Sabtu, 30 April 2011

Rendemen Tebu Diperkirakan Turun, Tahun 2010 Produksi Gula di Jatim Turun 360.000 Ton

MALANG, NAGi. Seluruh pabrik gula di Pulau Jawa sudah siap melakukan giling tebu, apakah Pabrik Gula (PG) di bawah naungan PTPN XI, yang dikelola oleh swasta, termasuk PT Rajawali Baru, di Krebet, Kecamatan Bululawang, dan PT Kebon Agung di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Cuaca tahun ini, diperkirakan lebih baik dibanding tahun lalu, sehingga produksi bisa meningkat. Tahun 2010 produksi gula di Jatim turun sebanyak 360.000 ton atau rata-rata sebesar dua ton per hektar. Hal ini, akibat anomali musim, menyebabkan rendemen tebu yang digiling saat itu rata-rata enam persen. Padahal tahun 2009 rendemen tebu bisa mencapai delapan persen.

Pada acara selamatan buka giling 2011 PG Krebet Baru, Kamis (28/4) lalu, yang rencananya mulai giling 13 Mei mendatang. Direktur PG Rajawali Baru Krebet, Syaiful Ali menjelaskan, kapasitas produksi 12.000 kwintal per hari, bila dibandingkan dengan tahun 2010 sama. “Tebu yang dibutuhkan 2 juta ton per musim giling, sehingga target 2011 sama yaitu 12.000 kwintal per hari,” ungkap Ali, yang ketika itu didampingi Kepala Bagian Pertanaman PG Rajawali Baru, Ir Jolly, bakal menerima tebu dari Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang) seluas 45.000 hektar (ha), sedangkan untuk sekitar Krebet luas lahan 25.000 ha.

Menurut Jolly, pada tahun 2010 rendemen tebu ditarget tujuh persen, tetapi realisasinya hanya 6,1 persen. Sedangkan untuk musim giling 2011 ditetapkan sama rendemennya. “Kami target hasil gula tahun 2011 sebanyak 130.000 ton, yang dihimpun dari petani tebu tetap, dan petani tebu yang terdaftar dan bebas. Artinya, kami sudah mempunyai petani tetap harus dilayani lebih dahulu, setelah itu yang terdaftar, baru kemudian yang bebas,” ujar Jolly, gula yang dijual PG seminggu sekali dilakukan lelang dan memperkirakan tebu lari kali ini semakin berkurang.

Sebelumnya Kepala Inspektur Kabupaten Malang, Drs Bambang Siswoko yang mewakili Bupati Malang, H Rendra Kresna mengatakan Kabupaten Malang bersama tiga kabupaten di Jawa Timur (Banyuwangi, Mojokerto, dan Tuban) masuk dalam program swasembada gula nasional. “Oleh karena itu, ketiga daerah ini diminta ikut mendukung program tersebut. Saat ini, Kabupaten Malang beroperasi dua PG, yaitu Krebet Baru dan PG Kebonagung. Namun, masih saja hasil produksi petani tebu di Kabupaten Malang belum sepenuhnya terakomodasi mengingat wilayah perkebunan tebu sangat luas yaitu sekitar 60 ribu ha,” kata Bambang, menjadi perhatian kita bersama agar produksi petani tebu dapat terserab secara maksimum.

Selanjutnya dikatakan Bambang, PG Krebet Baru mempunyai areal perkebunan tebu seluas 21.357,6 ha. “Seluruh komponen masyarakat untuk menjaga dan memelihara perkebunan tebu dan PG Krebet Baru, karena merupakan aset kita bersama agar mampu berproduksi dengan baik dan pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Selain itu, Pemkab Malang berharap kepada PG Krebet Baru kerjasama yang baik sudah berjalan selama ini bisa ditingkatkan, sehingga kontribusi yang diberikan perusahaan kepada masyarakat, daerah dan negara juga semakin besar baik melalui pajak dan retribusi,” harap Bambang, Corporate Social Responbility (CSR), bina lingkungan, dan kemitraan, termasuk kontribusi dalam menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dalam menumbuhkan ekonomi masyarakat.

PTPN XI Target

Dari Surabaya dilaporkan, Sekretaris Perusahaan PTPN XI, Adig Suwandi menargetkan selama musim giling 2011 akan memproduksi sekitar 405.850 ton gula, atau naik dibandingkan 2010 hanya 317.560 ton. “Produksi ini, diperoleh dari areal perusahaan tebu seluas 67.890 ha, terdiri dari 16.925 ha milik sendiri, dan 50.965 ha milik petani. Jumlah ini, dari kompilasi perhitungan di 16 PG di Jatim dengan kontribusi 16 persen produksi nasional,” jelas Adig, rendahnya rendemen tebu sudah terbentuk sejak dari tanaman, karena permintaan agar rendemen petani ditetapkan minimal tujuh persen sulit dipenuhi.

Secara terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Anum Sabil mengatakan musim giling tahun ini, kondisinya dimungkinkan tetap sama dengan tahun lalu. “Hal ini, karena curah hujan yang tinggi akan berpengaruh terhadap rendemen dan kadar gula. Kondisi ini, diprediksi bakal berujung pada turunnya produksi gula tahun 2011,” kata Anum, bukan saja di Jatim, namun bisa terjadi penurunan produksi ini menimpa industri gula nasional.

Dikatakan Anum, dengan penurunan produksi gula dalam negeri, dikhawatirkan memicu harga gula yang tinggi. “Tahun 2010 saja, dari target produksi sekitar 2,7 ton, hanya tercapai 2,2 juta ton. Kondisi ini, berdampak pada tingginya harga gula di pasar yang berkisar antara Rp 9.500,- sampai dengan Rp 10.500,- per kilogram,” ujar Anum, sebagai gambaran dengan rendemen tujuh persen, produksi gula tujuh ton per hektar, pendapatan petani hanya Rp 4 juta per hektar atau Rp 300.000,- per bulan per hektar. Oleh karena itu, harapan PG menetapkan rendemen minimal tujuh persen dan memberikan kepastian hasil bagi petani, sekaligus memacu semangat mereka meningkatkan hasil tebu. (bala/faby/ande)

Jumat, 29 April 2011

Kasus Tower Kabupaten Malang, Dicky Dijeblos dalam Tahanan

MALANG, NAGi. Sepekan lalu setelah pihak penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen (Kabupaten Malang) menetapkan Dicky Widyarto, SH, MHum Pengawai Negeri Sipil (PNS) kasus korupsi di Badan Unit Pelayanan Teradu Perizinan Kabupaten Malang sebagai tersangka, akhirnya kemarin, Kamis (28/4) di jebloskan ke dalam tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Lowokwaru, Kota Malang. Dicky diduga menyalah kewenangan sebagai pejabat, pihak yang mengurus perizinan tower yang berada dalam wilayah Kabupaten Malang dipalsukan tandatangan para pejabat dan dananya sejak tahun 2009-2010 tidak disetorkan ke UPT Perizinan sebagai kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Kepanjen, Ardito Muwardi mengatakan, tersangka Dicky dititipkan ke LP Lowokwaru sebagai tahanan penyidik Kejari selama 20 hari. “Pihaknya sementara melakukan penyidikan terhadap pejabat-pejabat yang terkait dengan perizinan tower, seperti pejabat dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatikan, Dinas Pendapatan Pengelolaa Keuangan dan Asset. Selain itu, Dicky juga masih akan tetap diminta keterangan,” kata Muwardi, alasan penahanan itu, karena sudah memenuhui unsur subjektif dan objektif.

Secara terpidah Dicky yang ketika ditemui di Kantor Kecamatan Singosari, mengatakan ia tidak bekerja sendiri. “Kalau tidak bekerja dengan orang lain atau pihak lain, maka tidak akan terjadi semuanya itu. Bagaimana bisa ada penetapan pajak, jika tidak bekerjasama dengan pejabat atau petugas di DPPKA,” ungkap Dicky, pada pelantikan tanggal 7 Januari 2011 lalu diturun pangkat setingkat dan dimutasi ke Kasubdit Pendidikan dan Pelatihan Teknis Subtantif Badan Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Malang.

Dicky berjanji, akan membuka semuanya ke penyidik Kejari Kepanjen, dan bila semua nama-nama yang disebutnya tidak disidik, maka ia akan membuka dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) surabaya atau Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen. “Memang tidak ada bukti alur dana ke mana saja dan pejabat yang bersangkutan tidak ada bukti,” harap Dicky, hakim di pengadilan akan percaya kemana saja aliran dana tersebut, karena tidak ada bukti berupa kuitansi atau nota penerimaan. (bala/faby)

Serah Terima Jabatan Kasi Intelijen Kejari Batu

BATU, NAGI. Serah terima jabatan, pelantikan dan pisah sambut, pejabat Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kota Batu dari Suratman, SH kepada pejabat baru Fajar Sapto Sudomo, SH yang disaksikan Kepala Kejaksaan Negeri Kota Batu, Kamis (28/4) berlangsung di Kantor Kejari Kota Batu. Suratman dimutasikan ke Kejari Bondowoso sebagai pejabat Kepala Seksi Datum, dan Sapto sebelumnya menjabat Kasubsi Intel Kejari Cibinong.

Ketika para wartawan Kota Batu naik ke lantai dua tempat acara berlangsung, seorang pegawai Kejari Kota Batu melarang para wartawan untuk meliputi acara tersebut. “Ini, hanya acara interen saja, kenal pisah pejabat, dan musik hanya mengiring penyanyi local, tidak mengundang siapa-siapa termasuk wartawan” kata seorang petugas, dan meminta para wartawan untuk turun ke lantai satu, ruang loby atau tempat piket.

Atas perlakuan petugas itu, para wartawan pun turun dan tidak mau meliputi acara tersebut. John wartawan dari Hukum dan Kriminilitas (HK) Jakarta mengatakan, dirinya merasa tersinggung dengan perilaku petugas Kejari itu. “Kami datang hanya mau menyaksikan acara ini, karena bagaimanana pun kami sebagai wartawan perlu menyaksikan acara tersebut,” gerutu John, para wartawan hadir di sini, karena ada ikatan bathin/emosional saja dengan Kasi Intelijen yang lama, Pak Suratman. (ger)

165 Kades Kabupaten Malang, Ke DPR Mendesak Segera Membahas RUU Desa

MALANG, NAGi. Sejumlah 165 Kepala Desa (Kades) dari 372 desa di 33 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Malang, Kamis (28/4) ke Jakarta untuk melakukan audensi dengan anggota DPR RI, dan mendesak segera membahas revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Desa yang di dalamnya mengatur tentang Desa. Selain ke DPR, mereka yang mewakili Kades Provinsi Jawa Timur juga akan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).

Ketua Asosiasi Kepala Desa dan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Malang, Drs Didik Gatot Subroto, MSi, MHum mengatakan, mereka akan bergabung dengan untusan Kades dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. “Kami meminta DPR segera melakukan pembahasan dan pleno RRU Desa. Jika, RUU tersebut tidak diplenokan, maka tanggal 7 Mei mendatang seluruh Kades dan perangkat desa seluruh Indonesia akan ke Jakarta (DPR),” jelas Didik, yang juga kepala Desa Tanjungtirto, Kecamatan Singosari.

Menurut Didik, mereka akan mendesak usulan dari Apdesi, yaitu tentang penghapusan masa jabatan Kades yang selama ini dalam UU mengatur enam tahun, diganti dengan pembatasan umur. “Selain itu, kami juga mendesak agar segala pembiayaan menyangkut Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dibebankan kepada APBD yang akan disesuaikan dengan kemampuan daerah. Juga, masa jabatan perangkat desa selama ini 12 tahun dihilangkan, diganti dengan usia maksimal 60 tahun,” ujar Didik, yang mengatakan mereka ke Jakarta sudah minta izin kepada Bupati Malang, H Rendra Kresna, dan masing camat dari kepala desa.

Dalam UU No 32 Pasal 204 mengatakan, masa jabatan kepala desa enam tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Menurut Didik, kami usulkan agar kepala desa yang usianya masih mudah dapat dipilih kembali untuk lebih dari dua kali periode, sampai batas maksimum umur 60 tahun. “Dalam UU 32 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa tidak mengatur masa jabatan perangkat desa, hanya dalam Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2006 Kabupaten Malang mengatur 12 tahun, maka kami susulkan dalam RRU Desa itu agar dimasukkan menjadi usia maksimal 60 tahun,” harap Didik otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal-usul dan nilai-nila sosial budaya yang terdapat pada masyarakat desa serta diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri. (ger)

Walikota Malang Peni Suparto, Minta Tambah Dana Cukai

MALANG, NAGi. Walikota Malang, Drs Peni Suparto, MAP akan meminta kepada pusat tambahan dana bagi hasil cukai yang diberikan pemerintah pusat kepada Pemerintah Kota Malang. Tahun 2011 ini, Pemkot Malang hanya memperoleh Rp 17 miliar masih jauh dari angka ideal yang ditetapkan sebesar satu persen dari pendapatan cukai seluruhnya mencapai Rp 7 triliun.

Menurut Peni, di Kota Malang terdapat 102 pabrik rokok yang beroperasi, sehingga dampak dari kegiatan pabrik rokok juga makin luas dan lingkungan yang perlu direhabilitasi akibat dapat buruk dari rokok. “Dampak luas dari rokok itu, Pemkot Malang membutuhkan dana yang cukup besar untuk merehabilitasi, sekaligus mengamankan wilayah yang berdekatan dengan pabrik rokok tersebut,” tegas Peni, dampak rokok juga dari Kabupaten Malang, Kota Batu, sehingga perlu penanganan yang terpadu antara Kota Malang Raya.

Selanjutnya dijelaskan Peni, dana tersebut untuk pelatihan para karyawan pabrik, karyawan yang putus hubungan kerja dengan pabrik rokok, penyuluhan dampak buruk rokok, pembangunan lokasi-laksi bebas merokok dan peralatan medis yang berhubungan dengan dampak merokok. “Kami juga telah menerapkan untuk menghijaukan lingkungan pabrik dengan mewajibkan setiap perusahan menanam pohon umur tahunan, dan sudah dilaksanakan oleh pabrik-pabrik yang mempunyai lahan, atau di depan jalan raya,” harap Peni, dan untuk dana bagi hasil cukai telah dibagi-bagikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti; Dinas Kesehatan, Koperasi dan UKM, dan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (BKBPM).

Secara terpisah anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Isa Ansori meminta agar secepatnya direalisasikan program pembangunan kawasan khusus bagi perokok terutama di tempat-tempat umum. “Tahun 2011 ini, sudah harus terealisasi, karena anggaran juga diambil dari dana bagi hasil cukai sebesar Rp 17 miliar,” ungkap Ansori, mengharapkan Peraturan Daerah (Perda) pembatasan area merokok segera dieralisasikan, sehingga masyarakat yang menjadi perokok pasif (dampaknya) tidak terganggu. (ivan/anik)

Kamis, 28 April 2011

Pelayanan Publik Nilai Merah, Kinerja Daerah Pemekaran Buruk Mengais Kepentingan

MALANG, NAGi. Hasil evaluasi pemekaran daerah otonom hasil pemekaran 1999-2009 yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, menunjukkan hampir semua mendapat nilai merah untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik, pelayanan publik, dan daya saing. Pemekaran tujuh daerah provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota hasil pemekaran sepanjang periode 1999-2009, hanya dua daerah mendapat nilai total di atas 60 dari nilai tertinggi 100. Kedua daerah itu adalah, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan dengan nilai total 64,61 dan Kota Cimahi, Jawa Barat dengan nilai 60,43.

Menurut George da Silva, Direktur Lembaga Research and Konsultant, Pemantau dan Evaluasi Otonomi Daerah hal ini bisa terjadi, karena pembentukan daerah otonomi berlatar belakang kepentingan elit daerah (lokal), tetapi bukan kepentingan pembangunan masyarakat daerah yang bersangkutan. Selain itu, banyak orang yang mengais termasuk partai politik di DPRD dan berebutan kursi bupati/walikota/gubernur. Diperparah lagi dengan perebutan jabatan birokrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) asal daerah tersebut.
Banyak daerah yang mendapat nilai minimal untuk kategori tertentu. Kabupaten Toraja Utara (Sulawesi Selatan), Tulang Bawang Barat (Lampung), Yalimo (Papua), Kepulauan Aru (Maluku), Gorontalo Utara (Gorontalo), Kepulauan Meranti (Riau), Moratai (Maluku Utara), Mesuji (Lampung), Sigi (Sulawesi Tengah), dan Maluku Barat Daya (Maluku) mendapat nilai nol untuk indikator daya saing. Kabupaten Deiyai (Papua) mendapat nilai kosong indikator kesejahteraan rakyat. Kabupaten Puncak Jaya dan Piniai di Papua memperoleh nilai kosong untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintah, dan daya saing.
Selanjutnya dikatakan George, bila pemekaran daerah baru diperburuk lagi dengan kepentingan anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) daerah tersebut, yang bermain mata dengan tim dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi, dan kementerian yang terkait dalam tim. “Sudah tentu mereka semua itu dibayar atau diiming-iming dengan janji oleh pengusul daerah pemekaran, sehingga daerah itu tidak layak terutama dari segi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari induknya apabila pemekaran. Tetapi, mental birokrasi dan anggota DPR kita seperti itu, dengan terpaksa meloloskan menjadi daerah pemekaran baru,” ungkap George, yang juga penulis buku Anggaran Publik Pemerintah Daerah (2045) ini bukan rahasia lagi tingkah laku mereka.
Selain itu, menurut George, daerah pemekaran itu tidak ada dalam bentuk pengawasan yang serius dari pemerintah pusat terutama Kemendagri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah juga seperti sudah “dikebiri”. “Bahkan daerah pemekaran itu menjadi proyek dari semua kementerian untuk pembangunan selama 10 tahun ke depan. Setiap pejabat di kementerian yang bersangkutan mematok angka 10 persen untuk sebuah proyek dan uang itu masuk kantong pribadi. Jika, daerah tidak mau, maka tidak akan mendapat cucuran dana proyek tersebut,” kata George, juga penulis buku Gaya Kepemimpinan Situasional Kepala Daerah (2005), oleh karena itu mengharapkan presiden dan menterinya mengambil tindakan tegas atas segala tingkah laku bawahannya.

Masih Berusaha Menyusun

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi di Jakarta, Selasa (26/4), mengatakan nilai rendah wajar, karena banyak daerah pemekaran baru berusia 0-3 tahun. “Daerah ini, masih berusaha menyusun organisasi, pola kerja, dan memenuhi sumber daya manusia. Nilai nol yang diperoleh, disebabkan daerah-daerah tersebut tidak melampirkan apa pun untuk kategori-kategori tersebut,” bela Gumawan, dari 205 daerah otonom baru, 57 daerah diantaranya berusia 0-3 tahun
Diharapkan moratorium harus diberlakukan sampai desain penataan daerah dan perbaikan pelaksanaan otonomi daerah berlangsung. “Karena masih antri untuk daerah pemekaran, jika pemerintah tidak melakukan seleksi yang ketat dengan kriteria yang jelas, maka akan mucul daerah pemekaran yang dikomando oleh elit-elit politik, para pengusaha untuk membiayai pendemo ke Jakarta atau daerah yang bersangkutan,” harap George, sekarang misalnya daerah meminta pemekaran Kabupaten Malang Utara berpisah dari induknya Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur yang sebelumnya telah melepas Kota Batu, dan Kabupaten Adonara minta berpisah dari induknya Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sebelumnya telah melepaskan Kabupaten Lembata. (nico/ris)

Rabu, 27 April 2011

Perselingkuhan Elit Politik, Pemodal, dan Mafia Hukum, Legislator Benalu dan Pemecatannya

PARA LEGISLATOR sering jadi benalu negara, merusak sari pati induk semangnya-rakyat-tanpa ampun. Rakyat jadi korban oleh wakilnya sendiri di parlemen. Gedung parlemen tak lagi berfungsi sebagai gedung para pejuang aspirasi rakyat, tetapi telah beralih fungsi menjadi arena perselingkuhan elit politik, pemodal dan mafia hukum. Itu sebabnya, undang-undang (UU) yang dihasilkan DPR tak lebih dari “anak haram” buah perselingkuhan kotor itu dan bermuka dua lembut kepada elit, sangat garang kepada rakyat.
Albert Venn Dicey mengatakan bahwa ada jarak antara produk hukum yang dihasilkan elit dan harapan masyarakat. Jarak itu tercipta, karena mendominasinya hasrat politik dalam pembentukan UU. Semakin hari jarak itu semakin lebar. Terjadilah jurang yang memisahkan anggota DPR dan rakyat yang diwakilinya. Padahal, gagasan meletakkan fungsi legislasi pada institusi wakil rakyat tak lain agar aspirasi rakyat tersalur ke dalam UU.
Bagi Ronald Dworkin, hanya orang-orang berjiwa sentimental yang percaya bahwa UU buatan wakil rakyat merupakan produk legislasi murni dan punya niat bersih. Harus disadari bahwa UU adalah poroduk politik. Akan selalu ada hasrat terselubung mengiringi proses legislasi, sehingga kehendak pembentuk UU, yaitu legislator, sering bertentangan dengan kehendak politik.

Pemalas dan Berkeluyuran

Selain menghasilkan produk UU yang tidak prorakyat, DPR juga sangat dikenal dengan tipologi pemalas. Profil rakyat kita dapat digambarkan dengan penidur, suka foto-foto saat sidang, menonton video porno saat kerja, dan hobi berkeluyuran ke luar negeri. Wajar, jika akibat kemalasan tersebut, fungsi legislasi sebagai fungsi utama DPR tak berjalan mulus.
Menurut Sebastian Salang, selama satu tahun masa kerja, Oktober 2009- Oktober 2010, hanya tujuh UU yang dihasilkan DPR. Lima diantaranya malah merupakan UU ratifikasi perjanjian internasional dan satu inisiatif pemerintah. Artinya UU itu lahir bukan hasil kerja anggota DPR. Kemalasan itu, diiringi dengan kebiasaan hidup mewah. Ide gedung baru parlemen dan berulangnya kunjungan kerja ke luar negeri membuktikan bahwa wabah hedonisme telah menyusupi jiwa DPR. Belum lagi fakta keterlibatan anggota DPR dalam pelbagai perkara korupsi. Paripurna sudah “rakyat tak putus dirundung malang” oleh perbuatan wakil-wakilnya.
Sialnya, wakil rakyat di parlemen cenderung tergolong makhluk tak peduli. Mereka tutup mata akan keadaan rakyat., tutup telinga terhadap kritik publik, tutup mulut untuk memperjuangkan aspirasi konstituen, bahkan menutup hati nurani terhadap degradasi moral sesama anggota DPR. Sulit rasanya membiarkan para wakil rakyat yang berkinerja buruk terus duduk di palemen. Sayang, kehendak untuk memecat-istilah keren yang sering digunakan adalah recall anggota DPR terletak pada partai politik.
Di India, Negara Bagian Oregon di Amerika Serikat, dan Uganda, pemecatan dapat dilakukan rakyat. Keterangan ini, tersua dalam karya Vinod Bhanu, Recall of Parlaimentarians; A Prospective Accountability (2007). Di Jepang, dengan mengumpulkan petisi (pernyataan sikap) sebanyak 10 persen suara rakyat di daerah poemilihan tertentu, seorang anggota parlemen dapat dipecat. Di AS, setiap pejabat negara baik-eksekutif, legislatif, mau pun yudikatif-dapat diberhentikan melalui pencemaan alias impeachment di pengadilan.

Pecat Oleh Rakyat

Oleh karena itu, kewenangan memecat anggota DPR di Indonesia oleh Parpol bertentangan dengan asas-asas demokrasi. Banyaknya, rakyat yang memilih wakilnya secara langsung, Parpol yang kemudian berhak memberhentikannya di parlemen. Seharusnya kehendak memecat wakil rakyat datang dari rakyat itu sendiri.
Penyerahan mekanisme pemecatan kepada rakyat cenderung akan jadi dikursus panjang di Indonesia. Perlu dipertimbangkan mekanisme lain yang tak mengabaikan semangat kedaulatan rakyat. Pola gabungan dapat dijadikan pilihan untuk memecat anggota DPR. Dengan memadukan pola Jepang dan AS, mekanisme pemecatan akan mampu menjaga kedaulatan partai.
Mekanisme dapat dimulai dengan pengumpulan petisi sebanyak lima persen dari suara rakyat di daerah pemilihan anggota DPR tekait (pola Jepang). Bila petisi terpenuhi, para pengumpul petisi dapat mengajukan perkara pencemaan ke lembaga peradilan yang ditunjuk untuk itu oleh UU (pola AS). Jadi, pemecatan tetap terjadi, karena kehendak rakyat. Stabilitas di parlemen dapat terjaga, karena pemecatan anggota DPR harus melewati putusan lembaga peradilan. Pemecatan yang merakyat, merupakan kebutuhan mendesak. Sistem pemecatan yang baik akan mampu mengurangi legislator benalu di parlemen kita.

FERI AMSARI
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Tubuh Anak Laki Lebih Pendek daripada Anak Perempuan, Masalah Gizi sebagai Beban Ganda

HASIL RISERT KESEHATAN DASAR 2010 mengungkapkan bahwa jumlah penderita gizi kurang/buruk di kalangan anak Balita mencapai 17 persen, sementara jumlah anak gemuk 14 persen. Inilah fenomena beban ganda yang kini dihadapi bangsa kita. Kondisi gizi masyarakat juga dibebani oleh persoalan anak pendek yang jumlahnya sepertiga anak Balita. Tubuh anak laki-laki usia lima tahun lebih pendek 6,7 senti meter (cm) dari standar anak perempuan kurang 7,3 cm dari tinggi seharusnya.
Meski persoalan gizi kurang disadari sebagai masalah multikompleks dengan penyebab mulai dari keterbatasan ekonomi, terkendalanya akses pangan, sosial-budaya, hingga kurangnya pengetahuan gizi faktor utama yang mendasari adalah kemiskinan. Masalah gizi kurang di Indonesia tak kunjung teratasi, karena program pengentasan orang miskin juga belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Potret kondisi konsumsi pangan bangsa kita masih mengkhawatirkan. Gambaran pola konsumsi pangan kita menunjukkan hanya karbohidrat dan lemak yang telah melebih persentase anjuran 100 persen. Yang masih sangat kurang dikonsumsi masyarakat adalah umbi-umbian (51,7 persen), pangan hewani (60,0 persen), kacang-kacangan (69,7 persen), dan lain-lain.
Pesoalan konsumsi pangan yang mengangkat aspek kualitas (keragaman) dan kuantitas dapat berdampak baru pada mutu kesehatan rakyat. Salah satu dari ketidakbermutuan konsumsi pangan ialah, jika masyarakat lebih mengandalkan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan kurang mengomsumsi pangan hewani. Konsumsi riil pangan hewani rata-rata orang Indonesia adalah 7-8 kilo gram (kg) daging per kapita per tahun, 7-8 liter susu, 3-4 kg telur, dan sekitar 26 kg ikan. Angka itu, masih kalah dibandingkan dengan Malasya, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam. Jadi, bagaimana kita bisa bersaing dengan bangsa-bangsa maju di dunia kalau di Asia Tenggara saja kita sudah terpuruk.
Pada 1997 WHO Expert Consultation on Obsesity sudah memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di beberapa belahan dunia. Apbalia tidak ada tindakan berarti untuk mengatasi masalah yang bersifat pandemik ini, jutaan manusia, baik di negara maju mau pun negara berkembang akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs), seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memotret masalah kegemukan dan obesitas di dunia menggunakan data sebagian besar diperoleh dari jurnal ilmiah yang terbit dalam rentang waktu 20 tahun (1983-2004). Hampir separuh publikasi yang dijadikan referensi adalah terbitan di atas tahun 2001. Ini menunjukkan, sejak tahun 2000 perhatian terhadap persoalan kegemukan ini, makin besar dan jadi agenda riset utama terkait isu kesehatan dan gizi masyarakat. Sampai akhir 2004 WHO berhasil mengumpulkan data dari 97 negara. Problem yang dihadapi negara-negara maju terkait masalah kegemukan dan obesitas tampaknya lebih berat dibandingkan dengan negara berkembang sekitar 50 persen atau lebih penduduk di negara maju mengalami kegemukan. Sementara di negara berkembang 20-30 persen. Bahkan di Amerika Serikat hampir sepertiga penduduknya menderita obesitas.
Hal ini, tentu terkait dengan tingkat kesejahteraan negara-negara maju, sehingga masyarakatnya mengomsumsi kalori dan lemak jauh melebihi kebutuhan tubuh. Sangat menarik mengamati data kegemukan di Jepang, dengan tingkat kemakmuran tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi daripada Amerika dan negara-negara Eropa. Ternyata, prevalensi kegemukan hanya 23,5 persen dan obesitas 3,1 persen. Presentase ini, khususnya kegemukan, lebih rendah dibandingkan dengan Malasya, Korea Selatan, dan China.

Perlu Intervensi Serius

Kenaikkan berat badan akibat konsumsi kalori berlebihan berdampak buruk bagi tekanan darah. Orang menjadi lebih rentan terhadap masalah hipertensi. Selanjutnya, hipertensi dan kegemukan ini menjadi penyumbang faktor resiko munculnya penyakit jantung koroner yang mengakibatkan kematian.
Studi longitudinal pada alumni Universitas Harvard menunjukkan, seorang mempunyai rentang usia lebih panjang 40 persen apabila badannya ramping dibandingkan dengan yang berbadan gemuk. Tubuh ramping juga menurunkan resiko terserang penyakit jantung menjadi 60 persen lebih kecil. Kegemukan terkait erat dengan pola makan dan gaya hidup. Anak-anak yang menjukai junk food (makanan sampah) sebenarnya banyak memasukkan kalori ke dalam tubuhnya. Saat ini, gaya hidup sedentary yang miskin aktivitas fisik juga semakin menggejala, sehingga memperkuat proses terjadinya kegemukan.
Dengan menyadari bahwa kegemukan menjadi ancaman serius tercapainya kesehatan yang optimal. Jajaran kesehatan diharaplkan jangan terlena dengan hanya memerangi masalah gizi kurang. Masalah gizi lebih seperti kegemukan dan obesitas juga memerlukan intervensi program kesehatan yang serius. Sosialisasi bahaya kegemukan harus selalu dikumandangkan di tingkat masyarakat, sehingga mereka biasa menerapkan pola makan seimbang (tak berlebihan) dan melakukan olahraga teratur.
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang diluncurkan Kementerian Kesehatan sejak 1996 nyaris tak ada gaungnya. Sementara empat sehat lima sempurna, kini dikritik kanan-kiri sebagai moto yang dianggap keliru dan harus diganti. Sejatinya tidak ada yang keliru pada moto tersebut. PUGS dan empat sehat lima sempurna tidak perlu dipertandingkan, tetapi dipersandingkan agar sama-sama dipahami masyarakat sebagai upaya meraih hidup sehat.

ALI KHOMSAN
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB.

Satu Dekade Otonomi Berlangsung, “Quo Vadis” Otonomi Daerah

APRIL INI, sepuluh tahun sudah Indonesia memasuki era otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah tak hanya menandai sistem desentralistis berakhir, tetapi juga langkah penting bagi daerah menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik melayani dan mensejahterakan rakyat. Apakah setelah satu dekade, otonomi daerah sesuai dengan harapan rakyat?

Satu dekade relatif singkat mewujudkan impian terdalam rakyat. Apakah, karekteristik daerah di Indonesia sangat beragam; geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, ekonomi, etnisitas, agama, dan budaya. Namun, janganlah hendaknya hal ini dijadikan apologi. Ia harus disikapi sebagai tantangan untuk menyemangati perwujudan keadilan dan kemakmuran rakyat.
Praktek otonomi daerah masih jauh dari tujuan utamanya. Dua indikator menjelaskan hal ini. Pertama, kualitas pelayanan publik masih rendah. Baru sekitar 10 persen dari 524 daerah (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota) mampu melakukan yang terbaik dalam pelayanan publik. Kedua, jumlah penduduk miskin dan pengangguran terbuka masih cukup tinggi, masing-masing sekitar 31,02 juta dan 8,59 juta jiwa (BPS, 2010). Kenyataan itu, tentu bertolak belakang dengan tujuan otonomi mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud.
Sejauh ini, soal utama pelaksanaan otonomi daerah tak hanya komitmen politik para elit yang rendah, tetapi juga pengawasan, pengawalan, dan penegakan hukum yang kurang. Pelaksanaan Pilkada sejak 2005 turut mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Umum diketahui, Pilkada sarat dengan paraktek politik uang, sehingga sulitlah diharapkan kepala daerah terpilih yang punya integritas, kapasitas, dan keberpihakan kuat kepada kesejahteraan rakyatnya.

Pelopor Terdepan

Seharusnya kepala daerah terpilih jadi pelopor terdepan melawan politik uang sambil membangun sistem kerja birokrasi berdasarkan imbalan dan hukum serta menciptakan program pembangunan yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada aparat, sebagai konsekuensi logis janji kampanye mereka. Faktanya, hanya sebagian kecil kepala daerah memenuhi komitmennya membuat yang terbaik dalam pelayanan publik. Sebagian besar sibuk mengurus diri dan kelompoknya.
Kegagalan otonomi daerah 10 tahun ini juga, disebabkan kesan elitis, lebih melibatkan eksekutif dan legislatif daerah dan mengesampingkan partisipasi publik serta memperlihatkan kepentingan elit pusat. Dalam pembuatan UU, misalnya, aspirasi dan kepentingan daerah banyak yang tak terakomodasi dengan baik. Tak sedikit program pembangunan ekonomi yang sia-sia lantaran proses pembuatan program dan pelaksanaannya mengabaikan partisisipasi rakyat.
Sebagai pemilik kedaulatan, partisipasi rakyat dalam otonomi daerah seharusnya di lihat sebagai sebuah keniscayaan. Persepsi yang mengangap bahwa rakyat tak cukup pintar untuk terlibat dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan yang berkenaan dengan hajat hidupnya sendiri merupakan persepsi yang menistakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Justeru dengan keterlibatannya yang tinggi, masyarakat kian menyadari hak dan kewajibannya, sebab sejatinya rakyat bukanlah pihak yang tak tahu diri, apalagi tak tahu berterima kasih.
Secara umum ada empat tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Pertama, tumpang tindih peraturan yang membingungkan daerah. Dampaknya, tak hanya hilangnya legilitas peraturan yang ditetapkan daerah, tetapi juga telah melahirkan banyaknya peraturan daerah bermasalah. Kedua, persepsi sepihak daerah tentang kewenangan. Tak sedikit kepala daerah yang sempit memahami otonomi daerah sebagia pihak yang diberi wewenang luas mengatur daerahnya. Selain mengaburkan realisasinya dengan struktur pemerintahan di atasnya, persepsi ini juga turut menyuburkan “raja-raja kecil” di daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan wewenang antar daerah dan antar jenjang pemerintahan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 yang memayungi kewenangan daerah dinilai sangat rumit, amat sektoral, dan membingungkan daerah. Keempat, kolobrasi elit dan pengusaha dalam mengeksplotasi daerah yang muncul sebagai akibat langsung dari politik transaksional dalam Pilkada. Olehnya, birokrasi cenderung tak profesional dan netral, sehingga menghambat fungsi pelayanan publik dan memunculkan kebijakan yang tak probisnis.

Yang Mendesak

Di tengah kegamangan otonomi daerah seperti ini, tak sedikit elit politik lokal dan pusat yang melihat otonomi daerah sebagai ladang baru beroleh kekuasaan. Dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, banyak di antara mereka yang menjadikan isu pemekaran daerah sebagai obat mujarab kegagalan otonomi daerah.
Dalam kurun 1999-2010 jumlah daerah otonomi baru mencapai 205 (tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota). Alih-alih mempercepat kesejahteraan rakyat, pemekaran daerah hanya memperberat APBN. Yang mendesak dilakukan reformasi kelembagaan daerah dan atau birokrasi lokal, secara konseptual mau pun komperhensif, yang mencakup perbaikan birokrasi di pusat sampai daerah. Kemudian memperbaiki penyelenggaraan Pilkada di 398 kabupaten dan 93 kota untuk melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan rakyat dan memperkecil terjadinya konflik, kerusuhan, dan amukan massa dalam Pilkada yang hanya berujung pada penderitaan rakyat.
R SITI ZUHRO, Peneliti Utama LIPI

Selasa, 26 April 2011

Di Kewedanan Kepanjen, Wanita Nikah Dini di Bawah Usia 20 Tahun 31,48 Persen

MALANG, NAGi. Dewasa ini di Kabupaten Malang, dijumpai pernikahan pertama wanita usia dini di bawah 20 tahun cukup tinggi yaitu 31,48 persen dari total perkawinan. Usia nikah ini, tertinggi di wilayah eks Kewedanan Kepanjen, Kabupaten Malang ada pada Kecamatan Nganjum 205 pasang atau 41,67 persen dan yang paling rendah di Kecamatan Sumber Pucung 139 pasang atau 26,18 persen.
Sekretaris Badan Keluarga Berencana Kabupaten Malang, Drs Ichwan Machnuni, MSi mengatakan dalam acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Tokoh Agama Program Keluarga Berencana Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dari wilayah Eks Kewedanan Kepanjen, dalam rangka meningkatkan kepedulian umat beragama mewujudkan keluarga sejahtera, yang diikuti 42 peserta dari enam agama (Islam, Katolik, Kristen, Buda, Hindu, dan Khonghucu), Selasa (26/4) di Aula Kelurahan Kepanjen, Kecamatan Kepanjen. Acara ini, juga menjadi nara sumber Sekretaris FKUB Drs Mahfudz dengan topik “Peran dan Kepedulian FKUB dalam Mewujudkan Keluarga Sejahtera di Kabupaten Malang”, Drs Zubaidi dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Malang dengan topik “Peran dan Kepedulian Kementerian Agama dalam Mewujudkan Keluarga Sejahtera”, dari Staf BKN Kabupaten Malang PPLKB, Drs Supardi dengan topik “Kerbijakan Program KB dan Advokasi”, dan Kepala Bidang KB dengan topik “KIE Kontap Pria/Wanita”.
Dari kondisi ini, dijelaskan Ichwan banyak faktor yang menyebakan pernikahan di usia dini antara lain, faktor ekonomi, sosial, budaya, dan pengetahuan. “Pernikahan usia dini perlu dicegah, karena banyak sekali resiko yang dihadapi terutama oleh wanita dan bayi yang dilahirkannya serta keluarga yang terbentuk dari pernikahan tersebut. Lebih muda usia wanita yang menikah, lebih panjang masa reproduksinya yang berdampak pada peningkatan fertilitas atau jumlah anak yang dilahirkan. Secara keseluruhan dalam jangka panjang akan memacu laju pertumbuhan penduduk,” kata Ichwan, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan berpengaruh pada pemenuhan kesejahteraannya.
Selanjutnya, Ichwan mengatakan banyaknya jumlah penduduk, semakin sulit untuk pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan dasar akan papan, sandang, dan pangan. “Hal ini, perlunya dukungan dari berbagai pihak dalam pendewasaan usia perkawinan. Antara lain melaui tokoh agama dalam KIE dan Advokasinya, disamping itu juga meningkatkan pembinaan remaja melalui kegiatan PIK remaja. Melatar belakang kondisi di lapangan di Kabupaten Malang usia nikah pertama wanita di bawah 20 tahun masih cukup tinggi,” pinta Ichwan, maka para tokoh agama diharapkan lebih dapat meningkatkan perannya sebagai tokoh panutan di masyarakat, karena melalui peran para tokoh pencapaian program KB lebih meningkat baik kuantitas mau pun kualitasnya.
Menurut Ichwan, tersosialisasinya perkawinan muda bagi keluarga, maka masyarakat diharapkan semakin memahami pentingnya pendewasaan usia perkawainan tidak saja dari peningkatan kualitas hidup wanita dan bayi yang dilahirkan serta keluarga yang terbentuk. Juga dari meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum dalam rangka mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera

Peran FKUB

Menurut Mahfudz, FKUB di Kabupaten Malang baru terbentuk bulan Maret 2007, mengingat program KB Nasional merupakan subsistem dari program pembangunan kependudukan, maka FKUB dalam peran dan kepeduliannya, juga dituntut mengetahui secara garis besar kaitannya dengan keluarga sejahtera. “Sesuai arah strategis Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025 Kabupaten Malang, dari tujuh program utama, antara lain adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, meningkatkan kualitas keluarga dan pengaruh utama gender,” jelas Mahfudz, di Kabupaten Malang jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 2.443.603 jiwa, umat beragama Islam sebanyak 2.385.716 jiwa, Kristen 62.950 jiwa, Katolik 26.860 jiwa, Hindu 13.146 jiwa, dan Budha 4.422 jiwa, sedangkan Khonghucu belum ada datanya.
Peran FKUB dalam program kependudukan dan keluarga sejahtera, kata Mahfudz adalah, peningkatan wawasan keagamaan yang dinamis untuk pembangunan nasional, penguatan peran agama dan pembentukan karakter dan peradaban bangsa, dan peningkatan kerukunan umat beragama dalam membangun kerukunan nasional. “Tugas FKUB mempengaruhi pemerintah dalam penetapan kebijakan mensejahterakan masyarakat, menjadi parner pemerintah dalam merumuskan peraturan daerah, dan memberi perhatian dan berperan dalam menanggulangi masalah kesejahteraan sosial masyarakat,” tegas Mahfudz, selain itu FKUB harus aktif dalam perumusan kebijakan publik yang berkenaan dengan masyarakat banyak, misalnya dalam hal APBD Kabupaten Malang.
Selanjutnya dijelaskan Mahfudz, potensi FKUB sangat strategis, karena forum ini dibentuk oleh masyarakat, sedang posisi pemerintah hanya sebagi katalisator saja. Juga sangat kuat, karena FKUB memiliki dasar hukum yang dilandasi pembentukannya. Namun, FKUB tidak dapat bekerja sendiri, diperlukan dukungan dan kerjasama dengan semua pihak yaitu, Majelis Agama, Ormas Keagamaan, masyarakat dan pemerintah. “Tugas FKUB adalah melakukan dialog, menampung aspirasi, menyalur aspirasi, pemberdayaan masyarakat, dan memberi rekomendasi pendirian rumah ibadat,” tutur Mahfudz, sedangkan peran FKUB adalah sebagai inspirator, motivator, dinamisator, mediator, dan katalisator perantara timbal balik.
Dikatakan Mahfudz, jalur bertindak FKUB melalui dialog dengan dewan penasehat dan instansi pemerintah terkait. Dialog dengan ormas-ormas keagamaan, dialog dan sosialisasi dengan masyarakat luas, dialog dengan lembaga perwakilan yaitu DPRD Kabupaten Malang. “Kami, turun ke lapangan, apabila ada sesuatu masalah antar agama yang perlu diselesaikan secara baik-baik, sehingga menjaga kerukunan antar umat beragama jangan bergejolak di wilayah Kabupaten Malang,” harap Mahfudz, walau pun terbentuk tahun 2007 FKUB berkerja tanpa dana dari pemerintah, baru tahun 2009 mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Malang sebesar Rp 50 juta, tahun 2010 sebesar Rp 100 juta, dan tahun 2011 ini sebesar Rp 150 juta, serta sebuah mobil bantuan dari Pemkab Malang buatan tahun 1996 yang jalannya sudah seok-seok, tidak sesuai dengan kondisi jalan di wilayah Kabupaten Malang, tetapi FKUB tetap bekerja tanpa pamrih. (kiki)

Senin, 25 April 2011

Antara Cikeusik dan Kalvari

ANTARA CIKEUSIK DAN KALVARI ada jembatan batin walau beda warna. Ada orang dibunuh, karena punya keyakinan batin tertentu. Orang Cikeusik, Pandeglang, Banten, mati di tempat sendiri, karena yakin akan iman mereka. Juga, menurut beberapa orang lain, mereka pantas mati. Kematian mereka menarik orang lain dari pelbagai keyakinan.
Mereka menunjukkan simpati, kesetiakawanan, dan berkumpul di sekitar jenazah. Banyak di antara mereka dari aneka agama terperenyak dengan kematian beberapa saudara itu. Sayang, mereka tak punya daya membela orang-orang yang jadi saksi dari iman mereka sampai titik darah terakhir. Sementara itu, yang mempunyai daya serta kuasa tidak tersentuh bela rasanya untuk mencegah pembunuhan itu.

Tanpa Batas Sosial
Di sekitar keranda Teresa dari Kolkuta berkumpul banyak pelawat juga. Perempuan dari Eropah Tenggara itu mati di India, diratapi oleh orang yang tidak terbilang jumlahnya, tanpa batas keyakinan dari agama apa pun. Mereka bebela rasa dengan orang yang sepanjang hidupnya begitu murah hati memberikan hidupnya bagi sesama yang malang, malah orang yang dekat dengan para orang malang itu tidak tergerak hatinya.
Bahkita adalah orang Afrika, bekas budak, yang kemudian menghabiskan waktu untuk rekan seperbudakan pada abad ke 20 tanpa hemat waktu dan kesehatan. Kematiannya ditangisi kaum tertindas di negaranya tanpa batas sosial dan agama. Jenazahnya dikelilingin orang-orang yang merasakan keluasaan hati Bakhita. Hormat mereka tak memakai ukuran uang dan kursi.
Takala Carol Wojtyla mati, di sekelilingnya menangis ribuan orang dari aliran politik apa pun, hampir segala agama, sistuasi ekonomi apa pun, suku mana pun. Ukuran penghormatan yang umum diberikan kepada orang meninggal. Waktu itu terlampaui oleh rasa kagum pada kesetiakawanan. Orang yang mengintari jenazah biasanya menunjukkan bagaimana kedekatan atau hormatnya. Umumnya orang-orang itu sudah tidak memperhitungkan imbalan dari kehadirannya di sekitar jenazah. Lain halnya dengan hadir dalam pesta pernikahan.
Orang hanya mampu menunjukkan bela rasa, atau rasa cinta, atau penghargaan setulus-tulusnya kepada si mati, sebab di jenazah toh sudah tidak melihat, mendengar, atau merasakan jasa kehadirannya, dan tidak akan membalas apa pun. Paling jauh si pelayat hanya akan menantikan balasan dalam hidup kekal atau dari Tuhan, itu pun kalau yang bersangkutan masih punya kepercayaan akan hidup kekal atau akan Tuhan. Kalau ia mau “unjuk muka” kepada keluarga “yang ditinggalkan”, itu pun dengan nilai yang amat terbatas. Jembatan itu, ada antara Cikeusik dan Kalvari tempat Yesus juga dibantai.
Marilah kita catat sebentar siapa saja yang ada di sekitar Guru dari Nazaret, yang mati di salib di Bukit Tenggkorak, yang sedemikian mengerikan, sehingga membuat banyak orang bergidik. Menurut catatan di bawah salib bersimpuhlah ibu-Nya dan murid yang dikasih-Nya. Ada beberapa murid perempuan yang hadir “berjarak”. Rupanya agar tak “disangkutpautkan” dengan “Penjahat Khusus” ini.
Kebanyakan “Murid Istimewa” tidaklah tampak. Pun mereka yang sebelumnya sumpah setia sampai mati, klau perlu membela dengan segala sarana. Hadir beberapa tentara yang bertanggung jawab bagi kematian Guru itu, dalam menancapkan paku raksasa, yang menggali lubang salib, yang menusuk lambung Yesus, dan beberapa yang justeru mencari untung dari pakian warisan Si Terhukum.

Di Mana Para Pemimpin?
Di sekitar Yesus masih ada seorang penjahat yang ikut mengolok-olok dan satu terpidana yang bertobat serta dijanjikan akan masuk Firdaus hari itu. Kemudian masih ada satu perwira Romawi. Yang ini, kemudian mengakui keilahian Guru Nazaret itu. Di kejauhan ada sekelompok “orang beriman Yahudi” yang justeru menghujat-Nya. Itulah, orang yang hadir di sekitar si mati, yakni Yesus dari Nazaret itu. Orang berbagai keyakinan ada yang mengaku beriman, patuh beribadat, ada yang disebut kafir dan murtad menurut bahasa setempat.
Pertanyaan besar adalah, di mana para pemimpin negeri itu yang sebenarnya harus mempertanggungjawabkan eksekusi hukuman berat itu?. Di mana para pemuka agama yang memang terkejut, sebab tirai Bait Allah terkoyak? Di mana sepuluh murid yang belum sampai 24 jam sebelumnya ditraktir makan dan belum 18 jam sebelumnya diingatkan supaya berdoa sejam saja? Di mana ribuan orang yang beberapa hari sebelumnya merayakan-Nya masuk ke Jurusalem untuk menyambut kemulian-Nya.
Di mana pula puluhan ribu orang yang sekian waktu sebelumnya ramai-ramai mau mengangkat Dia jadi Raja setelah mukjizat perbanyakan roti? Di mana murid-murid lain? Tentu murid-murid dari abad ke-20 dan ke-21 dimaafkan, karena belum lahir (tentu akan hadir bermiliar-miliar ya, kecuali kalau ada dalih-dalih baru). Setia kawan itu, indah, tetapi berat. Sementara itu, loyalitas sekitar Cikeusik menarik. Konsekuensinya perlu ditarik. Iman memang tak selalu lengket dengan hura-hura ibadat. Kesetiaan kepada Tuhan dapat tampil ketika rumah tangga dan perusahaan kita sukses.
Namun, untuk setia berdiri di sekitar salib? Pantaslah Teresa dari Kolkuta berseru “Kamu tidak diminta untuk sukses, melainkan untuk setia”. Setia sampai akhir. Semoga kita hadir di sekitar Salib Yesus dan semua saudara-Nya yang terinjak, terjepit, dan tersingkir dari keyakinan mana pun.
Memang antara Cikeusik dan Kalvari jauh dari sudut tempat dan saat, dekat dari sudut kesetiakawanan. Semoga kita dapat berbagai harta, berbagai bahagia, berbagai derita, berbagai sengsara, berbagai nestapa tanda kesetiaan. Setia kepada Tuhan dan bersedia kawan dengan sesama. Ikut serta membangun kesejahteraan bersama dengan persahabatan sejati, juga dengan risiko maut, agar ikut dibangkitkan bersama Dia, yang taat kepada Bapa-Nya dalam kesetiakawanan-Nya kepada kita (Filipi 2:1-11). Selamat menyongsong Dia yang setia kawan, mati, dan dibangkitkan!

RS MARDIATMADJA, SJ, Rohaniwan.

H Rendra Kresna, Kepala Desa dan BPD Tim Kerja yang Kompak

MALANG, NAGi. Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan tim kerja yang kompak, transparansi dan dapat menjalankan fungsi masing-masing dalam menerapkan prinsip sinkronisasi dan koordinasi. Hal ini, sehingga terciptanya pemerintahan di desa yang kokoh, aman dan tenteram, agar segala pembangunan yang direncanakan di desa berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan sesuai apa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Bupati Malang, H Rendra Kresna mengemukakan hal ini, dalam acara pengambilan sumpah dan pelantikan masing-masing Kepala Desa Mentaraman, Kecamatan Donomulyo, Suparman, di Balai Desa Mentaraman, Rabu (20/4), dan Kepala Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Dewi Buyati, Kamis (21/4) di Balai Desa Bedali. “Kita telah berhasil mengakomodasi aspirasi politik di dalam memilih figur atau sosok kepala desa yang sesuai dengan hati nurani dan keyakinan,” harap Rendra, tentunya hal ini berkat kerjasama yang baik antara masyarakat, alim ulama, pemerintah, dan aparat keamanan.
Di hadapan pemuka, tokoh masyarakat, tokoh ulama dan masyarakat yang memadati kedua balai desa itu, Rendra mengharapkan kedua kepala desa dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. “Laksanakan tugas, fungsi kepala desa dengan penuh rasa tanggung jawab, serta disiplin dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan yang berlaku. Selain itu, segera memahami peraturan-peraturan tentang pemerintahan desa, khususnya Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Tahun 2006 tentang Pemerintahan Desa, serta beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan desanya,” ajak Rendra, bersama-sama berbagai elemen masyarakat seperti BPD, LPMD, tokoh masyarakat, ulama, pimpinan parpol, organisasi kemasyarakat dapat menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pembangunan desa sesuai harapan masyarakat.
Dikatakan Rendra, untuk itu sejauh mungkin harus dihindari sikap pelayanan yang pilih kasih pendukung atau bukan pendukung, namun hendaknya dalam rangka pembinaan kemasyarakatan dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat dan selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan. “Kepala Desa harus memiliki kepedulian dan kepekaan sosial yang tinggi, serta wajib mengenali desa dan warganya dengan segala dinamika dan kehidupannya,” tegas Rendra, karena itu wajib untuk selalu mewujudkan serta menciptakan situasi yang sejuk damai dan kondusif di desanya.
Sebaliknya, Rendra juga mengajak kepada masyarakat kedua desa itu untuk dapat berkerjasama dengan kepala desa terpilih, tanpa melihat perbedaan-perbedaan pada masa pemilihan yang lalu. “Harap saya agar kepala desa dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Rendra, kepala desa harus memahami visi Kabupaten Malang Tahun 2011-2015 yaitu terwujudnya masyarakat Kabupaten Malang yang Mandiri, Agamais, Demokratis, Produktif, Maju, Aman, Tertib dan Berdaya Saing (Madep Manteb) dan menterjemahkan ke dalam visi, misi desa untuk masa bhaktinya enam tahun ke depam.
Seusai pelantikan, Rendra mengatakan kepada para wartawan, pihaknya meminta kepada Sekretaris Daerah (Sekda) agar pelantikan kepala desa tidak lagi dilakukan di Pendopo Agung Kabupaten Malang, tetapi dilaksanakan di masing-masing desa. “Hal ini, agar masyarakat dapat menyaksikan kepala desanya di lantik dihadapnya, kalau di pendopo hanya orang-orang tertentu atau pendukungnya saja. Tradisi ini, saya akan lakukan apabila ada pelantikan kepala desa, agar mereka bisa berbangga, karena kepala desa yang terpilih bukan lagi yang dipilih oleh para pendukungnya, tetapi semua masyarakat harus memberi dukungannya,” ucap Rendra, jika terpaksa ada beberapa kepala desa yang akan dilantik secara bersamaan, maka akan dilaksanakan di pendopo kecamatan, tetapi Rendra mengharapkan bisa dilantik di desa masing-masing. (ger)
Pemilihan Kepala Desa Mentaraman diikuti dua Calaon Kepala Desa dengan perolehan suara :
1. Suparman : 2.020 suara.
2. Muklis : 981 suara
Dengan rincian :
• Jumlah Penduduk : 6.110 orang
• Jumlah Hak Pilih : 4.155 orang
• Jumlah yang Hadir : 3.032 orang
• Tidak Hadir : 1.123 orang
• Surat Suara Sah : 3.001 orang
• Surat Suara Tidak Sah : 31 orang
Pemilihan Kepala Desa Bedali diikuti tujuh Calon Kepala Desa dengan perolehan suara ;
1. Dewi Buyati : 1.303 suara
2. Rukyati : 625 suara
3. Suhartono : 498 suara
4. Mochamad Abd Choliq : 1.138 suara
5. Winoto :1.267 suara
6. Ismail : 251 suara
7. Supardi : 1.125 suara
Dengan rincian :
• Jumlah Penduduk : 16.562 orang
• Jumlah Hak Pilih : 10.809 orang
• Jumlah yang Hadir : 6.304 orang
• Tidak Hadir : 4.505 orang
• Surat Suara Sah : 6.207 orang
• Surat Suara Tadak Sah : 97 orang

Bupati Malang H Rendra Kresna, Jabatan Suatu Kepercayaan dan Amanah

MALANG, NAGi. Bupati Malang, H Rendra Kresna menegaskan jabatan merupakan suatu kepercayaan dan amanah yang diberikan untuk dilaksanakan dengan penuh dedikasi, tanggung jawab, dan loyalitas sebagaimana sumpah jabatan yang telah diucapkan. Sebagai pejabat yang baru, harus menyadari dan memahami situasi dan kondisi kehidupan masyarakat pada saat ini. Tugas dan tanggung jawab itu, bukan semata melaksanakan kewajiban rutin, tetapi juga hendaknya dapat membaca situasi, menentukan langkah strategis dan taktis dalam rangka menata membina dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Hal ini, dikemukakan Rendra dalam acara pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan pejabat struktural eselon III dan IV di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Malang, Senin (25/4), di Pendopo Agung Kabupaten Malang, yang dihadiri Wakil Ketua DPRD Kabupaten Malang, Tono, ST dari Partai Demokrat, Sekretaris Daerah (Sekda), Dr Abdul Malik, SE, MSi, Staf Ahli Bupati, Asisten Setda, Para Kepala/Badan/Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Camat, Ketua Penggerak PKK Kabupaten Malang, Ny Hj Jayuk Rendra Kresna, Ketua Dharma Wanita Persatuan Kabupaten Malang, Ny Hj Nurul Abdul Malik.
Selanjutnya dikatakan Rendra, untuk itu diperlukan pengerahan segala daya dan upaya dari seluruh kemampuan untuk dapat menggerakkan roda organisasi pemerintahan Kabupaten Malang, agar dapat memenuhi harapan seluruh lapisan masyarakat. “Posisi demikian, birokrasi pemerintah diharapkan dapat menempatkan diri sebagai institusi yang benar-benar dapat menjalankan fungsi sebagai pelayanan masyarakat. Efektivitas penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan aparat pemerintah yang profesional dengan pola sikap dan perilaku yang berorientasi pada pemberian pelayanan kepada masyarakat,” ujar Rendra, yang mantan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Malang, oleh karena itu pada setiap kesempatan pihaknya selalu menekankan jadilah pelayanan yang simpatik, ramah, dan profesional.
Dikatakan Rendra, fungsi pelayanan kepada masyarakat akan terlaksana dengan baik, apabila kondisi unsur pemberi pelayanan juga telah tertata dengan baik. “Berpijak pada asumsi ini, marilah kita introspeksi ke dalam lingkungan kerja kita masing-masing sudahkah semua sistem, mekanisme, prosedur dan tatalaksana telah berjalan dengan baik. Karena yang kita berikan kepada masyarakat tidak akan optimal, jika kinerja institusi kita juga belum maksimal,” harap Rendra, mantan Wakil Bupati Malang periode 2005-2010, kita benahi kinerja institusi tempat kita bekerja masing-masing agar produktivitas kerja dapat ditingkatkan dengan jalan memberdayakan seluruh komponen dan sumber daya yang telah dimiliki.
Pengangkatan pada suatu jabatan, menurut Rendra pada hakikatnya merupakan wujud kepercayaan dan pengakuan atas terhadap kredibilitas seseorang untuk menduduki jabatan. “Kepercayaan dan pengakuan itu, merupakan sutau kehormatan yang mengandung kewajiban, tugas dan tanggung jawab. Oleh karena itu, kewajiban harus ditunaikan, tanggung jawab harus dipikul, dan tugas harus dilaksanakan,” kata Rendra, yang juga Ketua DPD Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Jawa Timur.
Rendra mengharapkan, seorang pemimpin atau pejabat hendaknya dapat berperan sebagai katalisator, dinamisator dan motivator dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang harus dilakukan dengan penuh keikhlasan, serta berbesar hati sebagai bentuk pengabdian yang dapat dipertanggungjawabkan. “Kita harus memahami selama tidak ada inovasi baru, kita akan selalu terjerebab pada berbagai ketinggalan dan kemiskinan,” pesan Rendra, untuk itu diperlukan program-program inovatif yang diyakini sebagai solusi dalam menentukan berbagai solusi dalam menuntaskan berbagai persoalan pembangunan. (bala/faby)

Selasa, 19 April 2011

Bupati Malang, Rendra Kresna Rp 6 Miliar Batal untuk Metro FC


MALANG, NAGi.  Sebelum Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi  memastikan, klub sepak bola profesional tidak boleh mendapat kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mulai tahun 2012. Ternyata, Bupati Malang, H Rendra Kresna sudah mengantisipasi dengan membatalkan kucuran dana dari APBD Tahun Anggaran 2011 Kabupaten Malang sebesar Rp 6 miliar untuk Metro FC .
            Penggunaan APBD untuk klub terindikasi banyak korupsi, seperti temuan dalam kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kalau klub sepak bola profesional, kami memang sudah sepakat dengan Menpora bahwa mulai 2012 tidak ada lagi dana dari APBD. Kami, akan membantu pembinaan oplah raga secara keseluruhan dan pembinaan sepak bola amatir, itu kita bantu, tetapi untuk profesional tidak ada lagi, “ tegas Gamawan, ketika menghadiri paparan hasil kajian KPK terkait penggunaan dana PABD untuk klub sepak bola di sejumlah daerah, yang juga hadir Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng serta sejumlah pejabat daerah di Jakarta baru-baru ini.
            Rendra mengatakan, walau pun dalam APBD sudah dialokasikan dana untuk Metro FC sebesar Rp 6 miliar merupakan dana hibah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Cabang Kabupaten Malang sebesar Rp 9,5 miliar untuk tahun 2011, tetapi Rendra memerintahkan kepada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset (DPPKA) Kabupaten Malang agar tidak dicairkan. “Saya perintahkan kepada DPPKA agar tidak mencairkan dana itu, dan kepada pengelola Metro FC untuk mencari sponsor, pihak swasta/pihak ketiga untuk membantu,” ujar Rendra, yang juga Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Jawa Timur periode 2011-2016, yakin para pengusaha di Kabupaten Malang akan membantu.
            Metro FC kebanggaan masyarakat Kabupaten Malang dari jenjang Devisi I naik ke Devisi Utama, sebelumnya Pemerintah Kabupaten Malang mengkucurkan dana dari APBD setiap tahun. “Tetapi, karena ada larangan dan ketentuan yang berlaku, walau pun sudah dimasukkan ke dalam APBD 2011, saya tidak ingin ada masalah dikemudian hari,” kata Rendra, mantan Wakil Bupati Malang periode 2005-2010, yakin Metro FC bisa berkiprah di persepakbolaan tanah air, dan diharapkan bisa masuk Liga Super Indonesia (LSI) atau Liga Primer Indonesia (LPI) yang nanti diakui oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
            Menurut Rendra, apabila peraturan dari Mendagri dana APBD untuk klub sepak bola porfesional mulai berlaku tahun 2012, maka akan pertimbangkan lagi. “Saya akan pertimbangkan lagi, apa dicairkan untuk Metro FC atau tidak, kita menanti surat dari Mendagri, sehingga kita tidak dipersalahkan,” harap Rendra, tetapi menunggu sampai ada ketentuan yang memperbolehkan.
Rawan Korupsi
            Berdasarkan hasil kajian KPK ditemukan tiga indikasi pelanggaran dalam penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola yang berlangsung selama belasan tahun. “Dari kajian kami lakukan, KPK mengindentifikasi ada tiga temuan pelanggaran. Tiga temuan itu, adalah dilangar asas umum pengelolaan keuangan daerah pada pengelolaan dana APBD bagi klub sepak bola, adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, serta dilanggarnya prinsip transparasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan hibah dari APBD,” jelas Wakil Ketua KPK, M Jasin.
            Dikatakan Jasin, temuan itu semacam lampu merah kepada klub agar menghentikan ketergantunganya pada APBD dan bagi daerah untuk menghentikan kucuran dana kepada klub yang sangat rawan penyelewengan. “Alokasi anggaran sepak bola sering kali tidak adil, jika dibandingkan dengan alokasi untuk beberapa urusan wajib daerah. Contoh anggaran untuk klub di salah satu daerah lebih dari 10 kali anggaran untuk ketahanan pangan dan berkali-kali lipat dari alokasi untuk keperluan wajib lainnya,” tutur Jasin. Kalau masih dilanggar juga, KPK akan menindak, dan rangkap jabatan juga akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan korupsi.
            KPK, kata Jasin menyarankan agar Mendagri membuat peraturan untuk menghentikan pengalokasian APBD bagi klub sepak bola mulai tahun 2012, termasuk pengaturan sanksinya. Selain itu meminta untuk menginventaris pejabat publik yang melakukakan rangkap jabatan pada kepengurusan KONI atau klub sepak bola, dan KPK sudah mendapat laporan sebelum tanggal 4 Mei 2011. (ger/nico)

HIV/AIDS Kota Batu Nominasi Pelajar Ulama se Jatim Berkumpul Membahas

BATU, NAGi. Penyebaran virus HIV/AIDS di Jawa Timur sudah pada tahap memprihatinkan, sehingga untuk meminalisasi penyebarannya sekitar 42 para Ulama Jawa Timur turun tangan berkumpul di Hotel Metropole, Kota Batu untuk membahasnya. Ternyata, di Kota Batu penyebaran virus mematikan ini, didominasi remaja. Mereka tercatat masih aktif belajar di sekolah atau perguruan tinggi. Tercatat 73 warga menderita, dan dari jumlah tersebut 26 orang telah meninggal dunia, sisanya masih dalam pengawasan Pemkot Batu.
Wakil Walikota Batu, Budiono mengatakan dari jumlah pengindap HIV/AIDS 73 orang, hanya 40,2 persen yang dapat terditeksi. “Walau pun angka penderita di Kota Batu ini, tergolong kecil dibandingkan daerah lain, akibat faktor ketidakterbukaan penderita membuat penyaberan virus ini bisa di luar kendali. Bila satu kasus ditemukan, bisa saja di belakang ada 200 kali lipat kasus serupa,” kata Budiono, mantan Wakil Ketua DPRD Kota Batu, ketika berbicara di acara Sosialisasi Bahaya AIDS di Pondok Jatim, Kota Batu, pekan lalu.
Dikatakan Budiono, di Kota Batu sangat sulit mereka penderita mengaku dirinya kena AIDS. Mereka malu dan memilih menutup diri daripada mendapat pengawasan dari pemerintah. “Penyuluhan terkait kewaspadaan HIV/AIDS agar ditingkatkan, mengingat Kota Batu adalah kota wisata. Tidak menutup kemungkinan Kota Batu menjadi tempat penyebaran HIV/AIDS,” tutur Bodeiono, yang juga Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kota Batu, penyebab terbesar adalah perilaku seks bebas, dan para pengindap AIDS berasal dari keluarga menengah ke atas, sehingga para orangtua wajib memantau perkembangan anak remajanya.
Secara terpisah Achmat Suyanto, koordinator kegiatan dari komunitas peduli AIDS Al Burda Surabaya mengatakan, alim ulama diundang juga berasal dari elemen takmir masjid, guru ngaji, dan remaja masjid. “Diharapkan dengan turunnya ulama, masyarakat mempunyai kesadaran untuk menghindari penyakit berbahaya ini, sehingga dapat membentengi keluarga dengan keimanan,” harap Suyanto, banyak orang beranggapan virus itu ada di lokalisasi, namun sebenarnya ada di sekitar kita.
Data Provinsi Jawa Timur, sejak tahun 1989 hingga 2010 jumlah penderita AIDS mencapai 4.233 orang. Mereka dari berbagai umur, mulai bayi sampai dengan orang tua. Penderita AIDS paling besar pada usia produktif, yakni di antara 25 tahun hingga 29 tahu jumlahnya penderirita sebanyak 1.127 orang, sedangkan untuk bayi sejak lahir hingga empat bulan berjumlah 83 orang. (ari)

Pola Penyusunan Defisit APBD Gambaran Kinerja Pemerintah Daerah

Oleh : George da Silva
MEMBACA Kompas, Jumat (15/4/2011) tentang “Daerah Harus Atas Masalah Keuangan”, yaitu masalah keuangan yang membelit kabupaten/kota harus diatasi pemerintah daerah dan DPRD. Setidaknya 10 kabupaten/kota di Provinsi Aceh kesulitan membayar gaji pegawai, terbelit utang kepada pihak ketiga, dan mengalami defisit anggaran. Masalah APBD juga terjadi di Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), 13 Kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Bangka Belitun.
Hakekat Anggaran
Hakekat anggaran APBD adalah, pemerintah daerah memiliki sejumlah keuangan dan sejumlah kebutuhan untuk didanai dalam periode tertentu, tetapi dana yang tersedia tidak akan mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan yang direncanakan. Langkah apa yang perlu kita lakukan?.
Pertama, menentukan kapan dan kebutuhan mana yang akan dipenuhi terlebih dahulu dengan jumlah dana (uang) yang telah tersedia. Sedangkan kebutuhan yang lain akan dipenuhi selama periode tertentu berjalan, sambil terus mengumpulkan dana dari berbagai sumber yang telah ditetapkan dalam perencanaan terdahu. Kedua, jika menurut rencana dan perkiraan yang realistis dan yang dapat dikumpulkan selama periode tertentu tetap tidak akan mencukupi seluruh kebutuhan yang telah direncanakan, maka yang perlu dilakukan adalah menetapkan kebutuhan apa saja yang akan dipenuhi pada periode yang sama. Ketiga, menyesuaikan waktu pemenuhan kebutuhan dengan waktu pengumpulan dana agar seluruh rencana kegiatan (belanja dan pengumpulan dana dari berbagai sumber) dalam periode tersebut bisa berjalan dengan baik dan sesuai rencana yang telah ditetapkan.
Konsep berpikir ini, maka kita telah menggunakan cara kerja anggaran dengan menghadapi beberapa persoalan antara lain; memilih kebutuhan yang akan dipenuhi sesuai rencana, memilih sumber-sumber anggaran yang tepat guna, periode tertentu membatas realisasi anggaran dari sudah direncanakan, perencana/penjadualan anggaran belanja kebutuhan dan penerimaan, dan mengukur kinerja/pencapaian pelaksanaan kegiatan dan penerimaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Setelah itu, kita dapat mengetahui secara jelas anggaran pendapatan dan belanja daerah pemerintah daerah berdasarkan perencanaan antara lain, (1) Arah kebijakan pemerintah daerah dalam hal penerimaan (pendapatan) dan pengeluaran (belanja), (2) Pencapaian realisasi dan pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang telah direncanakan di awal periode anggaran, (3) Kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan rencana yang telah ditetapkan pada awal periode tertentu, (4) Kemampuan pemerintah daerah dalam memilik kebijakan yang sesuai dengan kenyataan di lapangan, (5) Kemampuan pemerintah daerah untuk menjaga kesinambungan kebijakan anggaran tahun/periode tertentu dengan melihat realitas pencapaian anggaran di periode sebelumnya, (6) Kemampuan pemerintah daerah membaca peluang dan menyerap aspirasi, kebutuhan masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani, dan (7) Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah secara efisiensi, efektif, dan transparan, sehingga mencapai sasaran dan tujuan dari penetapan APBD.
Pengelolaan anggaran, terutama pada tahap pelaksanaan tidak hanya menyangkut seluruh kegiatan atau kebutuhan yang sudah direncanakan bisa dipenuhi untuk dibelanjakan dari hasil pendapatan/penerimaan berbagai sumber. Tetapi, arah kebijakan, strategis dari keseluruhan perencanaan yang dituangkan dalam APBD dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga sasaran dan tujuan.
Selain itu, kita harus membuat prakiraan maju (forward estimate), dimana perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya. Oleh karena itu, kinerja dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di daerah merupakan keluaran/hasil yang akan atau telah dicapai, sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Dengan demikian perlu adanya penganggaran terpadu (unified budgeting), sehingga merupakan penyusunan rencana keuangan tahun yang dilaksanakan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja, guna melaksanakan kegiatan pemerintah yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.
Pola Defisit APBD
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah, surplus atau defisit APBD, yaitu selisih antara anggaran pendapatan daerah dengan anggaran belanja daerah mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit APBD. Sedangkan yang dimaksud dengan defisit APBD yaitu, apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih kecil dari anggaran belanja daerah. Dengan demikian, dalam penyusunan APBD diisyaratkan, bahwa dalam penyusunan APBD tersebut diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut ketentuan, defisit dalam APBD dibatasi maksimal 3 (tiga) persen dari Produk Regional Bruto Daerah (PRBD) yang bersangkutan. Selain itu, jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 (enam puluh) persen dari PRBD yang bersangkutan. Metode perhitungan PRBD harus mengikuti petunjuk teknis dari Biro Pusat Statistik (BPS) atau yang ada di daerah bersangkutan.
Contoh. PDRB-ADHB (Atas Dasar Harga Berlaku) pada tahun 2010 Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 31,573 triliun dan asumsi tahun 2011 sebesar Rp 35,774 triliun, sehingga dalam pola penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 Kabupaten Malang masih menggunakan realisasi PRBD tahun 2010 yang telah ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Malang Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 11 Januari 2011 tentang APBD 2011. Jumlah pendapatan terdiri dari (pendapatan daerah, dana perimbangan, lain-lain pendapatan yang sah) sebesar Rp 1.628.821.306.319,00, sedangkan Belanja Daerah Rp 1.821.834.292.133,00.-, sehingga terjadi defisit (Rp 193.012.992.133,00.-). Defisit APBD Kabupaten Malang berada 0,6 persen dari batas maksimum tiga persen dari ketentuan, dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya (2010) sebesar Rp 205.012.504.533,00.-
Defisit ini, ditutup dengan pembiayaan neto dari SiLPA tahun sebelumnya. Menurut Pasal 137 SiLPA tahun sebelum merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan antara lain; menutup defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. SiLPA itu juga, merupakan angka perkiraan, karena pengambilan keputusan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Berarti Raperda tentang APBD 2011 itu, disetujui pada akhir bulan Nopember 2010. Banyak daerah tidak melaksanakan sesuai Permendagri ini, seperti di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT pembahasan sampai akhir Maret 2011.
Setiap SKPD harus menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA-SKPD) dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja. Jadi pola penyusunan APBD adalah berbasis kinerja, maka anggaran APBD defisit merupakan hal yang biasa, untuk mengukur prestasi kerja dari setiap SKPD yang ada di daerah yang bersangkutan. Tetapi, pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan pengeluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.


Apabila APBD tahun berjalan (2011) tetap defisit, belum juga tertutup (balance), maka akan dimasukkan dalam Perubahan APBD, yang biasa dilakukan pada bulan Juli atau Agustus. P-APBD ini dilakukan apabila; perkembangan yang tidak sesuai dengan Kebijakan Umum (KUA- APBD), (1) keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, dan (3) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan. P-APBD ini, hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan lebih dari sekali.
Suara-suara dari daerah, baik dari kalangan anggota DPRD, tokoh masyarakat, LSM melontarkan kritik ditujukan kepada eksekutif, yang dinilai terlalu berlebihan menetapkan anggaran defisit, tidak sesuai dengan undang-undang, peraturan yang berlaku untuk menyusun RAPBD, karena pola defisit itu merugikan masyarakat. Bila DPRD menyetujui anggaran tersebut, maka DPRD dan eksekutif menciptakan bom waktu bagi daerah, termasuk anak cucu. Hal ini, sebenarnya akhibat dari kurang paham saja dari anggota DPRD dan masyarakat tentang pola penyusunan APBD. Jadi, pola penyusunan anggaran defisit, adalah untuk mengukur kinerja dari setiap SKPD yang ada di daerah.
GEORGE DA SILVA, Direktur Lembaga Research and Consultant Pemantau dan Evaluasi Otonomi Daerah dan Konsultan Keuangan Daerah, di Malang.

Tidak Ada Lagi Prestasi yang Ditorehkan Istana Pemerintah (Makin) Mati Rasa


SLOGAN PEMERINTAH akan memimpin langsung pemberantasan korupsi pernah di kumandangkan. Pernyataan penguatan pemberantasan korupsi dan mafia hukum selalu hadir dalam rapat dan sidang. Namun, masalahnya pernyataan itu kurang tampak dalam tindakan nyata. Dalam memberantas korupsi dan mafia hukum, selain membentuk Satgas Antimafia Hukum, tak ada lagi prestasi berarti yang ditorehkan Istana.

Ada kesan, mereka melangkah berderap menuju arah yang keliru. Lihat saja hasil perintah-perintah presiden dalam percepatan pemberantasan korupsi, baik yang secara umum mau pun khusus pada kasus tertentu. Penyakit lama tentang ketidakmampuan dan ketidakmauan tak hanya membayangi, malah melekat erat.
Lambang Mati Rasa
Dalam konsep instruksi, ketidakmampuan melaksanakan instruksi dapat mudah ditutup andai memang ada kemauan memastikan bawahan melaksanakannya. Sayangnya, ini pun tak terlihat. Kita disuguhi berbagai hambatan yang mengangkangi pelaksanaan instruksi, tetapi tak kunjung ada perintah keras melaksanakan sebagai implementasi dari kemauan yang kuat.

Silahkan membuka hasil kerja pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak. Nasib yang sama terjadi pada Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Hasilnya tak sebanding lurus dengan upaya instruksi, karena ada jarak antara hasil yang ingin dicapai dan kemampuan atau kemauan mencapainya.
Praktek bawahan yang memberi keringanan kepada koruptor melengkapi proses agregasi mati rasa ala Istana. Sulit dijelaskan secara baik alasan yang bisa membenarkan hujan remisi dan perlakukan istimewa terhadap para koruptor. Namun “anjing menggonggong”, perlakuan istimewa tetap belalu. Tak ada itikad merivisi cara pandang negara atas pelbagai kenikmatan yang diberi kepada koruptor.
Dalam konteks terbaru, proses mati rasa menjadi makin akut ketika di lihat dari RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dihasilkan pemerintah. RUU yang diharapkan merivisi UU Nomor 31 Tahun 1999 itu, memperlihatkan bahwa alih-alih menguatkan pemberantasan korupsi, ia malah menjinakkan pemberantasan korupsi. Bisa di lihat dari beberapa indikasi. Pertama, tampak jelas tensi pemerintah turun dalam melihat kasus korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Terbukti di RUU, cara pandangannya adalah mem-“bias”-kan korupsi. Dalam RUU terdapat begitu banyak pasal merabat ancaman pidana yang tertentu kian menjauhkan kesan membangun efek jera bagi para koruptor. Bahkan, ancaman pidana sangat minimal (setahun) kian diperbanyak. Dalam konteks “setahun” ini, sering kali ujungnya pada hukuman percobaan.
Di negeri inilah koruptor bisa mendapat putusan dalam bentuk hukuman percobaan. Penmgadilan umum sangat “rajin” memberi hukuman semacam ini. Lengkaplah rendahnya tingkat hukuman para koruptor. Dengan klausul RUU yang kian memasifkan hukuman jenis ini, koruptor dan mafiah hukum dan mafia hukum akan berpesta senang. Mereka menemukan dalil yang makin kuat mendapat hukuman seringan-ringannya.
Kedua, semakin tampak cara pandang yang tidak melihat korupsi sebagai sebuah kejatan yang rapi terencana. Cara melawannya kelihatannya tidak dibangun sebagai perlawanan yang terorganisasi secara baik. Tidak terlihat konstruksi sistematis dalam memerangi korupsi. Salah satu penyebabnya dibukanya semakin lebar pintu kriminalisasi bagi pelapor perkara korupsi. Padahal, jika ingin mendorong percepatan pemberantasan korupsi, sangatlah penting membuka pintu pelaporan dengan berbagia kekeringanan dan perlindungan bagi pelapor.
RUU gagal memisahkan dan menjelaskan secara baik ihwal kosep laporan palsu, padahal bisa banyak varian. Namun, siapa pun yang melapor akan mudah diserang dengan tuduhan bahwa laporannya palsu. Menguatnya kriminalisasi pelapor mempersulit kita membongkar dan membuka perkara korupsi yang sering terancang secara sempurna dan sistematis.
Ketiga, dan inilah yang paling kita takutkan, RUU ini dirancang sebagai “kotak Pandora”. Begitu disahkan, RUU terkait yang mengusul akan jadi penanda pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Hukum Antikorupsi. Selan RUU ini, ada juga beberapa RUU KPK misalnya. Sangat besar peluang RUU KPK akan jadi pemicu reposisi besar KPK. Lihat saja kewenangan penuntutan KPK yang tak disebut lagi. Padahal, dulu KPK disebutkan secara tegas dan UU yang akan digantikan oleh RUU.
Inilah bahayanya, dari sini jangan-jangan semaikn mulus langkah merubah wujud KPK dari Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Komisi Pencegahan Korupsi. Gejala mendorong KPK bekerja untuk semata-semata pencegahan sering dibicarakan partai politik, termasuk Istana, dalam beberapa kesempatan. Istana yang memulai. Maka, ia pulalah yang harus mengakhiri. Harus ada “syahadah” menempatkan pemberantasan korupsi kembali menjadi agenda utama dan bukan hanya mengemukakan di pernyataan. Caranya sederhana, bisa dimulai dengan membatalkan RUU mati rasa ini.
ZAINAL ARIFIN MOCHTAR
Direktur PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM Joyakarta.

RUU Intelijen dan Rezim Keamanan

ALASAN HADIRNYA NEGARA adalah keamanan warganya. Filusuf Hobbes menegaskan betapa negara hadir untuk mengubah situasi khaos menjadi tertib dan aman. Fungsi penjaga keamanan tersebut, kemudian diinstitusionalisasikan ke lembaga-lembaga. Di sini aktivitas lembaga dalam menjaga keamanan sering berbenturan dengan prinsip kebebasan. Guantanamo Bay tidak berseberangan dengan Kuba, tetapi dengan hak asasi manusia.
-------------1 kolom-------------
Penangkapan tersangka tanpa proses peradilan bertentangan dengan supremasi hukum. Penyadapan mematikan hak atas privasi. Aktivitas publik lembaga yang mengurus keamanan nasional sering melintas batas sesuatu yang sangat pribadi. Silang sengketa Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen berporos pada logika subsitusi antara keamanan dan kebebasan.
Keamanan Nasional
Hadir tidaknya negara ditentukan oleh berfungsinya atau mandulnya kerja lembaga dalam melindungi keamanan warga. Di sini pemerhati HAM sering meletakkan keamanan nasional (national security) di seberang keamanan manusia (human security). Saya tidak heran dengan sinyalemen tersebut. Kata “keamanan nasional” di seluruh dunia, sering kali diputarbalikkan menjadi keamanan rezim. Itu berarti, rezim memiliki keleluasaan menggunakan lembaga untuk kepentingan politik jangka pendeknya, termasuk cara-cara yang bertentangan dengan HAM. Keamanan rezim pun ditempatkan di atas keamanan negara.
Saya sepakat dengan artikel Mudzakir tentang perlunya kita secara saksama merumuskan ancaman terhadap keamanan nasional. Menurut beliau, definisi ancaman nasional terlalu luas dan rawan terhadap penyelewengan. Namun, saya pikir ancaman adalah definisi sekunder yang belakangan didefinisikan setelah kita rampung dengan definisi keamanan nasional. Sebab, apabila kita tidak tahu apa itu keamanan nasional, kita bisa jadi meleset dalam mendefinisikan ancaman terhadapnya.
Kekeliruan dalam mendefinisikan “keamanan nasional” memiliki dua bahaya. Pertama, kita terjebak dalam persoalan sekuritasi. Artinya, kita menganggap semua isu sebagai isu keamanan. Ini, sesungguhnya yang ingin diselesaikan oleh RUU Intelijen. RRU ini, ingin memilah betul mana isu yang masuk kategori keamanan nasional. Di sini, persoalan tentang rezim yang memakai lembaga intelijen untuk memata-matai kelompok oposisi menjadi terang duduk perkaranya. Pertanyaan, “apakah presiden boleh memakai lembaga intelijen untuk menyadap telepon gengam bawahannya”, akan terjawab dengan sendirinya.
Bahaya Kedua, adalah rendahnya akuntabilitas publik lembaga intelijen. Absennya definisi keamanan nasional membuat kita tidak dapat menguji akuntabilitas lembaga intelijen. Seolah semua operasi dibenarkan, karena mengatasnamakan keamanan nasional. Kita gagap dalam memilah nama operasi yang dilangsungkan demi keamanan nasional dan mana yang semata demi keamanan pribadi atau golongan. Akuntabilitas etis lembaga intelijen terpulang kepada keberhasilan kita merumuskan keamanan nasional secara jelas dan terpilah.
Kemanan dan Kebebasan
Persoalan HAM dalam RUU Intelijen terfokus pada pola mengenai kewenangan penangkapan dan penahanan oleh lembaga intelijen. Kewenangan tersebut ditenggarai tidak sekadar berpotensi melanggar HAM, tetapi membuka peluang operasi intelijen hitam (black ops). Mudzakir berpendapat bahwa kewenangan itu tidak perlu dicabut, tetapi dibatasi. Kewenangan tersebut dibatasi pada individu yang patut diduga telah melakukan tindakan pelanggaran hukum spesifik.
Saya menemukan persoalan pada gagasan pembatasan kewenangan di atas. Pertama, bagaimana kita yakin bahwa dugaan seseorang melanggar hukum sungguh bersandar pada informasi yang akurat. Dengan kata lain, pembatasan itu sesungguhnya tidak membatasi apa-apa. Kedua, bagaimana apabila justeru lembaga intelijen, justeru hanya bisa menduga untuk menangkap dan meminta informasi.
Di sini akurasi justeru bukan persoalan utama, melainkan kecepatan. Kerja lembaga intelijen senantiasa berlomba dengan waktu. Yang terpenting adalah mendapatkan informasi sebelum serangan terhadap keamanan nasional terjadi. Untuk itu, kewenangan penangkapan dan penahanan hanya dibatasi oleh keperluannya mendapatkan informasi strategis untuk melindungi keamanan nasional. Tidak lebih dan tidak kurang.
Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) mengatakan bahwa sumir atau absennya informasi tentang sebab akibat tidak membatasi sesorang mengambil tindakan. Lembaga intelijen harus berkejaran dengan waktu untuk memproleh informasi strategis. Untuk itu, akurasi sebagai tolok ukur informasi perlu diletakkan di bawah kecepatan. Untuk itu, kewenangan penahanan menjadi penting untuk memperoleh informasi secepat mungkin. Akurasi adalah ujian kedua setelah informasi diperoleh dan diolah.
Keamana dan kebebasan pada akhirnya, tidak perlu dipertentangkan. Kebebasan memiliki dimensi keamanan. Demikian sebaliknya. Salah satu jenis kebebasan, misalnya adalah kebebasan dari rasa takut. RUU Intelijen diperlukan untuk menjadi koridor kegiatan intelijen dalam rangka menjamin kebebasan warga dari rasa takut. Penting digarisbawahi bahwa roh RUU Intelijen adalah amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Itu, adalah koridor utama kegiatan intelijen.
Koridor tersebut adalah koridor abadi, karena bersumbu pada dua hal. Pertama, alasan hadirnya negara untuk melindungi keamanan warganya dalam bentuk tradisional. Kedua, amanat UUD 45 sebagai kehendak politik yang abadi, bukan kepentingan politik rezim yang silih berganti. RUU Intelijen harus segera dirampungkan, sebab ancaman terhadap keamanan nasional senantiasa bergegas. Kelambatan dalam penyelesaian akibat debat kusir yang tidak perlu dapat dipandang sebagai lemahnya komitmen terhadap amanat konstitusi. RUU Intelijen adalah persimpangan jalan.
Saatnya parlemen memilih “road less travelled by” yakni merumuskan sekali untuk selamanya “kemanan nasional” dan menutup pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan. Semoga konstitusi masih menjadi buku teks mereka.
DONNY GAHRAL ADIAN
Dosen Filsafat Politik Posmdern Iniversitas Indonesia Jakarta.

Setelah Lima Tahun Membuka Kesempatan Kepada PMDN Adakah Kebijakan Obat Nasional

PADA AWAL TAHUN 1970-an Indonesia membuka kesempatan bagi industri farmasi internasional menanamkan modal di Indonesia. Mulailah Penanaman Modal Asing (PMA) bidang farmasi berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Pemerintah Indonesia waktu itu menetapkan, setelah lima tahun beroperasi, industri farmasi asing harus sudah memproduksi bahan baku di Indonesia. Kemudian, dibuka pada kesempatan bagi modal dalam negeri untuk membuka pabrik farmasi.
------------1 kolom------------------
Dalam waktu singkat jumlah merek dan jenis obat jadi di Indonesia meningkat cepat. Salah satu alasan dibiarkannya begitu banyak jenis dan merek obat adalah persaingan mereka di pasar, sehingga hanya makin murah. Sulit dimengerti bahwa pakar farmasi di Departemen Kesehatan menyamakan perdagangan obat dengan baju, yang semakin banyak merek semakin murah harganya.
Persaingan obat dan baju sangat berbeda. Dalam produk konsumsi, seperti baju, konsumen dapat memilih dan memutuskan mana yang paling sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal obat, terutama obat etikal, konsumen sama sekali tidak tahun mana yang paling cocok dengan penyakitnya, dan mana yang mutunya lebih baik. Yang menentukan adalah dokter. Konsumen terpaksa membeli, berapa pun harganya. Maka, persaingan terjadi dengan cara membujuk dokter agar meresepkan produk tertentu.
Obat Esensial
Kebijakan pertama seharusnya mentapkan jenis obat apa saja yang secara esensial diperlukan rakyat Indonesia. Di luar jenis itu, seharusnya izin memproduksi dan mengedarkannya dipersulit. Di situlah perlunya pemerintah menyusun Daftar Obat Esensial (DOE) tanpa menentukan merek dagang yang akan berbeda asal mutunya memenuhi syarat. DOE selanjutnya menjadi pedoman bagi rumah sakit pemerintah, baik pusat mau pun daerah, untuk pengadaan obat. Dengan demikian, ada efisiensi penggunaan dan pemantauan rezim terapi.
Banyak jenis obat yang beredar saat ini, membuat persaingan tidak sehat dan berdampak pada kekacauan dalam menentukan terapi yang efektif dan efisiensi. Jenis yang sangat banyak dan merek dagang yang juga sangat banyak ini, akibat mudahnya pemerintah memberi izin (terutama lokal) untuk membuka pabrik obat. Banyak yang sebenarnya tidak profesional dan bahkan tidak berlatar belakang membuat obat.
Sebagian besar dari mereka hanya menjadi perakit obat dengan hanya bermodal membeli mesin dan bahan pembuat obat. Bandingkan, misalnya, dengan Bayer atau Hoechst (dulu) yang bermula dari pabrik kimia dan kemudian melalui penelitian dapat menemukan bahan berkhasiat obat.
Akibat perizinan yang begitu lunak tanpa melihat jangka panjang industri farmasi lokal berkembang sangat cepat. Padahal, pangsa pasar sangat kecil. Mereka kemudian hanya memproduksi obat-obat “latah” (meniru). Ini pula yang membuat merek dagang untuk jenis yang sama menjadi sangat besar. Untuk menangani pasar, merek berusaha mendapat izin edar lebih dulu dari pesaing yang membuka peluang korupsi dan berikutnya membujuk dokter.
Kebijakan Harga
Para pejabat di Depkes dulu berprinsip biar pasar yang mengatur harga obat. Depkes hanya mengatur kapan pabrik obat boleh menaikkan harga produk. Akan tetapi, seperti telah disebut, pasar obat berberda jauh dengan pasar produk lain. Ketentuan ini, lagi-lagi menjadi peluang untuk korupsi. Karena tidak ada kebijakan yang terarah, industri farmasi lokal yang hanya menjadi perakit obat bebas menentukan harga produk. Pada umumnya mereka menetapkan harga mendekati harga yang ditentukan industri penemu untuk mengesankan bahwa mutu mereka tidak berbeda dengan produk orisional tersebut. Padahal, industri lokal tidak pernah melakukan riset awal.
Tidak selayaknya mereka dibebaskan menentukan hatga produk mendekati produk orisional. Pemerintah seharusnya menetapkan bahwa harga obat tiruan maksimal 60-70 persen dari harga obar rasional, karena tidak ada beban biaya riset. Bahkan bahan baku pun dibeli dari pasar di luar penemu awal, misalnya dari India, Hongaria, dan China dengan harga jauh lebih murah daripada harga di negara penemu awal.
Bahan baku tersebut secara bebas dapat diproduksi oleh negara lain, setelah masa perlindungan patennya habis. Jadi, sebenarnya yang dibuat industri lokal bukanlah obat paten, melainkan obat generik yang diberi merek dagang tersendiri. Seandainya pemerintah tegas dalam menentukan batas harga obat tiruan atau generik bermerek tersebut, harga obat tidak seenaknya ditetapkan oleh industri nasional dengan keuntungan sampai besar.
Bahan Pembuat Obat
Setelah lima tahun pertama, tidak satu pun industri farmasi memproduksi bahan baku di sini dan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Alasannya sederhana saja, selain fasilitas dan kemampuan riset obat di Indonesia sangat lemah, pangsa pasar bahan baku obat di Indonesia sangat kecil, sehingga tidak ekonomis untuk berproduksi di sini. Pemerintah waktu itu, mungkin berpikir bahwa membuat obat, seperti membuat kerupuk. Bahan bakunya cukup tepung dan garam. Jadi, ketika kita masyarakat agar industri farmasi membuat bahan baku obat di Indonesia tidak terpikirkan bahwa bahan baku obat memerlukan dukungan industri hulu yang sesuai serta riset yang lama dan mahal.
Bahkan banyak industri farmasi dunia bergabung, karena biaya riset semakin mahal dan syaratan riset obat semakin ketat. Kalau hanya membuat bahan baku yang mudah diperoleh di pasar internasional, mengapa pula harus repot membuka sendiri di Indonesia yang pangsa pasarnya masih sanagat kecil. Jumlah penduduk Indonesia memang besar, tetapi konsumsi obat per tahun dan perkapita masih sangat kecil.
Sampai sekarang tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri hulu bagi produk obat. Jangankan bahan baku obat, untuk bahan pembantu saja pengembangan tidak dipikirkan. Obat tidak hanya terdiri bahan baku zat aktif, tetapi diperlukan juga pencampur yang memenuhi syarat. Bahan bantu itu, antara lain tepung khusus, gula khusus, perekat dan kapsul, yang sampai sekarang tidak terpikirkan oleh pemerintah.
Produksi bahan bantu tidak sesulit membuat baku aktif dan mempunyai peluang diekspor ke negara lain. Selama ini, hampir 90 persen bahan pembantu obat (bahan aktif dan bahan bantu) diimpor. Industri dalam negeri hanya merakitnya menjadi obat jadi. Selama kita tidak memikirkan masalah ini, Indonesia akan terus sebatas menjadi negara perakit obat yang tidak akan pernah mandiri. Harga obat pun akan terus menjadi beban bagi rakyat dan negara.
KARTONO MOHAMAD
Mantan Ketua Umum PB IDI

Artis Sheila Marcia Terasa Hidup Kembali

SHEILA MARCIA (22), kini tampil kembali ke dunia artis yang tampil di layar kaca, membesarkan namanya agak kagok. Bukan kagok dengan dunia akting, melainkan dengan ritme kerja di dunia sinetron yang kembali digeluti setelah menjadi narapidana karena masalah Narkoba. “Aku merasa hidup kembali, dan bertemu dengan teman-teman lama,” ujar Sheila, bermain dalam sinetron Anugerah, produksi Sinema Art.
Sheila yang sempat vakum dari dunia akting beberapa tahun yang silam, gara-gara terjerat Narkoba dan kehamilannya. “Dulu waktuku habis untuk anakku, Leticia (1 tahun), sekarang aku pulang syuting bisa pukul 05.00 pagi. Mau tidak mau, aku harus beradaptasi dengan jam kerjaku kini,” kata Sheila, tidak pernah mengeluh, karena bermain sinetron kembali adalah hal yang patut disyukuri.
Sewaktu aku ditawari, ceritera Sheila dirinya percaya ngak percaya waktu ditawari bermain sinetron. “Setelah semua terjadi, ternyata aku masih diberi kesempatan. Tak peduli peran yang ditawarkan, bukan peran yang besar,” ungkap Sheila, yang baru merampung film layar lebar, Tebus.
Dikatakan Sheila, diajak main saja aku sudah berterima kasih. “Kesempatan ini, membuat aku merasa hidup kembali. Aku merasa berguna kembali. Untuk membayar waktu yang hilang dengan anakku Leticia, jika perlu mengajaknya ke lokasi syuting,” harap Sheila, berjanji kepada dirinya untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. “Doakan….ya, agar aku bisa bertahan dengan apa adanya, dan tak mengulangi lagi,” timpal Sheila, pengalaman adalah guru yang paling berharga, semoga…(nico)

Usul Nama Labuan Bajo Menjadi Komodo Pertumbuhan Hotel di Manggarai Barat Meresahkan

LABUAN BAJO, NTT, NAGi. Pengusaha hotel, terutama di wilayah Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) meresahkan, karena pertumbuhan hotel di wilayah tersebut terlalu pesat. Bila, tidak dikendalikan pertumbuhan hotel itu akan mencapai titik jenuh, dan hotel yang sudah lama berdiri terancam guling tikar (bangkrut). Sementara ada para pengusaha dari Jakarta mengusulkan nama Kota Labuan Bajo sebagai ibukota Kabupaten Manggarai Barat dirubah menjadi Komodo.

                Kepala Personalia Hotel Bintang Flores, Ambrosius Ambo mengatakan, pertumbuhan hotel ditunjang dengan kemudahan izin pendirian hotel baru yang diberikan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat kepada investor. “Apalagi pemerintah daerah di bawah kepemipinan Bupati Agustinus CH Dulla, memang memprioritaskan pembangunan  di sektor pariwisata,” kata Ambros panggilan akrabnya, dalam tiga tahun jumlah hotel dan losmen di Manggarai Barat sebelumnya hanya sekitar 20 hotel, kini telah menjadi 37 hotel.

                Hotel ini, termasuk dua hotel berbintang empat yaitu Hotel Bintang Flores dan The Jakarta Suites di kawasan Jalan Pantai Pede. Sedangkan yang hampir rampung pembangunan satu hotel berbintang empat yaitu, Hotel Prima termasuk resort mewah milik konglomerat Sofyan Wanandi. “Persaingan ketat membuat okupansi di hotel tidak pernah lebih dari 30 persen. Hotel bisa merugi, karena biaya operasional tetap tinggi,” tutur Ambros, tamu hanya inap rata-rata dua malam, karena datang hanya untuk melihat Komodo, kemudian pulang.

Ubah Nama

                Sementara Direktur Utama PT Sido Muncul, Irwan Hidayat mengusulkan nama kota Labuhan Bajo sebagai ibukota Kabupaten Malanggarai Barat dirubah menjadi Komodo. “Saya sendiri baru kenal Labuan Bajo pada Pebruari 2010, ketika akan membuat iklan jamu,” katanya, itu upaya promosi wisata, semuanya tergantung Pemerintah Daerah.

                Menanggapi usalan itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, Paulus Selasa mengatakan, secara pribadi dirinya sepakat dengan wacana nama Labuan Bajo diganti dengan nama Komodo.  “Usulan dari siapa saja akan dipertimbangkan untuk kemajuan daerah.  Memang dari aspek promosi pariwisata lebih menjual, tetapi nama itu ada sejarahnya, sehingga harus dipertibangkan secara matang, dan sebaiknya dibicarakan dengan tokoh-tokoh masyarakat,” kata Paulus, apabila tokoh masyarakat menyetujui, maka pemerintah akan mengusulkan ke DPRD setempat untuk persetujuan.

                Palus memberi contoh, ada sejumlah wisatawan mancanegara seperti dari Belanda, Amerika dan Negara Eropa lainnya yang penah mengunjungi ke wilayah Manggarai Barat, mereka umumnya lebih nmengenal Manggarai Barat dengan Pulau Komodo. “Mereka mengatakan Komodo Island, dan mereka baru tahu tujuannya ada ke Labuan Bajo setelah tiba di Bali, Jogyakarta atau Jakarta. Ketika mereka masih di negaranya mengatakan tujuan ke Pulau Komodo,” ungkap Paulus, semuanya terserah kepada tokoh masyarakat.

                Sedangkan menyangkut pertumbuhan hotel, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Manggarai Barat, Beny Nanjong mengatakan, jumlah hotel belum perlu dibatasi. Yang dibutuhkan agar pengelola hotel harus lebih giat meningkatkan mutu pelayanan untuk menarik sebanyak-banyaknya tamu yang menginap. “Bagaimana pengelola hotel harus melayani tamunya sebaik mungkin, dan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk mengelola paket hiburan, sehingga bisa menahan tamunya sampai lima hari,” saran Beny, harus ada kesinkronan antara pengelola hotel dan pemerintah untuk menjual segala objek wisata yang ada di daerah ini. (tibo)