Kamis, 28 April 2011

Pelayanan Publik Nilai Merah, Kinerja Daerah Pemekaran Buruk Mengais Kepentingan

MALANG, NAGi. Hasil evaluasi pemekaran daerah otonom hasil pemekaran 1999-2009 yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, menunjukkan hampir semua mendapat nilai merah untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik, pelayanan publik, dan daya saing. Pemekaran tujuh daerah provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota hasil pemekaran sepanjang periode 1999-2009, hanya dua daerah mendapat nilai total di atas 60 dari nilai tertinggi 100. Kedua daerah itu adalah, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan dengan nilai total 64,61 dan Kota Cimahi, Jawa Barat dengan nilai 60,43.

Menurut George da Silva, Direktur Lembaga Research and Konsultant, Pemantau dan Evaluasi Otonomi Daerah hal ini bisa terjadi, karena pembentukan daerah otonomi berlatar belakang kepentingan elit daerah (lokal), tetapi bukan kepentingan pembangunan masyarakat daerah yang bersangkutan. Selain itu, banyak orang yang mengais termasuk partai politik di DPRD dan berebutan kursi bupati/walikota/gubernur. Diperparah lagi dengan perebutan jabatan birokrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) asal daerah tersebut.
Banyak daerah yang mendapat nilai minimal untuk kategori tertentu. Kabupaten Toraja Utara (Sulawesi Selatan), Tulang Bawang Barat (Lampung), Yalimo (Papua), Kepulauan Aru (Maluku), Gorontalo Utara (Gorontalo), Kepulauan Meranti (Riau), Moratai (Maluku Utara), Mesuji (Lampung), Sigi (Sulawesi Tengah), dan Maluku Barat Daya (Maluku) mendapat nilai nol untuk indikator daya saing. Kabupaten Deiyai (Papua) mendapat nilai kosong indikator kesejahteraan rakyat. Kabupaten Puncak Jaya dan Piniai di Papua memperoleh nilai kosong untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintah, dan daya saing.
Selanjutnya dikatakan George, bila pemekaran daerah baru diperburuk lagi dengan kepentingan anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) daerah tersebut, yang bermain mata dengan tim dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi, dan kementerian yang terkait dalam tim. “Sudah tentu mereka semua itu dibayar atau diiming-iming dengan janji oleh pengusul daerah pemekaran, sehingga daerah itu tidak layak terutama dari segi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari induknya apabila pemekaran. Tetapi, mental birokrasi dan anggota DPR kita seperti itu, dengan terpaksa meloloskan menjadi daerah pemekaran baru,” ungkap George, yang juga penulis buku Anggaran Publik Pemerintah Daerah (2045) ini bukan rahasia lagi tingkah laku mereka.
Selain itu, menurut George, daerah pemekaran itu tidak ada dalam bentuk pengawasan yang serius dari pemerintah pusat terutama Kemendagri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah juga seperti sudah “dikebiri”. “Bahkan daerah pemekaran itu menjadi proyek dari semua kementerian untuk pembangunan selama 10 tahun ke depan. Setiap pejabat di kementerian yang bersangkutan mematok angka 10 persen untuk sebuah proyek dan uang itu masuk kantong pribadi. Jika, daerah tidak mau, maka tidak akan mendapat cucuran dana proyek tersebut,” kata George, juga penulis buku Gaya Kepemimpinan Situasional Kepala Daerah (2005), oleh karena itu mengharapkan presiden dan menterinya mengambil tindakan tegas atas segala tingkah laku bawahannya.

Masih Berusaha Menyusun

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi di Jakarta, Selasa (26/4), mengatakan nilai rendah wajar, karena banyak daerah pemekaran baru berusia 0-3 tahun. “Daerah ini, masih berusaha menyusun organisasi, pola kerja, dan memenuhi sumber daya manusia. Nilai nol yang diperoleh, disebabkan daerah-daerah tersebut tidak melampirkan apa pun untuk kategori-kategori tersebut,” bela Gumawan, dari 205 daerah otonom baru, 57 daerah diantaranya berusia 0-3 tahun
Diharapkan moratorium harus diberlakukan sampai desain penataan daerah dan perbaikan pelaksanaan otonomi daerah berlangsung. “Karena masih antri untuk daerah pemekaran, jika pemerintah tidak melakukan seleksi yang ketat dengan kriteria yang jelas, maka akan mucul daerah pemekaran yang dikomando oleh elit-elit politik, para pengusaha untuk membiayai pendemo ke Jakarta atau daerah yang bersangkutan,” harap George, sekarang misalnya daerah meminta pemekaran Kabupaten Malang Utara berpisah dari induknya Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur yang sebelumnya telah melepas Kota Batu, dan Kabupaten Adonara minta berpisah dari induknya Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sebelumnya telah melepaskan Kabupaten Lembata. (nico/ris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar