Jumat, 03 Juni 2011

Bupati/Walikota yang Mencalonkan Sebagai Ketua PSSI, Melanggar UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

MALANG, NAGi. Masyarakat Indonesia akan bertanya, mengapa Komite Normalisasi (KN) bisa meloloskan 19 nama yang mencalonkan sebagai Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) diantaranya beberapa orang yang kini menjabat sebagai walikota dan bupati. Apakah pencalonan mereka ini, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah mengikuti acara Kongres PSSI 20 Mei 2011 di Hotel Sultan Jakarta bertepatan dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 2011 yang gagal. Kini, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) memberi ampun kepada PSSI alias tidak menjatuhkan sanksi, dan memberi kesempatan untuk menyelenggarakan selambat-lambatnya sebelum 30 Juni mendatang.

Pecalonanan walikota/bupati, sebagai calon ketua dan wakil ketua PSSI melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai pejabat seharusnya memahami benar-benar aturan yang mengatur tentang jabatannya sebagai bupati/waliota. Jangan ingin mencoba-coba melanggar, dan jika ada teguran dari atasan baru mengundurkandiri. Walau pun, penugasan di PSSI adalah amanah dan tugas mulia, karena akan berbentur dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

UU No 32, Pasal 28 Larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, huruf c “melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung mau pun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan”. Karena pasal ini, dalam penjelasannya cukp jelas, maka tidak perlu ditafsirkan lagi. Tentu hal ini, karena melakukan pekerjaan lain selain sebagai walikota/bupati memberi keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung mau pun tidak langsung. Jelas ini, akan memberi keuntungan pribadi dan pencitraannya sebagai bupati/walikota dari organisasi politik yang mendukung ketika Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada). Karena melakukan pekerjaan, adalah memberikan atau mengorbankan seluruh pikiran, tenaga untuk sesuatu tujuan dan mendapat imbalan jasa/honor/upah/gaji.

Apalagi mendapat imbalan jasa/honor/upah/gaji dari anggaran APBN atau APBD, itu jelas melanggar peraturan yang berlaku. Sebaiknya mereka mengadakan konsultasi dengan Staf Ahli Bupati/Walikota di Bidang Hukum atau langsung berkonsultasi dengan gubernur masing-masing. Apakah bisa mencalonkan sebagai Ketua PSSI atau tidak boleh, karena melanggar peraturan. Hal ini, untuk menghindari dari keberatan masyarakat yang mengerti tentang Hukum Tata Negara atau Hukum Pemerintahan Daerah, dan masyarakat pencinta bola di tanah air harus memahami, karena sosok bupati/walikota tersebut, yang dalam setiap kegiatan publik diatur oleh peraturan dan perundangan yang berlaku. Jika, tidak melanggar boleh-boleh saja dan silahkan berkiprah.

Mereka akan tetap dihormati dan dihargai, jika benar-benar tunduk pada peraturan perundang-undangan, karena sebagai pejabat publik. Keuntungan yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan, jelas ini sangat berpengaruh, karena selain pejabat publik, sehingga berkiprah di PSSI itu jelas menguntungkan diri sendiri baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka harus legowo dan menahan diri untuk menjadi calon Ketua PSSI, karena tidak menjadi Ketua PSSI mereka pasti bisa berkiprah di kesempatan dan tugas sosial yang banyak menantinya.

Kemudian kita bertanya, apakah mereka juga sebagai Ketua Partai Politik? Jika, pengabdiannya pada organisasi profesi dan partai politik sebenarnya tidak ada masalah. Jika, sebagian atau seluruhnya mendapat dana atau bantuan dari APBN atau APBD Provinsi atau APBD seluruh kabupaten/kota, maka tidak boleh. Seharusnya kalau rujuk pada Pasal 28 tersebut, maka tidak boleh merangkap pekerjaan atau jabatan yang lain. Jadi, UU itu mengisyaratkan benar-benar kepala daerah dan wakil kepala daerah itu tidak boleh memangku jabatan publik/organisasi/profesi/advokat/partai politik. Selain itu, kepala daerah dilarang turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta mau pun milik negara/daerah atau dalam yayasan bidang apa pun.

Begenilah peraturan di Indonesia, yang melanggar kerap kali adalah pejabat yang sedang berkuasa. Tetapi, anehnya pejabat yang lebih tinggi tidak bisa menegur, walau pun itu terang-terang melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga mana atau pejabat mana yang berwenang paling berwenang menengur bupati/wakil bupati. Yang terutama adalah lembaga DPRD setempat yang lebih dahulu bertindak. Tetapi, kita ketahui bersama para anggota dewan yang masih lemah Sumber Daya Manusia (SDM) karena datang dari berbagai kalangan profesi. Hal ini, membuat mereka terbelenggu dengan pemahaman undang –undang dan peraturan tentang pemerintahan daerah. Setelah itu, gubernur, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan pada akhirnya presiden. Tetapi, para pejabat itu bisa berkilah, karena tidak ada laporan dari masyarakat. Beginilah jawaban klise dari pejabat. (George da Silva))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar