Selasa, 19 April 2011

Tidak Ada Lagi Prestasi yang Ditorehkan Istana Pemerintah (Makin) Mati Rasa


SLOGAN PEMERINTAH akan memimpin langsung pemberantasan korupsi pernah di kumandangkan. Pernyataan penguatan pemberantasan korupsi dan mafia hukum selalu hadir dalam rapat dan sidang. Namun, masalahnya pernyataan itu kurang tampak dalam tindakan nyata. Dalam memberantas korupsi dan mafia hukum, selain membentuk Satgas Antimafia Hukum, tak ada lagi prestasi berarti yang ditorehkan Istana.

Ada kesan, mereka melangkah berderap menuju arah yang keliru. Lihat saja hasil perintah-perintah presiden dalam percepatan pemberantasan korupsi, baik yang secara umum mau pun khusus pada kasus tertentu. Penyakit lama tentang ketidakmampuan dan ketidakmauan tak hanya membayangi, malah melekat erat.
Lambang Mati Rasa
Dalam konsep instruksi, ketidakmampuan melaksanakan instruksi dapat mudah ditutup andai memang ada kemauan memastikan bawahan melaksanakannya. Sayangnya, ini pun tak terlihat. Kita disuguhi berbagai hambatan yang mengangkangi pelaksanaan instruksi, tetapi tak kunjung ada perintah keras melaksanakan sebagai implementasi dari kemauan yang kuat.

Silahkan membuka hasil kerja pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak. Nasib yang sama terjadi pada Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Hasilnya tak sebanding lurus dengan upaya instruksi, karena ada jarak antara hasil yang ingin dicapai dan kemampuan atau kemauan mencapainya.
Praktek bawahan yang memberi keringanan kepada koruptor melengkapi proses agregasi mati rasa ala Istana. Sulit dijelaskan secara baik alasan yang bisa membenarkan hujan remisi dan perlakukan istimewa terhadap para koruptor. Namun “anjing menggonggong”, perlakuan istimewa tetap belalu. Tak ada itikad merivisi cara pandang negara atas pelbagai kenikmatan yang diberi kepada koruptor.
Dalam konteks terbaru, proses mati rasa menjadi makin akut ketika di lihat dari RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dihasilkan pemerintah. RUU yang diharapkan merivisi UU Nomor 31 Tahun 1999 itu, memperlihatkan bahwa alih-alih menguatkan pemberantasan korupsi, ia malah menjinakkan pemberantasan korupsi. Bisa di lihat dari beberapa indikasi. Pertama, tampak jelas tensi pemerintah turun dalam melihat kasus korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Terbukti di RUU, cara pandangannya adalah mem-“bias”-kan korupsi. Dalam RUU terdapat begitu banyak pasal merabat ancaman pidana yang tertentu kian menjauhkan kesan membangun efek jera bagi para koruptor. Bahkan, ancaman pidana sangat minimal (setahun) kian diperbanyak. Dalam konteks “setahun” ini, sering kali ujungnya pada hukuman percobaan.
Di negeri inilah koruptor bisa mendapat putusan dalam bentuk hukuman percobaan. Penmgadilan umum sangat “rajin” memberi hukuman semacam ini. Lengkaplah rendahnya tingkat hukuman para koruptor. Dengan klausul RUU yang kian memasifkan hukuman jenis ini, koruptor dan mafiah hukum dan mafia hukum akan berpesta senang. Mereka menemukan dalil yang makin kuat mendapat hukuman seringan-ringannya.
Kedua, semakin tampak cara pandang yang tidak melihat korupsi sebagai sebuah kejatan yang rapi terencana. Cara melawannya kelihatannya tidak dibangun sebagai perlawanan yang terorganisasi secara baik. Tidak terlihat konstruksi sistematis dalam memerangi korupsi. Salah satu penyebabnya dibukanya semakin lebar pintu kriminalisasi bagi pelapor perkara korupsi. Padahal, jika ingin mendorong percepatan pemberantasan korupsi, sangatlah penting membuka pintu pelaporan dengan berbagia kekeringanan dan perlindungan bagi pelapor.
RUU gagal memisahkan dan menjelaskan secara baik ihwal kosep laporan palsu, padahal bisa banyak varian. Namun, siapa pun yang melapor akan mudah diserang dengan tuduhan bahwa laporannya palsu. Menguatnya kriminalisasi pelapor mempersulit kita membongkar dan membuka perkara korupsi yang sering terancang secara sempurna dan sistematis.
Ketiga, dan inilah yang paling kita takutkan, RUU ini dirancang sebagai “kotak Pandora”. Begitu disahkan, RUU terkait yang mengusul akan jadi penanda pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Hukum Antikorupsi. Selan RUU ini, ada juga beberapa RUU KPK misalnya. Sangat besar peluang RUU KPK akan jadi pemicu reposisi besar KPK. Lihat saja kewenangan penuntutan KPK yang tak disebut lagi. Padahal, dulu KPK disebutkan secara tegas dan UU yang akan digantikan oleh RUU.
Inilah bahayanya, dari sini jangan-jangan semaikn mulus langkah merubah wujud KPK dari Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Komisi Pencegahan Korupsi. Gejala mendorong KPK bekerja untuk semata-semata pencegahan sering dibicarakan partai politik, termasuk Istana, dalam beberapa kesempatan. Istana yang memulai. Maka, ia pulalah yang harus mengakhiri. Harus ada “syahadah” menempatkan pemberantasan korupsi kembali menjadi agenda utama dan bukan hanya mengemukakan di pernyataan. Caranya sederhana, bisa dimulai dengan membatalkan RUU mati rasa ini.
ZAINAL ARIFIN MOCHTAR
Direktur PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM Joyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar