Kamis, 19 Mei 2011

Agamaku Adalah Milikku Membuat Merasa Kuat Memilikinya, Waisak dan Kebebasan

JIKA RUMAH milik orang lain yang tidak dikenal, yang lebih bagus dari rumah kita, terbakar, kita merasa sedih walau hanya sedikit. Akan tetapi, jika rumah kita yang sederhana itu terbakar, kesedihan dan kekecewaan kita berlarut-larut. Sulit terobati. Rumah sederhana yang telah berpuluh-puluh tahun memberi banyak manfaat pada keluarga kita, sehingga pikiran memilikinya begitu kuat adalah agama yang kita anut. Agama yang telah berpuluh-puluh tahun memberi banyak manfaat itu, membuat kita merasa amat kuat memilikinya. Agamaku adalah milikku!

Bisakah kita menggunakan rumah kita sebaik mungkin, merawat dengan baik, tetapi mewaspadai pikiran kita agar tak melekati erat-erat rumah tersebut? Semuanya tak kekal. Rumah bisa terbakar dan suatu saat kita pun meninggalkannya. Kalau kita menganut agama tanpa memiliki agama itu, apakah kita harus berdiam diri apabila agama yang kita anut dihina orang lain? Berusaha mewaspadai perasaan dan pikiran agar tidak marah, tidak membalas dengan hina dan tindakan kekerasan, adalah sikap yang sangat mulia. Kita berikan pengertian bahwa agama yang kita anut bukan seperti hujatan itu.

Demikian pula apabila orang lain memuji-muji agama yang kita anut, dengan kewaspadaan, kita tidak membiarkan perasaan dan pikiran kita menjadi congkak. Kebencian yang melahirkan balas dendam dan kecongkakan yang bersumber dari keserahkaan akan merugikan kita sendiri. Kedua sikap itu, sama sekali bukan perilaku hidup beragama.

Kita bisa mengharapkan orang lain berprilaku baik, jujur dan bertanggung jawab. Kita juga bisa menganjurkan perilaku terpuji itu, apalagi disertai memberikan keteladanan. Yang perlu diingat, kita tak bisa memaksa orang lain berbuat baik. Keinginan memaksa kebaikan adalah keserahkaan juga. Kebencian akan tumbuh kalau yang dipaksa ternyata tak mau mengikuti. Semua bersemi dari ke-aku-an (self-centredness) yang merupakan akar semua kejahatan dan unjungnya penderitaan.

Pada waktu Buddha Gautama mengutus 60 muridnya selama lima bulan setelah beliau mencapai Pencerahan Sempurna, beliau mengatakan, “Caratha bhikkhave carikam, bahujana hitaya bahujana sukhaya, lokanukampaya (Pergilah para biku berkelana, untuk kesejahteraan dan kebahagian banyak orang, demi kasih sayang kepada dunia ini)”.

Memang yang diutus waktu itu 60 biku, semuanya telah mencapai arahat (terbebas dari keserahkaan, kebenciaan, dan egoistis). Kebajikan arahat adalah ketulusan dalam berprilaku baik yang bersumber dari kebersihan hati. Namun, anjuran Buddha untuk pergi berkelana itu pun akan sampai kepada para biku yang masih belum bersih dari kotoran batin. Karena itu, Buddha Gautama tidak hanya menganjurkan murid berkelana demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang, tetapi juga menambah ungkapan lokanukampaya demi kasih sayang kepada dunia, yang harus dipahami sebagai kasih sayang ke seluruh kehidupan, termasuk memelihara lingkungan dengan baik.

Tanpa kasih sayang kepada dunia, seorang bisa memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Tanpa kasih sayang kepada semua kehidupan, seseorang akan terdorong melenyapkan orang lain yang dinilainya tak bermoral, jahat, dan melanggar ajaran agama. Kasih sayang menuntun kita menggunakan ketekunan dan ketulusan hati dalam mengajak orang lain jadi baik, dengan cara yang baik pula. Kehidupan, meski kecil dan lemah, sangat berharga. Kedamaian dan keharmonian bisa terwujud apabila akarnya adalah sikap mengharga semua kehidupan.

Bebas dari Ke-Aku-An

Bisakah kita beragama tanpa perlu merasa memiliki agama yang kita anut? Pikiran egoistis yang sangat halus dan licin mudah sekali menyusupi semua perilaku, termasuk perilaku baik. Buddha mengatakan, seseorang jadi mulia atau tercela di masyarakat bukan, karena keturunannya, melainkan perilakunya.

Banyaknya kekerasan, apalagi mengatasnamakan agama, membuat banyak orang tak bersoal lagi dengan agama yang dianut seseorang. Yang penting bagi masyarakat sekarang adalah orang yang tak berprilaku buruk, tak menyakiti atau membunuh orang lain, tak mengganggu, tak menipu, tak mencuri, dan tak korupsi. Orang yang tak berprilaku buruk, apa pun agamanya, sudah cukup baik bagi masyarakat, apalagi jika mereka berbuat kebajikan dengan menolong yang menderita, mau berkorban dengan ketulusan hati, bertanggung jawab atas pekerjaannya, bahkan melakukan hal-hal baik melebihi kewajibannya.

Siapa pun, jika berprilaku baik, mereka terpuji secara mulia. Kita tak perlu menanyakan apa agama yang dianut. Saat purnama di bulan Waisak lebih dari 2.500 tahun lalu, Siddarta membebaskan dirinya dari ke-aku-an yang merupakan akar keserakahan, kebencian, kejahatan, dan penderitaan. Peristiwa Pencerahaan Sempurna itu awal perjalanan 45 tahun Buddha Gautama mengajarkan dan memberikan keteladanan untuk selalu berprilaku baik; kebaikan yang bebas dari ke-aku-an. Selamat Merayakan Waisak 2.555.

SRI PANNYAVARO MAHATHERA
Kepala Sangha Theravada Indonesia; Vice President World Buddhist Sangha Council.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar