Rabu, 27 April 2011

Satu Dekade Otonomi Berlangsung, “Quo Vadis” Otonomi Daerah

APRIL INI, sepuluh tahun sudah Indonesia memasuki era otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah tak hanya menandai sistem desentralistis berakhir, tetapi juga langkah penting bagi daerah menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik melayani dan mensejahterakan rakyat. Apakah setelah satu dekade, otonomi daerah sesuai dengan harapan rakyat?

Satu dekade relatif singkat mewujudkan impian terdalam rakyat. Apakah, karekteristik daerah di Indonesia sangat beragam; geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, ekonomi, etnisitas, agama, dan budaya. Namun, janganlah hendaknya hal ini dijadikan apologi. Ia harus disikapi sebagai tantangan untuk menyemangati perwujudan keadilan dan kemakmuran rakyat.
Praktek otonomi daerah masih jauh dari tujuan utamanya. Dua indikator menjelaskan hal ini. Pertama, kualitas pelayanan publik masih rendah. Baru sekitar 10 persen dari 524 daerah (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota) mampu melakukan yang terbaik dalam pelayanan publik. Kedua, jumlah penduduk miskin dan pengangguran terbuka masih cukup tinggi, masing-masing sekitar 31,02 juta dan 8,59 juta jiwa (BPS, 2010). Kenyataan itu, tentu bertolak belakang dengan tujuan otonomi mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud.
Sejauh ini, soal utama pelaksanaan otonomi daerah tak hanya komitmen politik para elit yang rendah, tetapi juga pengawasan, pengawalan, dan penegakan hukum yang kurang. Pelaksanaan Pilkada sejak 2005 turut mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Umum diketahui, Pilkada sarat dengan paraktek politik uang, sehingga sulitlah diharapkan kepala daerah terpilih yang punya integritas, kapasitas, dan keberpihakan kuat kepada kesejahteraan rakyatnya.

Pelopor Terdepan

Seharusnya kepala daerah terpilih jadi pelopor terdepan melawan politik uang sambil membangun sistem kerja birokrasi berdasarkan imbalan dan hukum serta menciptakan program pembangunan yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada aparat, sebagai konsekuensi logis janji kampanye mereka. Faktanya, hanya sebagian kecil kepala daerah memenuhi komitmennya membuat yang terbaik dalam pelayanan publik. Sebagian besar sibuk mengurus diri dan kelompoknya.
Kegagalan otonomi daerah 10 tahun ini juga, disebabkan kesan elitis, lebih melibatkan eksekutif dan legislatif daerah dan mengesampingkan partisipasi publik serta memperlihatkan kepentingan elit pusat. Dalam pembuatan UU, misalnya, aspirasi dan kepentingan daerah banyak yang tak terakomodasi dengan baik. Tak sedikit program pembangunan ekonomi yang sia-sia lantaran proses pembuatan program dan pelaksanaannya mengabaikan partisisipasi rakyat.
Sebagai pemilik kedaulatan, partisipasi rakyat dalam otonomi daerah seharusnya di lihat sebagai sebuah keniscayaan. Persepsi yang mengangap bahwa rakyat tak cukup pintar untuk terlibat dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan yang berkenaan dengan hajat hidupnya sendiri merupakan persepsi yang menistakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Justeru dengan keterlibatannya yang tinggi, masyarakat kian menyadari hak dan kewajibannya, sebab sejatinya rakyat bukanlah pihak yang tak tahu diri, apalagi tak tahu berterima kasih.
Secara umum ada empat tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Pertama, tumpang tindih peraturan yang membingungkan daerah. Dampaknya, tak hanya hilangnya legilitas peraturan yang ditetapkan daerah, tetapi juga telah melahirkan banyaknya peraturan daerah bermasalah. Kedua, persepsi sepihak daerah tentang kewenangan. Tak sedikit kepala daerah yang sempit memahami otonomi daerah sebagia pihak yang diberi wewenang luas mengatur daerahnya. Selain mengaburkan realisasinya dengan struktur pemerintahan di atasnya, persepsi ini juga turut menyuburkan “raja-raja kecil” di daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan wewenang antar daerah dan antar jenjang pemerintahan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 yang memayungi kewenangan daerah dinilai sangat rumit, amat sektoral, dan membingungkan daerah. Keempat, kolobrasi elit dan pengusaha dalam mengeksplotasi daerah yang muncul sebagai akibat langsung dari politik transaksional dalam Pilkada. Olehnya, birokrasi cenderung tak profesional dan netral, sehingga menghambat fungsi pelayanan publik dan memunculkan kebijakan yang tak probisnis.

Yang Mendesak

Di tengah kegamangan otonomi daerah seperti ini, tak sedikit elit politik lokal dan pusat yang melihat otonomi daerah sebagai ladang baru beroleh kekuasaan. Dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, banyak di antara mereka yang menjadikan isu pemekaran daerah sebagai obat mujarab kegagalan otonomi daerah.
Dalam kurun 1999-2010 jumlah daerah otonomi baru mencapai 205 (tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota). Alih-alih mempercepat kesejahteraan rakyat, pemekaran daerah hanya memperberat APBN. Yang mendesak dilakukan reformasi kelembagaan daerah dan atau birokrasi lokal, secara konseptual mau pun komperhensif, yang mencakup perbaikan birokrasi di pusat sampai daerah. Kemudian memperbaiki penyelenggaraan Pilkada di 398 kabupaten dan 93 kota untuk melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan rakyat dan memperkecil terjadinya konflik, kerusuhan, dan amukan massa dalam Pilkada yang hanya berujung pada penderitaan rakyat.
R SITI ZUHRO, Peneliti Utama LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar