Rabu, 27 April 2011

Tubuh Anak Laki Lebih Pendek daripada Anak Perempuan, Masalah Gizi sebagai Beban Ganda

HASIL RISERT KESEHATAN DASAR 2010 mengungkapkan bahwa jumlah penderita gizi kurang/buruk di kalangan anak Balita mencapai 17 persen, sementara jumlah anak gemuk 14 persen. Inilah fenomena beban ganda yang kini dihadapi bangsa kita. Kondisi gizi masyarakat juga dibebani oleh persoalan anak pendek yang jumlahnya sepertiga anak Balita. Tubuh anak laki-laki usia lima tahun lebih pendek 6,7 senti meter (cm) dari standar anak perempuan kurang 7,3 cm dari tinggi seharusnya.
Meski persoalan gizi kurang disadari sebagai masalah multikompleks dengan penyebab mulai dari keterbatasan ekonomi, terkendalanya akses pangan, sosial-budaya, hingga kurangnya pengetahuan gizi faktor utama yang mendasari adalah kemiskinan. Masalah gizi kurang di Indonesia tak kunjung teratasi, karena program pengentasan orang miskin juga belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Potret kondisi konsumsi pangan bangsa kita masih mengkhawatirkan. Gambaran pola konsumsi pangan kita menunjukkan hanya karbohidrat dan lemak yang telah melebih persentase anjuran 100 persen. Yang masih sangat kurang dikonsumsi masyarakat adalah umbi-umbian (51,7 persen), pangan hewani (60,0 persen), kacang-kacangan (69,7 persen), dan lain-lain.
Pesoalan konsumsi pangan yang mengangkat aspek kualitas (keragaman) dan kuantitas dapat berdampak baru pada mutu kesehatan rakyat. Salah satu dari ketidakbermutuan konsumsi pangan ialah, jika masyarakat lebih mengandalkan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan kurang mengomsumsi pangan hewani. Konsumsi riil pangan hewani rata-rata orang Indonesia adalah 7-8 kilo gram (kg) daging per kapita per tahun, 7-8 liter susu, 3-4 kg telur, dan sekitar 26 kg ikan. Angka itu, masih kalah dibandingkan dengan Malasya, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam. Jadi, bagaimana kita bisa bersaing dengan bangsa-bangsa maju di dunia kalau di Asia Tenggara saja kita sudah terpuruk.
Pada 1997 WHO Expert Consultation on Obsesity sudah memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di beberapa belahan dunia. Apbalia tidak ada tindakan berarti untuk mengatasi masalah yang bersifat pandemik ini, jutaan manusia, baik di negara maju mau pun negara berkembang akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs), seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memotret masalah kegemukan dan obesitas di dunia menggunakan data sebagian besar diperoleh dari jurnal ilmiah yang terbit dalam rentang waktu 20 tahun (1983-2004). Hampir separuh publikasi yang dijadikan referensi adalah terbitan di atas tahun 2001. Ini menunjukkan, sejak tahun 2000 perhatian terhadap persoalan kegemukan ini, makin besar dan jadi agenda riset utama terkait isu kesehatan dan gizi masyarakat. Sampai akhir 2004 WHO berhasil mengumpulkan data dari 97 negara. Problem yang dihadapi negara-negara maju terkait masalah kegemukan dan obesitas tampaknya lebih berat dibandingkan dengan negara berkembang sekitar 50 persen atau lebih penduduk di negara maju mengalami kegemukan. Sementara di negara berkembang 20-30 persen. Bahkan di Amerika Serikat hampir sepertiga penduduknya menderita obesitas.
Hal ini, tentu terkait dengan tingkat kesejahteraan negara-negara maju, sehingga masyarakatnya mengomsumsi kalori dan lemak jauh melebihi kebutuhan tubuh. Sangat menarik mengamati data kegemukan di Jepang, dengan tingkat kemakmuran tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi daripada Amerika dan negara-negara Eropa. Ternyata, prevalensi kegemukan hanya 23,5 persen dan obesitas 3,1 persen. Presentase ini, khususnya kegemukan, lebih rendah dibandingkan dengan Malasya, Korea Selatan, dan China.

Perlu Intervensi Serius

Kenaikkan berat badan akibat konsumsi kalori berlebihan berdampak buruk bagi tekanan darah. Orang menjadi lebih rentan terhadap masalah hipertensi. Selanjutnya, hipertensi dan kegemukan ini menjadi penyumbang faktor resiko munculnya penyakit jantung koroner yang mengakibatkan kematian.
Studi longitudinal pada alumni Universitas Harvard menunjukkan, seorang mempunyai rentang usia lebih panjang 40 persen apabila badannya ramping dibandingkan dengan yang berbadan gemuk. Tubuh ramping juga menurunkan resiko terserang penyakit jantung menjadi 60 persen lebih kecil. Kegemukan terkait erat dengan pola makan dan gaya hidup. Anak-anak yang menjukai junk food (makanan sampah) sebenarnya banyak memasukkan kalori ke dalam tubuhnya. Saat ini, gaya hidup sedentary yang miskin aktivitas fisik juga semakin menggejala, sehingga memperkuat proses terjadinya kegemukan.
Dengan menyadari bahwa kegemukan menjadi ancaman serius tercapainya kesehatan yang optimal. Jajaran kesehatan diharaplkan jangan terlena dengan hanya memerangi masalah gizi kurang. Masalah gizi lebih seperti kegemukan dan obesitas juga memerlukan intervensi program kesehatan yang serius. Sosialisasi bahaya kegemukan harus selalu dikumandangkan di tingkat masyarakat, sehingga mereka biasa menerapkan pola makan seimbang (tak berlebihan) dan melakukan olahraga teratur.
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang diluncurkan Kementerian Kesehatan sejak 1996 nyaris tak ada gaungnya. Sementara empat sehat lima sempurna, kini dikritik kanan-kiri sebagai moto yang dianggap keliru dan harus diganti. Sejatinya tidak ada yang keliru pada moto tersebut. PUGS dan empat sehat lima sempurna tidak perlu dipertandingkan, tetapi dipersandingkan agar sama-sama dipahami masyarakat sebagai upaya meraih hidup sehat.

ALI KHOMSAN
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar