Rabu, 18 Mei 2011

78 Persen Daerah Baru Dinilai Gagal Konsistensi Otonomi

PERGESERAN PEMERINTAH ke arah desentralisasi di Indonesia saat ini telah berlangsung 12 tahun. Bahkan, jika ditarik hingga 1903, Bangsa Indonesia sebenarnya telah menerapkan desentralisasi 109 tahun meski perkembangannya naik-turun. Pada 26 April juga berlangsung semacam “peringatan” pelaksanaan otonomi daerah oleh Kementerian Dalam Negeri dengan mengumumkan kinerja daerah otonomi baru. Ada 78 persen daerah baru yang dinilai gagal oleh pemerintah sungguh mengejutkan. Ini, perlu dikaji dan dicari solusinya.

Kenyataan menunjukkan, masih ada persoalan kesejahteraan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan daya dukung lingkungan di daerah dan ini telah mewarnai kebijakan desentralisasi. Di era reformasi, baik sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mau pun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah-terjadi kesimpangsiuran instrumen pemerintahan, karena pergeseran sistem desentralisasi.

Pergeseran sistem ini, tak sistemik mengadaptasi ke bangunan NKRI, sehingga menghasilkan sistem otonomi dan pemerintahan daerah yang rawan penyalahgunaan. Celakanya paraktek seperti ini, memiliki dasar hukum pada level implementasi. Terjadilah gap antara konsep instrumen pemerintah dan aturan main yang dibuat dalam implementasinya (malapraktek).

Mazhab Desentralisasi

Secara konsepsional ada dua mazhab desentralisasi sebagai instrumen pemerintah dalam bernegara: mazhab Eropa-Kontinental dan Anglo-Saxon (Hoesein, 1993). Mazhab Eropa-Kontinental mengakui desentralisasi secara tegas, berbeda dengan konsep dekonsentrasi meski keduanya dibutuhkan negara penyelenggaraan desentralisasi. Mazhab Anglo-Saxon mengakui dekonsentrasi sebagai bagian desentralisasi. Mazhab ini, menyebut desentralisasi dengan kata devolusi.

Dalam mazhab Anglo-Saxon sebutan dekonsentrasi dilakukan dengan frase desentralisasi-administrasi, sedangkan devolusi dengan desentralisasi-politik. Sekarang ini, UNDP (Choen dan Peterson, 2005) merancukan pemahaman tersebut dengan menyebutkan bahwa istilah-istilah itu berbeda dengan konsepsi lama ditambah dengan desentralisasi-ekonomi dan fiskal.

Baik, mazhab Anglo-Saxon mau pun Euro-Kontinental memahami desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada aparatur di daerah. Jadi, wewenang perumusan kebijakan dan sumber keuangan tetap di pusat, sedangkan wewenang implementasi (sebenarnya) berada di tangan elemen pusat yang ditempatkan di sejumlah daerah. Tujuannya adalah pendekatan dan standarisasi pelayanan secara nasional. Sayang, dalam praktek terjadi ketidakkonsistenan dan kerancuan, karena politisasi elite politik.

Dana BOS sebagai contoh adalah dana dekonsentrasi yang diputuskan oleh elemen untuk sektor pendidikan. Dana ini, dikelolah sebagian oleh dan untuk daerah. Istilah dekonsentrasi di sini sangat mengacaukan. Model ini, mencontoh pola “vote” yang amat masyhur di Inggris, di mana jelas pengaturan teknis pertanggungjawaban dan alur-alurnya. Namun, di Indonesia ini amat mudah disalahgunakan terlebih adanya politisasi oleh elit lokal. Bahkan, dana ini dirancukan dengan instrumen tugas-pembantuan (medebewind).

Kerancuan Desain

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah contoh lain, dianggarkan untuk sektor atau fungsi tertentu di daerah. Daerah mengajukan proposal ke Kementerian Keuangan, dinilai oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Teknis. Namun, daerah harus menyanggupi sejumlah dana pancingan agar dana tersebut disetujui. Dalam konsep, desain semacam ini termasuk kategori mixed grant.

Dengan demikian, sebutan alokasi khusus (specific) tidak tepat, karena masih berpola specific grant tidak mensyaratkan adanya dana pancingan. Karena itu, frase alokasi khusus di belakang nama dana ini, dapat mengacaukan mekanisme pertanggungjawabannya. Gara-gara ambiguitas dalam pelaksanaan, terjadilah katebelece elit lokal dan nasional. Terjadi inefektivitas dan inefisiensi pelaksanaan kebijakan.

Maka, dalam hal ini perlu pengkajian pemahaman konsepsional. Explicit-knowledge yang telah lama ada harus menjadi acuan, karena Indonesia sudah menganut muzhab Eropa-Kontinental berabad lamanya. Jika, elemen demokrasi menjadi pemicu perubahan pemerintah, dimana desentralisasi diperkuat, seharusnya tidak dengan instrumen medebewind.

Presiden bertugas menjaga konsistensi ini, dengan dukungan birokrasinya terutama Kemendagri. Mereka harus bekerja keras menyusun desain, implementasi, dan mencari umpan balik. Jika konsisten, pemerintah nasional dan lokal dapat bekerja efektif, sehingga kegagalan daerah juga teratasi.

IRFAN RIDWAN MAKSUM
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI; Advisor Local Governance Watch UI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar