Rabu, 29 Juni 2011

Pemberantasan Korupsi Bergerak Secara Deret Hitung, Sistem Korupsi Birokrasi Pemerintah

DI NEGERI INI, percepatan upaya pemberantasan korupsi tidak sebanding dengan kecepatan tindakan korupsi itu sendiri. Pemberantasan korupsi bergerak secara deret hitung, sementara tindakan korupsi membiak menurut deret ukur. Artinya, tindakan korupsi lebih progresif daripada upaya pemberantasannya.

Ada yang berpendapat bahwa gejala korupsi sulit diberantas hingga derajat terendah, dikarenakan korupsi sudah menggurita pada seluruh sistem kehidupan, terutama sistem birokrasi pemerintah, hukum, politik, bahkan pendidikan.

Mengguritanya korupsi pada sistem, membuat sistem ini lambat laun membusuk. Di sini, gejala korupsi dipandang sebagai virus atau penyakit yang menempel pada sistem. Secara teoritis ini, semestinya mudah diatasi amputasi virus hingga ke akar-akarnya. Dengan kata lain, sebanyak mungkin koruptor ditangkap dan dihukum seberat-beratnya.

Persoalan menjadi tidak sederhana, ketika korupsi tidak lagi bekerja sebagai virus yang menempel pada sistem, melainkan mampu memperumit diri menjadi sistem sosial tersendiri; sistem korupsi. Menurut Niklas Luhmann (1927-1998), sebuah sistem sosial dapat terbentuk secara autopoeisis, membentuk dirinya sendiri. Sistem korupsi membentuk diri dengan cara mengambil kemungkinannya dari situasi lingkungan ekonomi, politik, dan budaya yang gaduh serta anomik.

“GILA”

Bagi, Talcott Parsons (1920-1979), suatu gejala berkembang menjadi suatu sistem ketika mampu menjalankan fungsi “GILA”: pencapai tujuan (goal attainment), integrasi (integration), pemeliharaan (latent patter maintenance), dan adaptasi (adaptation).

Pertama, korupsi memiliki fungsi pencapai tujuan, yakni memperkaya diri dan kelompok atau memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Ini, bisa kita lihat dalam, misalnya praktek politik uang. Dalam praktek politik uang, biasanya diperoleh dari hasil korupsi, entah itu dilakukan sendiri, entah orang lain.

Kedua, korupsi juga memiliki elemen pengintegrasi, sehingga kukuh dilakukan dan sulit diurai. Salah satu elemen pengintergrasi dari sistem korupsi ini, tidak lain adalah kepentingan politik dan celah hukum yang bisa disiasati untuk melindungi, bahkan meloloskan para pelaku korupsi.

Ketiga, koruspsi menjadi sistem, karena korupsi memiliki cara memilihara dan merawat diri, sehingga praktek korupsi bisa berkerja secara berkelanjutan. Kemampuan memelihara dan merawat diri ini, justeru dilakukan tanpa sadar oleh masyarakat dengan melantaskan permakluman pada fenomena pembusukan yang terjadi sehari-hari, meski dalam jumlah sangat kecil, seperti pungutan liar di jalan pelintasan.

Terakhir, sistem korupsi mengukuhkan diri, karena mampu beradaptasi. Kendati korupsi secara moral buruk dan ditentang, tampaknya secara korupsi bisa beradaptasi seolah-olah melakukan tidak lagi merasa bersalah. Ini, biasanya terjadi pada apa yang disebut gratifikasi. Sejumlah uang diberikan kepada pejabat sebagai ungkapan rasa terima kasih. Untuk tidak lagi disebut praktek kotor, korupsi dilakukan atas nama balas budi.

Jika, keempat fungsi tersebut berjalan, sistem korupsi menemukan bentuk yang stabil dan mapan. Artinya, dalam jangka panjang kita hidup dalam sistem kebusukan dan aktif di dalamnya. Korupsi lalu menjadi cara hidup. Ini mengerikan!!

Distingsi

Agar bisa keluar dari sistem kebusukan ini, meminjam istilah Luhmann, harus ada proses distingsi. Proses ditingsi ini, pada dasarnya merupakan upaya “sadar” untuk membedakan atau menyeparasi diri dari sistem yang stabil. Tanpa adanya distingsi ini, berarti kita gila, buta, dan tidak sadar dengan keadaan lingkungan.

Awalnya distingsi untuk memperjelas mana sistem korupsi dan yang bukan. Selanjutnya distingsi dilakukan dengan untuk mengguncang sistem yang sudah ada. Untuk mengguncang sistem korupsi, distingsi tidak hanya bergerak pada tingkat pencitraan dan janji-janji politis, melainkan diarahkan pada gerakan yang sunguh-sungguh menegasikan sistem korupsi.

Gerakkan antikorupsi yang dipelopori ICW dan beberapa elemen masyarakat pada dasarnya merupakan gerakkan distingsi yang mendestabilisasi stabilitas sistem korupsi. Namun, bila kita menggunakan kerangka “GILA”, gerakan ini masih sebatas menjadi pengganggu sistem korupsi. Gerakkan ini, memang memiliki tujuan yang jelas, yakni membebaskan masyarakat dari korupsi. Ada upaya mereka melakukan gerakkan kultural antikorupsi melalui beberapa model pendidikan di masyarakat, penyingkapan kasus-kasus korupsi dan sebagainya. Akan tetapi, gerakkan ini masih perlu diuji di tengah apatisme dan adanya permakluman terhadap “korupsi kecil-kecilan” di masyarakat.

Selebihnya gerakkan ini, masih belum memiliki pengintegrasi yang kuat dalam mekanisme merawat gerakkan ini dalam jangka panjang, sehingga gerakkan ini belum bertransformasi menjadi sistem tersendiri, sistem antikorupsi. Namun, gerakkan distingsi ini wajib diapresiasi dan didorong bersama sampai menjadi sistem sosial yang otonomi dengan harapan negeri ini tidak makin membusuk, tidak semakin hancur, lalu musnah.

WILDAN PRAMUDYA.
Aktif di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Masyarakat (LP3ES), Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar