Rabu, 29 Juni 2011

Partai Demokrat Dirundung Masalah, Para Petinggi Terjerat Hukum

MALANG, NAGI. PARTAI DEMOKRAT (PD) dirundung masalah, para petinggi mulai satu persatu dibuka aibnya. Mulai dari kasus Muhammad Nazuruddin (33) dikaitkan dengan dugaan suap dalam proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan dan diungkit masalah sebelum menjabat sebagai Bendahara Umum PD yaitu, dugaan korupsi dalam proyek pengadaan sarana pendidikan tahun 2007. Kemudian bermunculan “dugaan” pemalsuan dan penggelapan surat Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati. Berikut siapa petinggi PD yang diungkit ke pemukaan dan akan bermasalah dengan hukum. Para politisi di Senayan menilai Pemilihan Umum tahun 2009 penuh dengan rekayasa dan perlu diungkit, karena diduga KPU banyak merekayasa suara-suara, dan masyarakat mulai hilang kepercayaan akan kredibilitas Pemilu, dan berbagai kasus bisa dibeberkan di MK. Hal ini, merupakan kejahatan konstitusi yang membahayakan demokrasi dan penegakkan hukum. Maraknya praktek politik uang dalam setiap pemilihan kepala daerah (Pilkada) berdampak pada banyaknya koruptor terpilih menjadi pejabat. Tindakan semacam ini, memberi dampak semakin sulitnya tindak pidana korupsi diberantas. Wartawan NAGi di berbagai daerah mengirimkan berita ini, dalam bentuk tiga tulisan.

Pemalsuan Surat Mahkamah Konstitusi,
Mahfud Beberkan Permainan Andi Nurpati

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI (MK), Mahfud MD, membeberkan kasus “dugaan” pemalsuan dan penggelapan surat MK yang dilakukan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati. Pihaknya telah mengirimkan surat terkait status Dewi Limpo dengan nomor 112/PAN. MK/VIII/2009 dan 113/PAN. MK/VIII/2009 kepada Andi Nurpati tanggal 17 Agustus 2009. Saat itu, menurut Mahfud, Andi sendiri yang meminta surat-surat itu langsung dikirim ke alamatnya. Namun, saat pertemuan KPU pada 20 Oktober 2009, Andi hanya memberikan surat dengan nomor 113.

Mahfud mempertanyakan, di mana satu surat bernomor 112 yang telah diberikan pada Andi Nurpati. "Andi Nurpati mengatakan bahwa surat MK No 112/PAN. MK/VIII/2009 tanggal 17 Agustus 2009 tidak ada stempel MK. Padahal, dua surat sudah dikirim pada hari yang sama, dengan tanda terima yang sama. Mengapa yang bernomor 113 ada, sementara yang nomor 112 tidak ada? Padahal Andi sendiri yang meminta surat itu dikirim ke alamatnya, semuanya itu berdasarkan kesaksian sopirnya (Andi Nurpati) Aryo dan Matnur di Komisi II DPR,” beber Mahfud, surat itu sengaja diabaikan dan disimpan diarsip oleh Andi,, sehingga tak dibawa ke rapat pleno KPU dan pada Ketua KPU.

Selanjutnya Mahfud beranggapan, jika Andi menyatakan tidak ada stempel, kenapa tidak ditanyakan pada MK untuk memperoleh kepastian surat itu. "Ketika menerima surat itu, Andi Nurpati tidak persoalkan bahwa surat itu tidak berstempel, kepada MK. Harusnya bisa ditanya, jika memang tidak ada stempelnya,” tegas Mahfud, sampai hari ini surat itu pun tidak pernah ditunjukkan, apalagi dikembalikan ke MK.

Menurut Mahfud, Andi Nurpati justeru menunjukkan surat nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009 yang ternyata palsu. Apalagi, Andi menyebutkan bahwa surat itu, dikirim melalui faksimile. Padahal, kata Mahfud, MK tidak pernah memberikan surat melalui faksimile dengan nomor yang disebut oleh Andi Nurpati. "Dari surat itu (yang palsu) tertera faks MK bernomor 021-3800239. Tetapi, dari PT Telkom menegaskan nomor faks tersebut sudah tidak aktif digunakan lagi sejak Juli 2009 dan tidak ada surat yang dikirim melalui faks tersebut pada tanggal 14 Agustus 2009 seperti yang disebut Andi Nurpati," ungkap Mahfud, juga menegaskan, pada rapat pleno KPU 2 September 2009, Bawaslu telah menyatakan keberatan atas keputusan KPU yang berdasarkan surat palsu itu, karena dianggap tidak sesuai dengan putusan MK No 84/PHPU.C/VII/2009. Namun itu, diabaikan oleh Andi Nurpati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar