Selasa, 19 April 2011

Setelah Lima Tahun Membuka Kesempatan Kepada PMDN Adakah Kebijakan Obat Nasional

PADA AWAL TAHUN 1970-an Indonesia membuka kesempatan bagi industri farmasi internasional menanamkan modal di Indonesia. Mulailah Penanaman Modal Asing (PMA) bidang farmasi berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Pemerintah Indonesia waktu itu menetapkan, setelah lima tahun beroperasi, industri farmasi asing harus sudah memproduksi bahan baku di Indonesia. Kemudian, dibuka pada kesempatan bagi modal dalam negeri untuk membuka pabrik farmasi.
------------1 kolom------------------
Dalam waktu singkat jumlah merek dan jenis obat jadi di Indonesia meningkat cepat. Salah satu alasan dibiarkannya begitu banyak jenis dan merek obat adalah persaingan mereka di pasar, sehingga hanya makin murah. Sulit dimengerti bahwa pakar farmasi di Departemen Kesehatan menyamakan perdagangan obat dengan baju, yang semakin banyak merek semakin murah harganya.
Persaingan obat dan baju sangat berbeda. Dalam produk konsumsi, seperti baju, konsumen dapat memilih dan memutuskan mana yang paling sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal obat, terutama obat etikal, konsumen sama sekali tidak tahun mana yang paling cocok dengan penyakitnya, dan mana yang mutunya lebih baik. Yang menentukan adalah dokter. Konsumen terpaksa membeli, berapa pun harganya. Maka, persaingan terjadi dengan cara membujuk dokter agar meresepkan produk tertentu.
Obat Esensial
Kebijakan pertama seharusnya mentapkan jenis obat apa saja yang secara esensial diperlukan rakyat Indonesia. Di luar jenis itu, seharusnya izin memproduksi dan mengedarkannya dipersulit. Di situlah perlunya pemerintah menyusun Daftar Obat Esensial (DOE) tanpa menentukan merek dagang yang akan berbeda asal mutunya memenuhi syarat. DOE selanjutnya menjadi pedoman bagi rumah sakit pemerintah, baik pusat mau pun daerah, untuk pengadaan obat. Dengan demikian, ada efisiensi penggunaan dan pemantauan rezim terapi.
Banyak jenis obat yang beredar saat ini, membuat persaingan tidak sehat dan berdampak pada kekacauan dalam menentukan terapi yang efektif dan efisiensi. Jenis yang sangat banyak dan merek dagang yang juga sangat banyak ini, akibat mudahnya pemerintah memberi izin (terutama lokal) untuk membuka pabrik obat. Banyak yang sebenarnya tidak profesional dan bahkan tidak berlatar belakang membuat obat.
Sebagian besar dari mereka hanya menjadi perakit obat dengan hanya bermodal membeli mesin dan bahan pembuat obat. Bandingkan, misalnya, dengan Bayer atau Hoechst (dulu) yang bermula dari pabrik kimia dan kemudian melalui penelitian dapat menemukan bahan berkhasiat obat.
Akibat perizinan yang begitu lunak tanpa melihat jangka panjang industri farmasi lokal berkembang sangat cepat. Padahal, pangsa pasar sangat kecil. Mereka kemudian hanya memproduksi obat-obat “latah” (meniru). Ini pula yang membuat merek dagang untuk jenis yang sama menjadi sangat besar. Untuk menangani pasar, merek berusaha mendapat izin edar lebih dulu dari pesaing yang membuka peluang korupsi dan berikutnya membujuk dokter.
Kebijakan Harga
Para pejabat di Depkes dulu berprinsip biar pasar yang mengatur harga obat. Depkes hanya mengatur kapan pabrik obat boleh menaikkan harga produk. Akan tetapi, seperti telah disebut, pasar obat berberda jauh dengan pasar produk lain. Ketentuan ini, lagi-lagi menjadi peluang untuk korupsi. Karena tidak ada kebijakan yang terarah, industri farmasi lokal yang hanya menjadi perakit obat bebas menentukan harga produk. Pada umumnya mereka menetapkan harga mendekati harga yang ditentukan industri penemu untuk mengesankan bahwa mutu mereka tidak berbeda dengan produk orisional tersebut. Padahal, industri lokal tidak pernah melakukan riset awal.
Tidak selayaknya mereka dibebaskan menentukan hatga produk mendekati produk orisional. Pemerintah seharusnya menetapkan bahwa harga obat tiruan maksimal 60-70 persen dari harga obar rasional, karena tidak ada beban biaya riset. Bahkan bahan baku pun dibeli dari pasar di luar penemu awal, misalnya dari India, Hongaria, dan China dengan harga jauh lebih murah daripada harga di negara penemu awal.
Bahan baku tersebut secara bebas dapat diproduksi oleh negara lain, setelah masa perlindungan patennya habis. Jadi, sebenarnya yang dibuat industri lokal bukanlah obat paten, melainkan obat generik yang diberi merek dagang tersendiri. Seandainya pemerintah tegas dalam menentukan batas harga obat tiruan atau generik bermerek tersebut, harga obat tidak seenaknya ditetapkan oleh industri nasional dengan keuntungan sampai besar.
Bahan Pembuat Obat
Setelah lima tahun pertama, tidak satu pun industri farmasi memproduksi bahan baku di sini dan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Alasannya sederhana saja, selain fasilitas dan kemampuan riset obat di Indonesia sangat lemah, pangsa pasar bahan baku obat di Indonesia sangat kecil, sehingga tidak ekonomis untuk berproduksi di sini. Pemerintah waktu itu, mungkin berpikir bahwa membuat obat, seperti membuat kerupuk. Bahan bakunya cukup tepung dan garam. Jadi, ketika kita masyarakat agar industri farmasi membuat bahan baku obat di Indonesia tidak terpikirkan bahwa bahan baku obat memerlukan dukungan industri hulu yang sesuai serta riset yang lama dan mahal.
Bahkan banyak industri farmasi dunia bergabung, karena biaya riset semakin mahal dan syaratan riset obat semakin ketat. Kalau hanya membuat bahan baku yang mudah diperoleh di pasar internasional, mengapa pula harus repot membuka sendiri di Indonesia yang pangsa pasarnya masih sanagat kecil. Jumlah penduduk Indonesia memang besar, tetapi konsumsi obat per tahun dan perkapita masih sangat kecil.
Sampai sekarang tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri hulu bagi produk obat. Jangankan bahan baku obat, untuk bahan pembantu saja pengembangan tidak dipikirkan. Obat tidak hanya terdiri bahan baku zat aktif, tetapi diperlukan juga pencampur yang memenuhi syarat. Bahan bantu itu, antara lain tepung khusus, gula khusus, perekat dan kapsul, yang sampai sekarang tidak terpikirkan oleh pemerintah.
Produksi bahan bantu tidak sesulit membuat baku aktif dan mempunyai peluang diekspor ke negara lain. Selama ini, hampir 90 persen bahan pembantu obat (bahan aktif dan bahan bantu) diimpor. Industri dalam negeri hanya merakitnya menjadi obat jadi. Selama kita tidak memikirkan masalah ini, Indonesia akan terus sebatas menjadi negara perakit obat yang tidak akan pernah mandiri. Harga obat pun akan terus menjadi beban bagi rakyat dan negara.
KARTONO MOHAMAD
Mantan Ketua Umum PB IDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar