyelenggaran pemerintahan daerah termasuk DPRD harus mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Memang UU No 32 Tahun 2004 menempatkan posisi gubernur selaku kepala daerah provinsi, sekaligus berkedudukan sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.

Perbedaan dalam memahami pola hubungan antar kedua pemerintahan di daerah, cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Peran gubernur sebagai wakil pemerintah diperlukan agar dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik antar DPRD dan Bupati/Walikota atau antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Gubernur mempunyai tugas antara lain, mengkoordinir penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan membina serta mengawasi penyelenggaraan pemerintah di daerah. Jika, masalah kekosongan kekuasaan ini benar terbukti, kiranya gubernur dapat mengawasi dan membina agar jangan terulang kembali. Bila terulang kembali, gubernur dapat memberikan sanksi.

Hak Interpelasi

Hak Interpelasi, adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah (bupati/walikota/gubernur) mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara. Sedangkan Hak Angket adalah pelaksanaan pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Serta Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Masyarakat Kabupaten Malang bertanya mengapa anggota DPRD Kabupaten Malang menggunakan hak angket, padahal selama bupati berada di Jakarta tidak pernah melakukan kebijakan yang penting dan strategis berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara. Di zaman serba kecanggihan teknologi, walau pun bupati tidak berada di Malang sedang mengikuti pembekalan di Jakarta dapat berkomunikasi setiap saat, untuk seluruh proses pemerintahan dikendalikan oleh Bupati Rendra. Apalagi pekerjaan yang bersifat teknis sehari-hari dilakukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasi dinas daerah dan lembaga teknis. Selain itu, dalam tugasnya seorang Sekda bertanggung jawab kepada kepala daerah (bupati/walikota/gubernur) dan Sekda kedudukannya sebagai pembina Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah, sanggup untuk mengkoordinir segala permasalahan, bila kepala daerahi tidak berada di tempat.

Sebagai contoh; seorang bupati yang tersangkut kasus korupsi dan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Polisi di Jakarta, Surabaya atau di luar wilayah daerah tersebut, tetapi bupati masih tetap mengendalikan pemerintahan baik melalui telepon atau secara rutin para pejabat datang ke Rutam untuk berkonsultasi atau menandatangani surat-surat penting, dan mengambil sesuatu kebijakan. Hal ini, dilakukan oleh bupati sebelum keluarnya keputusan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dinonaktifkan dari jabatan bupati. Atau pada saat yang sama Bupati Rendra ke Surabaya, dan Wakil Bupati ke Kota Batu, apakah terjadi kekosongan kekuasaan. Secara birokrasi dan ketatanegaraan sebenarnya tidak terjadi kekosongan kekuasaan, karena masih bisa ditangani oleh Sekda dan para Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), itu pun bukan mengambil kebijakan, tetapi pekerjaan rutin.

Bupati Dapat Mendelegasikan

DPRD sebelum mengirimkan “hak interpelasi” kepada kepala daerah harus disertai dokumen yang memuat sekurang-kurangnya menyangkut materi kebijakan dan atau pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang akan diminta keterangan, serta alasan permintaan keterangan. Dalam PP No 16 Tahun 2010, Pasal 13, Ayat (1) kepala daerah dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap permintaan keterangan DPRD dalam rapat paripurna, dan Ayat (2) apabila kepala daerah tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis, kepala daerah menugaskan pejabat terkait untuk mewakilinya.

UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 26, wakil kepala daerah mempunyai tugas antara lain; memberi saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah, melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan oleh kepala daerah, dan dalam melaksanakan tugas wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah. Tugas wakil bupati secara normatif telah diatur dalam UU, tetapi tugas insidensil bupati bisa memberikan tugas kepada wakil bupati.
Contoh; Rendra harus mengkuti pembekalan di Jakarta, maka dalam rapat paripurna telah memberikan pendelegasian kepada Subhan (21 Maret) untuk membaca tanggapan dari fraksi-fraksi di DPRD Kabupaten Malang tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati Malang 2010 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015, dan sudah dilaksanakan oleh Subhan. Juga, ketika Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Malang untuk tahun 2012 yang diselenggarakan di Pendopo Agung (31 Maret), Rendra meminta izin untuk hadir dan sekaligus memberi pengarahan.

Jadi, dalam hal ini bupati dapat mendelegasikan kepada salah satu pejabat, apakah itu wakil bupati, Sekda, atau seorang SKPD yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam “hak interpelasi”. Apabila bupati tidak hadir, maka DPRD bisa “gigit jari”, karena sasaran atau bidikan adalah bupati. Bila kehadiran bupati dalam paripurna itu, semata-mata hanya menjaga hubungan baik pemerintah dan DPRD ke depan untuk membangun Kabupaten Malang yang lebih baik sesuai dengan RPJMD 2010-2015 yang adalah pengembangan visi, misi Kabupaten Malang.

Kita bisa memetik hikmah dari “hak interpelasi” ini, walau pun hanya sebagai senjata menggertakan kepala daerah. Sebagai suatu pembelajaran bagi kalangan DPRD dalam menggunakan hak tersebut, dan bupati/wakil bupati dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Agar bupati/wakil bupati lain kali, jangan meninggalkan daerah secara bersamaan. Selain itu “hak interpelasi” ini, sebagai alat pemersatu Rendra dan Subhan, agar ada kekeliruan yang dilaksanakan Subhan, maka Rendra dapat memanggilnya untuk bicara empat mata dalam ruangan kerja yang tertutup, tetapi jangan bicara di Pendodpo Agung di lihat banyak orang. Hal ini, bisa lawan politik Rendra-Subhan memakai sebagai senjata untuk menyerang, dan pihak lain yang mengais keuntungan dari perpecahan Rendra-Subhan. Semoga “hak interpelasi” ini dan hak-hak lainnya, yang terakhir digunakan oleh DPRD dalam lima tahun ke depan. Mari, pemerintahan dan rakyat membangun Kabupaten Malang secara bersama-sama demi anak cucu kita. Semoga. (George da Silva)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar