Rabu, 29 Juni 2011

Para Politisi Manfaatkan Otonomi Daerah, Pengusaha dan Penguasa Lokal

BANDIT DEMOKRASI pada tingkat lokal tak terbendung. Demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak reformasi 1998 dibajak politisi tak bertanggung jawab. Para politisi itu, adalah gubernur, bupati dan walikota. Mereka manfaatkan otonomi daerah untuk menghidupkan kembali neokolonialisme Soeharto melalui pemberian konsensi pertambangan yang kebanyakan illegal. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat dari 8.475 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan pemerintah daerah, hanya 3.971 IUP legal dan 4.504 IUP illegal.

Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya contoh dalam tulisan ini. Seperti tersua pada data Dinas Pertambangan NTT (2010), di sana 319 pemegang IUP tak mengantongi dokumen resmi. Demi menambah penerimaan daerah, ratusan hektar tanah dan area hutan lindung disabotase hanya untuk investasi pertambangan mangan. Masalah sosial pun merebak. Buruh dibayar tak wajar, terjadi rebutan lahan antar suku, dan penambangan rakyat tak terbendung. Kepincut oleh iming-iming nilai “batu mangan yang bisa berubah menjadi rupiah”, warga beralih profesi dari petani penggarap menjadi pengumpul mangan. Pertanyaannya, mengapa tambang illegal mekar.

Desain otonomi daerah memang tak dipersiapkan secara matang. Reformasi birokrasi dan penegakan hukum di daerah sangat rapuh. Kerapuhan regulasi digunakan para pemodal untuk mengakumulasi kekayaan. Memanglah pelaku ekonomi pada dasarnya menampilkan watak asosial dan mencari untung. Setelah pemberlakuaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diamandemenkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, wewenang mengeluarkan izin pemberian kuasa pertambangan dan IUP beralih dari pemerintah pusat ke Pemda. Peralihan ini, memudahkan para pemodal domestik dan asing berinvestasi. Untuk mencari untung, para pemodal itu bersahabat mesra dengan Pemda.

Persahabatan mereka bersifat instrumental. Artinya, hanya sebagai alat dalam pencapaian kepentingan diri. Itulah yang menjawab teka–teki mengapa banyak penjahat, seperti penambang illegal, dibiarkan begitu saja oleh Pemda.

Selalu Cari Celah

Pertambangan di NTT adalah contoh ulah para penjahat. Sebuah kapal milik TNI AD berisi 3.000 ton hasil penjualan mangan illegal ditahan aparatur kepolisian di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya (Timor express, 15/5/2011). Penjahat memang selalu mencari celah untuk mencuri. Celah itu, ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 43, Ayat (1) dan (2) memberi kesempatan kepada pemegang IUP eksplorasi menjual mineral yang sudah tergali meski ada penegasan bahwa tambang hasil eksplorasi yang dijual wajib dilaporkan kepada pemberi izin, gubernur, bupati/walikota atau menteri.

Persoalannya, pemerintah lokal ikut bermain di dalamnya. Kepala Dinas Pertambangan NTT dijerat hukum lantaran terlibat kasus penjualan mangan illegal (Kompas, 25/10/2010). Menangkal bajingan, sebenarnya mudah apabila negara dengan seperanglkat alatnya-hukum dan regulasi-selalu siaga. Namun, bagaimana menjaga penjahat jika aparatur negara terlibat dalam penjualan mangan illegal.

Keterlibatan pemerintah lokal dalam penjualan tambang illegal bukan tanpa alasan. Semua pihak paham bahwa demokrasi kita, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, diselimuti politik uang. Di tengah sistem politik yang memberhalakan uang, pemerintah tak perlu memberi karpet merah kepada investor hanya untuk mencalonkan diri lagi ke Pilkada berikutnya.

Ada garis pararel antar perusahaan (kapitalisme) dan politisi (partai politik) dalam demokrasi. Keduanya memerlukan kompetisi terbuka. Dalam kapitalisme, antar perusahan merebut konsumen plus akumulasi. Dalam demokrasi, kompetisi antar parpol merebut pemilih. Kompetisi seperti ini, bagai hukum alam: siapa bermodal kuat akan menang dalam pertarungan.

Konsekuensinya, parpol mereduksi rakyat menjadi semata-mata konsumen. Deposisi serba pasar ini, mengamputasi lingkup publik demokratis. Pilihan atas dasar pasar melemahkan pilihan politik, karena pilihan individu mendahului keputusan kolektif. Politisi akhirnya mengabaikan konsep ruang publik sebagai tempat berdiskusi tentang pilihan-pilihan kolektif.

Resikonya, tawar elemen masyarakat mengajukan pembangunan alternatif (nirtambang) dengan pertimbangan ekologis dan pelestarian budaya lokal tak pernah didengar oleh Pemda. Pemda di NTT. Misalnya, menganggap tambang sebagai harga mati untuk mengangkat kesejahteraan rakyat. Ironisnya, publik tidak pernah paham berapa kapasitas produksi dan penjualan mangan setiap tahun. Jika, publik paham informasi seputar pembukuan perusahaan, kalkulasi berupa royalty yang masuk ke kantong daerah bisa dilakukan dengan tepat. Namun, semua informasi seputar tambang telah dikontrol investor dan pemerintah lokal.

Realitas ini, disebut oleh ekonom Josep Stiglitz sebagai asimetri kekuasaan. Artinya, kekuasaan lebih memberi akses mudah bagi pemodal daripada rakyat untuk mengontrol sumber kekuasaan daerah. Akibatnya konsekuensi pertambangan yang bertujuan pembangunan jangka panjang, hanya dimenangi pengusaha ekonomi dan gagal mengangkat rakyat. Mengorbankan rakyat adalah wajah demokrasi kita yang diselimuti politik uang. Pemerintah bukan lagi abdi rakyat, melainkan berubah jadi bandit atau perpanjang tangan pengusaha. Kesejahteraan rakyat terbengkelai. Otonomi daerah tak lagi bertujuan mendekatkan pemerintah pada kondisi riil warga, tetapi semakin menjauh dari kondisi riil warga lokal.

Pilihan Rasional

Bagaimana menyelamatkan agenda otonomi daerah dari penjahat seperti itu? Kebijakan publik harus rasional. Rasional tidaknya kebijakan di lihat saat pemerintah menimbang aspirasi rakyat. Partisipasi rakyat dalam pembangunan penting untuk mencegah konflik kepentingan.

Dalam konteks pertambangan, pemberian izin konsesi harus transparan. Rakyat perlu paham apa yang akan diproduksi, berapa banyak produksi, dan berapa yang masuk ke kantong daerah. Ini mempermudah kontrol. Dengan pilihan rasional, rakyat juga berhak menolak investasi pertambangan. Pemerintah tak bisa memukul rata semua daerah di Indonesia cocok untuk pertambangan. Maka, pemerintah perlu menyusun strategi pembangunan berdasarkan keunggulan dan kelemahan setiap daerah.

NTT, misalnya, hanya cocok untuk sektor pertanian dan pariwisata. Potensi pariwisata di daerah itu amat besar. Angkat saja Taman Nasional Komodo dan Danau Kelimutu. Investasi pertambangan justeru merusak wisata yang instrumental meningkatkan devisa negara dan mensejahteraakan rakyat. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah lokal menarik minat investor dengan mengangkat daya saing melalui pembangunan transportasi, listrik, fasilitas air minum, dan prasarana fisik lain.

FERDY HASIMAN
Peneliti di Indonesia Today, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar